kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.290.000   -15.000   -0,65%
  • USD/IDR 16.653   -5,00   -0,03%
  • IDX 8.164   -20,19   -0,25%
  • KOMPAS100 1.136   -7,73   -0,68%
  • LQ45 832   -5,41   -0,65%
  • ISSI 282   -1,61   -0,57%
  • IDX30 437   -3,69   -0,84%
  • IDXHIDIV20 503   -5,62   -1,10%
  • IDX80 128   -0,88   -0,68%
  • IDXV30 136   -1,98   -1,44%
  • IDXQ30 139   -1,42   -1,01%
FOKUS /

Ekspor Indonesia Bisa Tertinggal! AS Beri Keuntungan Besar untuk Negara Tetangga


Minggu, 02 November 2025 / 12:40 WIB
Ekspor Indonesia Bisa Tertinggal! AS Beri Keuntungan Besar untuk Negara Tetangga
ILUSTRASI. AS memberikan pembebasan tarif atau bea masuk 0% beberpa komoditas kepada tiga negara Asia Tenggara, yaitu Thailand, Malaysia, dan Kamboja. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora, Ridwan Nanda Mulyana, Riset Kontan | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Amerika Serikat (AS) memberikan pembebasan tarif atau bea masuk 0% beberpa komoditas kepada tiga negara Asia Tenggara, yaitu Thailand, Malaysia, dan Kamboja, melalui perjanjian dagang baru yang diumumkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur pekan lalu.

Kebijakan ini merupakan salah satu langkah diplomasi ekonomi besar yang diambil oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump dalam masa jabatan keduanya.

Selain memperluas hubungan perdagangan bilateral, kebijakan ini juga bertujuan memperkuat posisi AS di Asia Tenggara di tengah meningkatnya pengaruh ekonomi China di kawasan tersebut.

Trump, yang dikenal dengan pendekatan “America First” dan strategi perdagangan resiprokal, secara resmi mencabut tarif balasan sebesar 19% yang sebelumnya dikenakan terhadap tiga negara tersebut.

Dengan demikian, sejumlah produk asal Thailand, Malaysia, dan Kamboja kini bisa masuk ke pasar AS tanpa dikenai bea impor.

Seperti dikutip dari Nation Thailand, Senin (27/10/2025), keputusan ini dinilai sebagai langkah strategis Washington untuk mendorong diversifikasi rantai pasok global (supply chain diversification) dan memperkuat kerja sama ekonomi di kawasan Asia Tenggara yang menjadi pusat pertumbuhan manufaktur dunia.

Thailand-AS Teken Kesepakatan Dagang Bernilai US$20 Miliar

Salah satu hasil penting dari kebijakan ini adalah penandatanganan Kerangka Perdagangan Resiprokal (Reciprocal Trade Framework Agreement) antara Thailand dan Amerika Serikat. Perjanjian tersebut mencakup perluasan akses pasar, promosi investasi, dan penghapusan hambatan tarif serta non-tarif.

Dalam kesepakatan itu, Thailand berkomitmen membeli produk pertanian, pasokan energi, dan pesawat buatan AS senilai lebih dari US$20 miliar. Sebagai imbalannya, Bangkok sepakat menghapus tarif terhadap hampir 99% produk asal AS.

Baca Juga: Harga Emas Makin berkilau, Pertanda Ketidakpastian Ekonomi Makin Tinggi?

Meskipun AS masih mempertahankan tarif 19% untuk sebagian kecil barang, sejumlah produk Thailand kini mendapat tarif 0%, termasuk di sektor otomotif, elektronik, dan tekstil berteknologi tinggi.

Namun, daftar resmi produk yang mendapatkan pembebasan bea masuk penuh masih menunggu konfirmasi dari Departemen Perdagangan AS.

Langkah ini dipandang sebagai bentuk kompromi strategis yang saling menguntungkan. Bagi Thailand, kebijakan ini memberikan dorongan besar bagi ekspor manufakturnya. Sementara bagi AS, ini membuka peluang ekspor besar di sektor pesawat, energi, dan agrikultur.

Malaysia Dapat Insentif Tarif 0% untuk Sawit, Kakao, dan Karet

Sementara itu, Malaysia berhasil mengamankan tarif 0% untuk tiga sektor utama yang menjadi tulang punggung ekonominya, yaitu:

  • Peralatan dirgantara (aerospace equipment)
  • Produk farmasi (pharmaceuticals)
  • Komoditas utama seperti minyak sawit, kakao, dan karet

Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia, Tengku Zafrul Aziz, menyambut baik kebijakan tersebut. Ia menilai bahwa kesepakatan dagang baru dengan AS ini akan meningkatkan daya saing ekspor Malaysia serta memperkuat rantai pasok industri strategis.

“Dengan tarif 0%, produk Malaysia akan semakin kompetitif di pasar AS. Ini bukan hanya soal ekspor, tapi juga soal membangun posisi Malaysia sebagai mitra ekonomi utama Amerika di kawasan,” ujar Zafrul seperti dikutip Nation Thailand.

Langkah Malaysia ini juga menunjukkan keberhasilan strategi diplomasi dagang proaktif Kuala Lumpur, yang lebih cepat menyesuaikan diri terhadap kebijakan dagang Trump dibandingkan sebagian negara tetangga, termasuk Indonesia.

Trump Perluas Kebijakan untuk Vietnam, Potensi Dampak bagi Kawasan

Selain tiga negara tersebut, Vietnam juga disebut masuk dalam daftar negara yang sedang ditinjau untuk memperoleh perlakuan serupa.

Dalam Perintah Eksekutif Nomor 14346 tanggal 5 September 2025, pemerintahan Trump sebelumnya menetapkan tarif resiprokal sebesar 19% untuk Malaysia, Thailand, dan Kamboja, serta 20% untuk Vietnam.

Baca Juga: Fenomena Dana Pemda Menganggur, Masalah Klasik yang Terus Berulang

Namun, pada Minggu (26/10/2025), Gedung Putih mengumumkan rencana untuk mengidentifikasi produk-produk tertentu yang bisa mendapatkan tarif 0% bagi mitra dagang yang dianggap “aligned partners” atau sejalan dengan kepentingan strategis AS.

Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi besar AS untuk mengurangi ketergantungan rantai pasok global terhadap China, dengan memperkuat posisi mitra di kawasan ASEAN.

Dampak Terhadap Indonesia: Risiko Trade Diversion

Kebijakan tarif 0% bagi negara-negara tetangga ini sontak menjadi perhatian serius pelaku industri di Indonesia. Pasalnya, perbedaan tarif dagang antara Indonesia dan negara ASEAN lain berpotensi mengubah peta persaingan ekspor ke pasar AS.

Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anne Patricia Sutanto, menilai langkah AS menunjukkan arah kebijakan dagang yang semakin selektif dan berbasis kepentingan geopolitik.

“Jika Vietnam dan Kamboja mendapat preferensi tambahan, risiko trade diversion akan meningkat, terutama bagi sektor padat karya yang bergantung pada pasar AS,” ujarnya.

Menurut data Apindo, sektor-sektor padat karya yang paling berisiko adalah tekstil dan produk rajutan, furnitur, alas kaki, dan barang kulit. Sebanyak 61% ekspor pakaian dan aksesori rajutan Indonesia ditujukan ke AS, disusul furnitur dan lampu (59%), olahan ikan dan krustasea (56%), serta alas kaki (33%).

“Perusahaan AS bisa saja beralih sumber pasokan dari Indonesia ke negara dengan tarif lebih rendah, sehingga daya saing harga kita tergerus,” tambah Anne.

HIMKI: Produk Mebel dan Kerajinan Bisa Tertekan

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, menilai kebijakan ini dapat menciptakan tekanan kompetitif signifikan bagi produsen Indonesia.

“Jika Vietnam dan Kamboja menikmati tarif 0%, sementara kita masih dikenai bea masuk, maka buyer AS akan mencari sumber dari negara lain. Ini akan menekan margin eksportir Indonesia,” katanya.

Sobur menambahkan bahwa sektor furnitur dan kerajinan Indonesia sangat sensitif terhadap perubahan tarif karena biaya logistik dan bahan baku yang sudah tinggi. Akibatnya, Indonesia berpotensi kehilangan sebagian pangsa pasar ekspor ke negara tetangga yang lebih “tariff friendly”.

Baca Juga: Program MBG: Janji Makan Bergizi, Keracunan Reality

Ia pun mendorong pemerintah untuk mempercepat lobi dagang bilateral dengan AS, serta memperkuat program branding dan standardisasi kualitas produk agar ekspor Indonesia bersaing bukan hanya dari sisi harga, tapi juga nilai tambah dan reputasi.

Sektor Kakao Ikut Waspada

Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo), Soetanto Abdoellah, turut menyoroti dampak kebijakan tarif 0% terhadap daya saing produk kakao olahan Indonesia.

“Malaysia adalah pesaing langsung kita dalam ekspor cocoa butter dan cocoa powder. Jika mereka mendapat bea masuk 0%, produk Indonesia akan kalah harga,” ujarnya.

Namun Soetanto menyebut bahwa dampak jangka pendek masih terbatas karena sebagian besar eksportir kakao ke AS merupakan perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia. Mereka memproses biji kakao di Indonesia sebelum mengirimkannya ke pasar global, termasuk AS.

Pemerintah Indonesia Siapkan Langkah Negosiasi Baru

Menanggapi dinamika tersebut, pemerintah Indonesia bergerak cepat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan Indonesia akan membuka negosiasi dagang lanjutan dengan AS untuk mendapatkan tarif 0% bagi sejumlah produk ekspor unggulan.

“Indonesia ditargetkan mulai negosiasi kembali bulan November ini, setelah APEC Meeting,” ujar Airlangga, Rabu (29/10/2025).

Airlangga menjelaskan bahwa Indonesia berharap memperoleh perlakuan serupa dengan Malaysia, khususnya untuk produk yang tidak diproduksi di AS, seperti kelapa sawit, kakao, dan karet.

Selain itu, pemerintah juga akan mendorong agar produk rantai pasok industri medis dan farmasi dapat dimasukkan dalam daftar bebas tarif. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam supply chain global serta memperluas akses ekspor ke pasar AS.

Ekonom: Indonesia Harus Adaptif dan Progresif

Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menilai langkah diplomasi ekonomi yang ditempuh pemerintah sangat krusial di tengah ketatnya persaingan regional.

Baca Juga: Gejolak Politik Tekan Rupiah dan IHSG, Dunia Usaha Minta Stabilitas

“Kalau Indonesia tidak segera menyesuaikan diri, kita bisa tertinggal dari negara tetangga. Daya saing ekspor bisa menurun, terutama untuk komoditas seperti kelapa sawit yang bersaing langsung dengan Malaysia,” ujar Myrdal.

Menurutnya, tanpa penyesuaian tarif, surplus neraca dagang Indonesia dengan AS berpotensi menurun signifikan.

“Biasanya kita surplus minimal US$1 miliar, tapi kalau tidak ada kesetaraan tarif, angka itu bisa terkikis,” tambahnya.

Tantangan Internal: Efisiensi, Regulasi, dan Daya Saing

Selain diplomasi, pelaku industri menilai pemerintah perlu membenahi hambatan struktural di dalam negeri agar ekspor Indonesia semakin kompetitif.

Anne Patricia Sutanto dari Apindo menekankan perlunya penurunan biaya logistik, percepatan reformasi perizinan, serta kepastian hukum yang lebih kuat bagi investor dan eksportir.

“High-cost economy masih jadi kendala utama. Tanpa perbaikan efisiensi domestik, insentif tarif dari luar negeri pun tidak akan optimal,” tegasnya.

Selanjutnya: Tak Penuhi Ekuitas Minimum, OJK Cabut Izin Usaha PT Sarana Aceh Ventura

Menarik Dibaca: Jadwal Hylo Open 2025 Babak Final, Tiga Wakil Indonesia Siap Rebut Podium Tertinggi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×