kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.235.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.580   -32,00   -0,19%
  • IDX 8.118   47,22   0,59%
  • KOMPAS100 1.119   4,03   0,36%
  • LQ45 785   1,90   0,24%
  • ISSI 286   2,08   0,73%
  • IDX30 412   0,93   0,23%
  • IDXHIDIV20 467   0,39   0,08%
  • IDX80 123   0,45   0,36%
  • IDXV30 133   0,76   0,57%
  • IDXQ30 130   0,07   0,05%

Fenomena Dana Pemda Menganggur, Masalah Klasik yang Terus Berulang


Jumat, 03 Oktober 2025 / 23:03 WIB
Fenomena Dana Pemda Menganggur, Masalah Klasik yang Terus Berulang
ILUSTRASI. Petugas memeriksa tumpukan uang kertas pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu di Cash Center Bank BNI Jakarta, Selasa (17/12). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyoroti tingginya dana mengendap milik pemerintah daerah (pemda) di perbankan


Reporter: Nurtiandriyani Simamora, Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyoroti tingginya dana mengendap milik pemerintah daerah (pemda) di perbankan. Hingga akhir Agustus 2025, total dana mengendap Pemda di perbankan mencapai Rp 233,11 triliun.

Jumlah tersebut meningkat Rp 40,54 triliun dibandingkan periode yang sama pada 2024 sebesar Rp 192,57 triliun, sekaligus menjadi yang terbesar sejak 2021.

Dalam lima tahun terakhir, dana Pemda yang parkir di perbankan cenderung tinggi. Pada 2021 tercatat Rp 178,95 triliun, tahun 2022 sebesar Rp 203,42 triliun, tahun 2023 Rp 201,31 triliun, tahun 2024 Rp 192,57 triliun, dan pada 2025 melonjak menjadi Rp 233,11 triliun.

Baca Juga: Dana Pemda yang Mengendap di Perbankan Makin Besar, Ini Efeknya ke Kinerja BPD

Tingginya dana menganggur tersebut berbanding terbalik dengan realisasi belanja daerah. Hingga 24 September 2025, realisasi belanja Pemda baru Rp 656,40 triliun atau setara 46,86% dari pagu. Minimnya penyerapan anggaran ini dinilai berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi daerah.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku heran dengan fenomena ini. Ia berjanji pemerintah pusat akan mengevaluasi hambatan belanja Pemda, bahkan mengancam mengambil alih sebagian dana agar dapat dimanfaatkan lebih optimal.

“Kalau memang betul-betul nganggur, kita pindahkan. Biar belanja daerah lebih rajin,” ujar Purbaya di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

Baca Juga: Dana Pemda Ratusan Triliun Mengendap di Bank, Belanja Daerah Masih Seret

Lebih lanjut, ia menyebut pemerintah akan meninjau ulang mekanisme penyaluran transfer ke daerah (TKD) agar lebih efisien, misalnya dengan mempercepat pencairan dana di awal tahun agar tidak menumpuk di bank.

Masalah Lama yang Terus Berulang

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti, menegaskan bahwa lambatnya serapan belanja Pemda merupakan masalah klasik yang terus berulang dari tahun ke tahun.

"Ini sudah masalah lama (belanja lambat). Jadi, kalau kita lihat sebetulnya hampir sama dengan yang di pusat. Itu bahkan kalau saya lihat modusnya dari tahun ke tahun," ungkap Prima kepada wartawan di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (3/10/2025).

Ia menjelaskan, perencanaan dan pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) biasanya baru dilakukan sekitar September–Oktober. Setelah itu barulah dilakukan kontrak pada April, dan realisasi belanja umumnya meningkat di tiga bulan terakhir menjelang tutup tahun.

Baca Juga: Belanja Daerah Melambat, Kontraksi 14,1% yoy Agustus, Pemda Tumpuk Dana di Perbankan

Pola tersebut membuat dana kas daerah terakumulasi di bank sehingga saldo terlihat besar pada pertengahan tahun. Namun, pada akhir tahun simpanan Pemda biasanya turun signifikan ke kisaran Rp 95–100 triliun.

Menurut Prima, sebagian besar dana kas daerah sebenarnya sudah memiliki peruntukan, termasuk untuk pembayaran program atau kontrak berjalan. Tantangan utamanya adalah mempercepat siklus belanja agar saldo kas tidak tampak menumpuk di tengah tahun.

Tunggu Pencairan

Menanggapi kondisi ini, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung memastikan dana APBD DKI tidak mengendap di perbankan.

“Secara prinsip karena memang APBD DKI ini kami kontrol terus-menerus, kita tidak ada masalah karena memang di DKI sangat dinamis. Jadi nggak ada yang mengendap sama sekali,” ucap Pramono di Balai Kota Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, Lusiana Herawati, menambahkan bahwa dana yang tersimpan di rekening kas daerah bukanlah sisa anggaran, melainkan menunggu jadwal pencairan.

“Jadi tersimpan di Bank DKI di rekening kas daerah. Tidak bisa disebut mengendap. Pada saat minggu depan ada belanja, itu akan kita keluarkan. Jadi masih dalam koridor wajar,” jelas Lusiana.

Baca Juga: Beban Biaya Dana Masih Berat, Bank Tunggu Angin Segar dari BI

Menurutnya, percepatan pengadaan barang dan jasa sudah dilakukan sepanjang 2025. Kegiatan lain tinggal menunggu Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Setelah APBD Perubahan disahkan, seluruh anggaran akan dicairkan.

“Tentu saja dengan adanya ini, sebentar lagi APBD Perubahan juga diketok. Nanti saat sudah diketok maka kita akan kucurkan semua,” ujar Lusiana.

Perlu Perencanaan Matang

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai lambatnya penyerapan belanja daerah disebabkan masalah klasik, mulai dari perencanaan yang kurang matang, proses pengadaan yang lambat, hingga keterbatasan kapasitas SDM birokrasi di daerah.

“Akibatnya, dana yang seharusnya menggerakkan ekonomi lokal justru berputar pasif di bank dan hanya menambah idle money tanpa multiplier effect,” kata Rizal.

Ia menyarankan penerapan pola insentif dan disinsentif berbasis kinerja sebagai jalan tengah.

Sementara itu, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, menambahkan bahwa keterlambatan belanja daerah dipicu beberapa faktor mendasar.

Baca Juga: Waspadai Bank dengan NPL Tinggi

“Secara umum, terlambatnya belanja daerah ini karena beberapa hal. Pertama, terlambatnya penetapan perda APBD di daerah, sehingga berimbas pada mundurnya eksekusi anggaran,” ujarnya kepada *Kontan*, Jumat (26/9/2025).

Selain itu, kata Trioksa, faktor lain adalah terjadinya gagal lelang yang membuat pemerintah daerah harus mengulang proses lelang, serta belum siapnya kegiatan atau persiapan teknis di lapangan.

“Eksekusi anggaran bisa terlambat karena kegiatan di lapangan memang belum siap. Hal ini membuat serapan anggaran berjalan lebih lambat,” jelasnya.

Selanjutnya: Mobil Baru Kian Tak Terjangkau Akibat Inflasi dan Pajak Tinggi

Menarik Dibaca: 10 Prompt Gaya Kasual Hollywood untuk Pria pakai Gemini AI Photo Editor

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×