kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ451.000,19   6,59   0.66%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Mengulik seretnya pendanaan infrastruktur (2)


Selasa, 26 September 2017 / 13:24 WIB
Mengulik seretnya pendanaan infrastruktur (2)


Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

Warisan Produk Baru Bagi Pejabat Baru

Tanggal 19 Juli 2017 adalah hari terakhir Muliaman Hadad menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hari itu, sebelum menikmati masa pensiun, lelaki 57 tahun tersebut menorehkan beberapa peninggalan penting bagi penerusnya, Wimboh Santoso dan kawan-kawan.

Muliaman menetapkan empat Peraturan OJK (POJK). Salah satunya yang cukup menarik perhatian adalah soal Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra) berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK).

(Artikel sebelumnya: "Mengulik seretnya pendanaan infrastruktur (1); Menghela Dana Swasta")

Beleid yang termuat dalam POJK nomor 52/POJK.04/2017 itu terbilang strategis. OJK menyebut, Dinfra dirilis demi mendukung program pemerintah untuk membiayai kebutuhan pembangunan infrastruktur jangka menengah.

Apalagi, Dinfra memang menjadi produk investasi pertama dan satu-satunya yang khusus dimanfaatkan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur.

Pengelolaan dana reksadana penyertaan terbatas (RDPT) misalnya, ditujukan ke sektor riil, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dus, ruang bermain yang begitu luas membuat underlying RDPT yang kini beredar sangat beragam.

Produk teranyar memang berbasis proyek infrastruktur, yakni RDPT Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat.

Fakhri Hilmi, Deputi komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK, bilang, dana yang berhasil dihimpun sebesar Rp 936 miliar. Duitnya digunakan untuk membangun fasilitas darat, seperti terminal penumpang dan tempat parkir kendaraan.

Skema investasinya, RDPT ini akan menjadi salah satu pemegang saham PT Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB). “PT BJIB ini yang dibeli sahamnya oleh RDPT sebesar 49%,” kata Fakhri.

Belum spesifik
Cuma, kalau melihat track record produk yang sudah dirilis selama ini, banyak juga RDPT yang bukan untuk kepentingan infrastruktur. Ambil contoh RDPT Syailendra Multifinance Rupiah 1.

Syailendra Capital membundel produk itu dengan surat utang jangka pendek atau medium term note (MTN) milik PT PPA Finance senilai maksimal Rp 300 miliar. PPA Finance didirikan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) pada tahun 2009 dan berbisnis di bidang leasing, anjak piutang, serta pembayaran konsumen.

Selain RDPT, KIK Efek Beragunan Aset (KIK EBA) yang belakangan digaungkan OJK seolah menjawab permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi), juga bukan spesial didesain untuk infrastruktur.

KIK EBA untuk infrastruktur misalnya,  dirilis PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya dan PT Jasa Marga Tbk (Persero).
Indonesia Power melakukan sekurititasi aset berupa piutang di PT PLN (Persero) dengan nilai total Rp 9,9 triliun. Dananya digunakan oleh anak usaha PLN itu untuk membangun beberapa pembangkit listrik.

Sementara Jasa Marga melakukan sekuritisasi terhadap jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) senilai Rp 2 triliun. Uangnya digunakan perusahaan pelat merah itu untuk membangun proyek jalan tol baru.

“Jasa Marga melepas pendapatan tol selama lima tahun ke depan, sebagai gantinya asetnya bertambah,” kata Fakhri.

Catatan KONTAN, JSMR berencana menambah enam ruas tol baru sepanjang 210 kilometer (km) tahun ini. Belanja modal untuk mendanai ekspansi tersebut mencapai Rp 31 triliun.

Selain dari penerbitan KIK EBA, operator jalan tol terbesar di Indonesia itu juga mengincar penerbitan surat utang global berdenominasi rupiah sebesar US$ 200 juta-US$ 300 juta.

Namun, sama halnya dengan RDPT, selama ini KIK EBA lebih banyak digunakan untuk kepentingan non infrastruktur. Perbankan, dalam hal ini Bank BTN paling rajin memanfaatkan KIK EBA dengan melakukan sekuritisasi terhadap tagihan KPR yang mereka miliki.

Oh ya, RDPT Bandara Kertajati, dan dua KIK EBA masing-masing milik Jasa Marga serta PLN itu sebetulnya sudah dirancang sejak jauh-jauh hari. Alternatif pendanaan Kertajati lewat RDPT sudah diputuskan pemerintah sejak September tahun lalu.

Pun Jasa Marga sudah diarahkan oleh pemerintah untuk melakukan sekuritisasi aset sejak tahun 2016.

Bahkan, di reksadana yang bersifat terbuka, OJK sejak lama sudah merelaksasi aturan demi membuka ruang bagi pencarian dana, termasuk untuk proyek infrastruktur. Dari tahun 2015, otoritas itu memungkinkan penerbitan reksadana berbasis sukuk.

Yang menarik, kata Wawan Hendrayana, keranjang investasi reksadana ini boleh hanya satu sukuk saja. Relaksasi ini, lanjut Head of Investment Infovesta Utama, itu memungkinkan perusahaan yang ingin menerbitkan medium term notes (MTN) lebih mudah mendapatkan pendanaan.

Sebagai komparasi, keranjang investasi reksadana konvensional yang lain bisa terdiri dari berbagai portofolio.

Namun nyatanya, jumlah reksadana berbasis sukuk yang terbit hingga saat ini masih sangat minim. Ia mencatat satu produk yang ada di genre tersebut. Yakni reksadana syariah berbasis sukuk yang diterbitkan oleh PT Avrist Asset Management. Isi reksadana ini berupa MTN dari Bank Muamalat Indonesia.

Dus, ia menilai, hal ini terjadi lantaran terobosan yang dilakukan OJK tidak cukup untuk menutupi kelemahan produk ini di sisi yang lain. “Karena isi underlying-nya cuma satu, risikonya jadi tidak terdiversifikasi,” tukas Wawan.

Padahal, potensi yang bisa dimanfaatkan untuk pendanaan infrastruktur cukup besar. Catatan Wawan, di industri asuransi yang mungkin untuk melakukan investasi dalam jangka panjang adalah asuransi jiwa.

Nah, saat ini total aset industri asuransi jiwa sekitar Rp 500 triliun. Yang saat ini sudah diinvestasikan sekitar Rp 400 triliun. Dari angka ini, baru Rp 100 triliun yang masuk ke reksadana. “Asuransi lebih banyak main ke obligasi, saham, dan deposito,” kata Wawan.

Kondisi serupa juga terjadi di industri keuangan non bank lainnya. Para pemilik dana seperti dapen lebih senang menumpuk uang di deposito. Paling banter dana dalam porsi besar ditempatkan di obligasi negara atau saham.

Pemain itu-itu saja
Di tengah kondisi seperti itu,  Dinfra pun diharapkan bisa menjadi penambal kekurangan produk yang sudah lebih dulu ada. Produk ini diharapkan bisa memberikan fleksibilitas bagi manajer investasi (MI).

Ambil contoh, dalam RDPT, MI wajib menempatkan dana antara Rp 5 miliar hingga Rp 15 miliar. Besarannya tergantung nilai dana kelolaan RDPT di MI tersebut.

Dari segi karakteristik proyek, produk anyar ini juga berpotensi memantik minat investor. Sebab, pilihan yang tersedia memang beragam. Dinfra diwajibkan berinvestasi minimal 51% di aset infrastruktur. Nah, aset yang dimaksud di antaranya yang mendukung program pembangunan atau penyediaan infrastruktur pemerintah.

Opsi yang tidak terdapat di produk yang lain ini bisa memberikan rasa nyaman dan jaminan keamanan lebih buat investor. Sebagai perbandingan, selama ini saja proyek-proyek milik BUMN yang dibundel dalam RDPT sukses menarik minat pemilik dana.

“Investor punya keyakinan lebih lah karena yang punya proyeknya BUMN,” ujar Gunadi, Direktur Utama PNM Investment Management.

OJK juga sudah memberikan pilihan exit strategy dalam Dinfra bagi investor. Produk ini bisa ditransaksikan di Bursa Efek Indonesia melalui pasar sekunder. Jika ketemu pembeli yang cocok, jual beli unit penyertaannya bisa digelar.

Namun, berkaca dari pengalaman Dana Investasi Real Estate (DIRE), exit strategy lewat bursa ini juga tidak banyak dimanfaatkan. Sebab, menemukan investor lain yang mau mengambil alih unit penyertaan juga tidak gampang.

Maklum,  nilai investasinya besar dan profil produknya  belum tentu cocok buat semua investor. “DIRE sekarang juga bisa melantai di bursa, tapi nyatanya enggak ada transaksi. Lewat bursa ini lebih memudahkan saja ketika sudah ketemu calon pembeli mau transaksi bisa di bursa,” ujar Wawan.

Namun, di mata manajer investasi, persoalan paling krusial bukanlah semata menciptakan produk khusus untuk kebutuhan pendanaan infrastruktur. Tapi, bagaimana menarik sebanyak mungkin dana milik investor yang sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan tersebut.

Soal ini, pemerintah punya banyak pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan. “Sebetulnya RDPT sudah sophisticated bagi sebagian investor,” ujar Gunadi. (Baca:  Banyak kendala, sepi peminat, yang akan tayang 27 September 2017)

Berdasar pengalamannya selama ini di PNM, suplai produk dan permintaan dari investor masih sama-sama banyak. Cuma sayangnya, pemainnya hanya itu-itu saja.

Kalau dilongok, pemilik proyeknya tidak jauh-jauh dari BUMN atau anak usaha BUMN. Investornya juga sami mawon, kebanyakan perusahaan pelat merah juga. Entah itu dana pensiun (dapen) atau asuransi.

Investor swasta cenderung memprioritaskan menggunakan dana untuk pengembangan usaha. Duit nganggur, biasanya sudah dipersiapkan sebagai dana yang bisa dipergunakan sewaktu-waktu. Atau, kalaupun ada dana yang disisihkan untuk investasi jangka panjang, biasanya jumlah relatif kecil.

Dus, investasi di produk berbasis proyek, apalagi infrastruktur, kurang pas buat mereka. “Kami ada satu-dua investor swasta. Usahanya malah bukan di keuangan, tapi di penerbitan dan diler motor yang menjadi investor kita,” kata Gunadi.

Jadi tidak bisa hanya sebatas bikin produk, ya!

Bersambung : Mengulik seretnya pendanaan infrastruktur (3);  Banyak Kendala, Sepi Peminat

* Artikel ini berikut seluruh artikel terkait sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN, pada Rubrik Laporan Utama edisi 21 Agustus 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Warisan Produk Baru Bagi Pejabat Baru"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×