Reporter: Havid Vebri, Nina Dwiantika, Ragil Nugroho | Editor: Mesti Sinaga
Indonesia butuh dollar AS sekarang! Begitu pernyataan yang disampaikan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka rapat terbatas dengan para menteri bidang ekonomi di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (31/7) lalu.
Maklum, cadangan devisa negara kita terus tergerus. Hingga akhir Juli lalu, tersisa US$ 118,31 miliar. Itu berarti, terkuras hingga US$ 13,67 miliar sejak awal tahun atau tiap bulan rata-rata terpangkas sebesar US$ 1,95 miliar.
Cadangan devisa terkuras, salah satunya untuk operasi moneter Bank Indonesia (BI) melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih saja tinggi.
Setelah sempat bolak balik menembus level Rp 14.500 per dollar Amerika Serikat (AS), rupiah Kamis (9/8) lalu masih bertengger di kisaran Rp 14.400. Berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), posisi mata uang garuda terakhir di Rp 14.422.
Untuk menyedot dollar negeri Uak Sam, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sejatinya sudah mengeluarkan berbagai kebijakan sehingga rupiah tidak terus-terusan terpuruk.
Bank sentral, misalnya, membangkitkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tenor 9 dan 12 bulan untuk menarik minat investor asing.
Sementara pemerintah berencana menunda proyek infrastruktur yang banyak memakai barang impor.
Bukan cuma itu, Presiden juga meminta para pengusaha untuk membawa pulang devisa hasil ekspornya (DHE) ke dalam negeri.
Tidak hanya pulang kampung, pemerintah mendorong para eksportir untuk mengonversikan DHE ke rupiah.
Selama ini, baru 15% hingga 25% dari total devisa hasil ekspor yang pengusaha konversi ke rupiah.
Pemerintah memahami, ada kebutuhan untuk membeli bahan baku maupun membayar utang luar negeri sehingga eksportir menahan DHE dalam bentuk valas, baik di perbankan dalam maupun luar negeri.
Namun, pemerintah berharap, valas yang sudah parkir di Indonesia dikonversi ke rupiah.
“Toh, bisa beli valas setiap saat. Kami ingin koordinasi terutama di saat tidak biasa seperti saat ini. Kami ingin kepercayaan pasar diperkuat,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sebetulnya, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengungkapkan, sudah 90% lebih DHE masuk ke Indonesia. Namun, yang dikonversi ke rupiah baru sekitar 15%.
Alhasil, DHE dalam valas yang tersimpan di perbankan hanya menjadi potensi suplai jika tidak dilepas atau dijual ke pasar valas atau dikonversikan ke dalam rupiah. “Sisanya yang 85% oleh bank domestik rata-rata ditempatkan di rekening nostro bank di luar negeri,” imbuh Dody.
BI juga memahami konversi DHE yang rendah ke mata uang merah putih lantaran para eksportir harus menyediakan valas untuk kebutuhan impor atau membayar kewajiban utang luar negeri mereka.
“Karena Indonesia menganut sistem devisa bebas, maka uang itu setelah masuk dan yang punya mau gunakan untuk apapun, ya, tidak dilarang,” kata Dody.
Perketat pengawasan
Meski begitu, Dody menyatakan, tidak ada rencana dari BI maupun pemerintah untuk menghapus rezim devisa bebas. “Jadi, tetap menganut sistem devisa bebas,” tegasnya.
BI pun enggak punya rencana membuat regulasi baru untuk memaksa eksportir mengonversi DHE ke rupiah.
Yang akan bank sentral lakukan hanya memperketat pengawasan dan sanksi sesuai aturan yang selama ini berlaku. Yakni, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/10/2014 tentang Penerimaan DHE dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
Sesuai beleid tersebut, eksportir yang melanggar ketentuan bisa kena sanksi berjenjang. Mulai sanksi administratif berupa surat teguran, pengenaan denda, hingga penangguhan atas pelayanan ekspor.
Yati Kurniati, Direktur Eksekutif Departemen Statistik BI, mengungkapkan, sudah banyak eksportir yang melanggar ketentuan dan dijatuhi sanksi. “Itu sudah cukup efektif untuk mewajibkan eksportir membawa masuk DHE,” ujarnya.
Tapi sayang, mereka baru sebatas membawa pulang devisa, tidak mengonversikan ke rupiah.
Sebab, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono bilang, belum ada regulasi yang secara tegas mewajibkan eksportir mengonversi hasil devisa ekspor ke mata uang rupiah.
Beleid PBI No. 16/10/PBI/2014 termasuk PBI No. 18/10/PBI/2016 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah tidak cukup kuat untuk memaksa eksportir membawa pulang DHE dan mengonversi ke rupiah.
Maka itu, Susiwijono berharap, BI dan Kementerian Keuangan, termasuk Kementerian Koordinator Perekonomian, duduk bersama untuk meninjau kembali Undang-Undang No 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Indonesia, Susiwijono mengatakan, perlu mencontoh regulasi yang berlaku di Malaysia. Ia menyebutkan, aturan main di negeri jiran mewajibkan pengusaha menahan devisa hasil ekspor mereka di perbankan dalam negeri selama enam bulan. Kemudian, harus dikonversi ke mata uang ringgit.
Alhasil, Malaysia mendapatkan dana valas dari DHE tersebut.
Yang jelas, biar eksportir mau mengonversi DHE mereka ke rupiah, BI sudah menyiapkan sejumlah pemanis. Mereka akan mendorong konversi valas ekspor dengan instrumen swap maupun forward untuk menambah cadangan devisa.
Swap adalah transaksi pertukaran dua valas melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka. Sedang forward ialah transaksi berjangka penyerahan valuta pada tanggal tertentu dengan memakai kurs yang disepakati pada tanggal transaksi.
Saat ini, biaya swap di BI sebesar 5% untuk tenor satu bulan dan 6% buat jangka waktu enam bulan.
Nah, Dody mengatakan, lembaganya akan memberikan harga alias pricing menarik dalam lelang valas dengan fasilitas swap guna menyerap dollar AS di pasar. Tetapi, ia masih merahasiakan besaran penurunan biaya swap tersebut.
Dorong ekspor
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, untuk mendorong eksportir mengonversi DHE mereka, memang butuh insentif dalam transaksi swap. Tapi, pemangkasan biaya itu merupakan wewenang penuh BI.
Pemerintah, Darmin menambahkan, akan membangun diskusi dengan pengusaha untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan agar DHE bisa parkir lebih lama di dalam negeri. Namun, pemerintah tidak menyiapkan insentif biar pengusaha mengonversi ke rupiah.
Tidak hanya insentif swap, BI juga menyiapkan mekanisme lain agar konversi DHE ke rupiah meningkat. Cuma, bank sentral belum mau blak-blakan soal itu. “Pada waktunya akan disosialisasikan ke korporasi dan perbankan,” kilah Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah.
Farial Anwar, pengamat pasar valas, memandang, usaha BI mendorong konversi devisa hasil ekspor ke rupiah adalah putusan bagus. Namun, ia pesimistis cara ini bakal berjalan efektif. “Yang efektif adalah, harus ada aturan penggunaan DHE, jangan bebas seperti sekarang,” imbuh Farial.
Aturan itu bisa berupa holding period. Eksportir bisa memanfaatkan DHE setelah periode tertentu. Atau, berupa kewajiban penunjukkan dokumen atawa underlying untuk pemakaian devisa ekspor.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengakui, selama ini tidak ada sanksi tegas bagi pengusaha yang belum membawa pulang DHE.
Ia sendiri setuju dengan rencana pemerintah yang akan memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap pengusaha agar mau membawa pulang DHE ke dalam negeri.
Tapi, menurut Hariyadi, pemerintah juga harus mampu mendorong ekspor yang saat ini masih lambat. “Jangan mentang-mentang berkuasa malah seenaknya dan merasa lebih dari kita. Kalau kita terus dipojokkan bagaimana Indonesia bisa maju,” cetusnya.
◆ Rayu Eksportir, Bank Kerek Bunga Deposito Valas
Jauh sebelum keluar instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar devisa hasil ekspor (DHE) ditarik masuk ke dalam negeri dan disimpan dalam bentuk rupiah, perbankan ternyata telah terlebih dahulu melakukannya. Upaya ini mereka lakukan dengan mengerek bunga deposito valuta asing (valas).
Mereka berharap, kenaikan bunga tersebut bakal membuat pemilik valas terutama eksportir lebih tertarik menempatkan dananya di perbankan domestik.
Bahkan, sudah ada bank yang berani menawarkan bunga valas nyaris 3% per tahun untuk deposito berjumlah besar. Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bunga deposito valas untuk semua tenor telah mengalami kenaikan sejak awal 2018 lalu.
Adapun rentang kenaikan bunga deposito valas dari awal tahun hingga Mei lalu berkisar 3 basis poin (bps) hingga 30 bps. Misalnya, kenaikan bunga deposito valas tertinggi untuk tenor 3 bulan naik 30 bps menjadi 1,86%.
Diikuti bunga deposito tenor 1 bulan naik 17 bps jadi 1,35%. Sedang deposito valas 6 bulan hanyak naik 3 bps menjadi 1,76% dan deposito valas 12 bulan naik 8 bps jadi 1,47%.
Lihat saja, bunga deposito valas di Bank Mandiri yang sekarang dipatok di kisaran 2,5%–3% untuk simpanan jumlah besar.
Angka ini jauh di atas bunga sebelumnya yang berkisar 0,75%. Saat ini, rata-rata bunga deposito valas Bank Mandiri per 1 Agustus sebesar 1,6% untuk deposito valas 1 bulan dan 6 bulan.
Sementara bunga lebih rendah atau 0,7% untuk deposito valas 3 bulan dan 1 tahun. “Sudah dua minggu lalu naik. Tapi tidak di counter, ya. Ini one on one negotiate rate,” ungkap Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo.
Kenaikan bunga tersebut, Kartika menjelaskan, merupakan salah satu strategi untuk menarik pelaku usaha agar mau menempatkan valas mereka di deposito Bank Mandiri.
Sebab, pelaku usaha pasti membandingkan penempatan valas di berbagai instrumen, baik di dalam dan luar negeri, untuk meraup keuntungan terbaik.
Menurut Kartika, potensi devisa hasil ekspor yang bisa bank-bank pelat merah serap cukup besar, mencapai US$ 500 juta per bulan atau sekitar Rp 7,2 triliun.
Di Bank Mandiri, transaksi jual devisa hasil ekspor tercatat sebesar US$ 150 juta atau Rp 2,1 triliun per hari. “Potensinya besar,” sebut pria yang akrab disapa Tiko ini.
Namun, Tiko bilang, untuk membawa devisa hasil ekspor masuk ke perbankan domestik bukan perkara mudah. Sebab, pengusaha selalu membandingkan imbal hasil jika mereka menempatkan devisa hasil ekspor di luar negeri atau di dalam negeri.
Nah, untuk meningkatkan daya tarik penempatan valas di dalam negeri, maka instrumen domestik harus bisa memenuhi harapan pengusaha. “Maka itu, kami menaikkan suku bunga deposito valas,” kata dia.
Langkah serupa juga Bank Rakyat Indonesia (BRI) tempuh. Sejak Juli lalu, bank BUMN ini mengerek bunga deposito valas sebesar 25 bps.
Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI, mengatakan, langkah ini dilakukan supaya nasabah ekspor tertarik dan menyimpan valas milik mereka di perbankan dalam negeri.
Rencananya, bulan ini BRI kembali mendongkrak bunga deposito valas sebesar 25 bps. Saat ini, bunga deposito valas BRI sebesar 0,5%–1%.
Haru menambahkan, sebanyak 80% DHE yang tertanam di BRI sudah dikonversikan ke rupiah. “Kecuali, bila dipakai untuk impor maka DHE akan ditransfer kembali ke luar negeri,” terang dia.
Berikutnya: Upaya menyelematkan rupiah: Devisa ekspor siap pulang asal bertabur insentif
** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 13 Agustus-19 Agustus 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Jalan Berliku Bawa Pulang Dollar Ekspor"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News