Reporter: Francisca Bertha Vistika, Fransiska Firlana | Editor: Mesti Sinaga
Seorang petinggi jaringan hipermarket di Indonesia pernah berkata, bahwa pesaing terberat mereka bukan pelaku bisnis hipermarket yang lain, melainkan minimarket yang merangsek dekat ke pemukiman.
“Berapa kali dalam seminggu Anda pergi membeli sesuatu ke minimarket, dan berapa kali belanja ke hipermarket?” adalah pertanyaan yang ia lontarkan untuk membuktikan pernyataannya.
Jangan heran jika para peritel raksasa pun giat membangun jaringan toko eceran mini. Meski belakangan ada yang menyerah dan menutup minimarket mereka, seperti Hero Group, induk usaha Giant yang tahun lalu menutup gerai Starmart.
Nah, yang paling gres, Lotte Group rupanya juga ingin mencicipi pasar kue minimarket. Sejak akhir tahun 2016, mereka meramu program untuk menjangkau konsumen Lotte Grosir lebih dekat lagi.
Maklum, mayoritas konsumen Lotte Grosir adalah pedagang tradisional. “Banyak dari konsumen kami mengaku penjualannya turun, jadi kami cari ide untuk bisa membantu mereka bersaing dengan minimarket ‘merah biru’ yang sudah modern,” kata Bagus Permadi, New Business Development Manager PT. Lotte Shopping Indonesia.
Solusinya, mulai akhir tahun 2017 lalu, Lotte merilis konsep kemitraan dengan nama TMUK, singkatan dari Toko Mitra Usaha Kita-Kita. Tujuan awal dari program ini adalah melakukan modernisasi pada warung atau toko tradisional.
Modernisasi yang dilakukan oleh Grup Lotte, mulai dari interior atau penataan lay out dagangan dan juga eksterior toko sehingga memiliki penampilan standar seperti minimarket.
Saat ini, jumlah kemitraan TMUK sudah ada 28 toko tersebar di di Jabodetabek, Bandung, Bali, dan Lampung. Menurut Bagus, dalam waktu dekat pihaknya akan membuka tiga toko baru lagi.
Manajemen perusahaan ini ingin benar-benar mendorong program TUMK selama tahun 2018 ini. “Target kami, sampai akhir tahun sudah mempunyai 180 kemitraan,” kata Bagus.
Grup Lotte ingin menjadikan program kemitraan sebagai pendukung pertumbuhan bisnis mereka ke depan. Program ini menjadikan mitra TMUK sebagai pemilik sekaligus operator toko.
Makanya, tidak hanya membedah dan mendadani warung milik mitra, Lotte juga melakukan pembinaan untuk karyawan yang bekerja di toko tersebut. Selain itu, Lotte juga membuat standar operasional atawa SOP, membangun sistem teknologi informasi (TI), hingga jaminan pasokan barang.
Karena program ini merupakan bentuk pengembangan bisnis, maka Lotte membuka kesempatan kepada siapa saja yang berminat menjadi mitra TMUK.
Apalagi mereka yang sudah menjadi konsumen Lotte Grosir, baik perorangan, badan usaha dan badan hukum. Meski demikian, manajemen Lotte tetap akan melakukan uji kelayakan pada calon mitranya, terutama lokasi toko.
Untuk menjadi mitra TMUK, calon mitra harus menyiapkan investasi sekitar Rp 77 juta hingga Rp 250 juta, di luar tanah dan bangunan. Besaran biaya kemitraan tergantung dari luas toko dan stok barang yang ingin mereka perdagangkan.
Biaya kemitraan antara lain digunakan untuk memenuhi stok barang dagangan, investasi untuk setting toko, rak, gondola, perlengkapan, peralatan, training, dan pinjaman software operasional. Sedangkan renovasi bangunan, itu di luar dari biaya kemitraan.
Jumlah stok barang yang ditawarkan oleh Lotte, mulai dari 500 item hingga 2500 item. Barang-barang ini akan dipasok oleh Lotte. Namun, dalam kerjasama ini pemilik juga boleh menjual 50 item andalan toko, yang tidak dijual di Lotte Grosir.
“Misalnya, pemilik toko ingin jual sarapan seperti nasi uduk. Itu diperbolehkan. Kan Lotte Grosir tidak menjual itu,” ujar Bagus lagi.
Selain tampilan toko dan pengelolaan yang lebih modern, 100% keuntungan akan masuk ke kantong mitra TMUK. Dalam kerjasama ini Lotte Grosir hanya jadi penyuplai barang dagangan ke mitra TMUK.
Mitra TMUK tidak akan dikenakan biaya rutin per bulan. Tapi, tiap pengiriman barang ada ongkos sebesar 2% dari pembelanjaan barang.
Adapun soal harga jual barang, juga leluasa ditetapkan oleh masing-masing toko. “Kalau dari kami harga itu dengan margin 15%. Tapi kami masih toleransi margin 10%–25% tergantung dari lokasinya. Kalau banyak pesaingnya, ya bisa 10%, kalau di sekitar lokasi tersebut tidak ada pesaing bisa sampai 25%,” katanya.
Bebas namai toko
Penetapan margin dilakukan berdasarkan studi kelayakan yang sudah dilakukan Lotte Group. Dengan patokan ini, mitra bisa menghitung proyeksi keuntungan mereka. Selain itu, Lotte membebaskan para mitra untuk menamai toko mereka sesuai selera.
Setahun sebelumnya, Super Indo sudah lebih dulu terjun ke bisnis minimarket dengan menawarkan waralaba Lion Express. Tawaran ini masih belum berlari kencang.
Wirawan Winarto, VP Operations PT Lion Super Indo mengatakan, hal itu dikarenakan sepanjang 2017 pihaknya melakukan evaluasi program tersebut. Antara lain terkait investasi dan branding.
“Investor dan tim memberikan masukan supaya brand diganti menjadi Super Indo Express. Jadi, mulai bulan ini nama itulah yang dipergunakan,” ujar Wirawan.
Hingga saat ini sudah ada empat Super Indo Express.
Sampai akhir tahun 2018, perusahaan ini menargetkan Super Indo Express bertambah minimal 4 gerai. Saat ini, permintaan waralaba Super Indo datang dari Jabodetabek.
Pertimbangan Super Indo menawarkan waralaba untuk gerai yang lebih kecil, kata Wirawan, karena pihaknya melihat peluang untuk melayani konsumen secara lebih dekat.
Waralaba ini sekaligus juga mengakomodasi investor yang ingin membuka usaha swalayan dengan lokasi strategis namun dengan lahan terbatas.
Super Indo Express bisa dibuka di kawasan pemukiman dengan area seluas 1.000 meter persegi (m²). Dari ukuran itu, 500 m² untuk bangunan swalayan dan sisanya untuk parkir.
Sebagai perbandingan, gerai Super Indo menggunakan lahan 2.800 m² dan hampir separuhnya untuk bangunan toko.
Untuk menjadi mitra, Super Indo mensyaratkan investasi minimal Rp 2 miliar, di luar biaya lokasi dan bangunan. Calon mitra juga harus memiliki lokasi serta keperluan administrasi yang mendasar.
Selanjutnya tim Super Indo mempersiapkan survei lokasi, desain, pengembangan bangunan hingga penataan layout dan persiapan pembukaan gerai. Investasi yang ditanamkan meliputi aplikasi dan sistem operasional supermarket yang dikelola oleh Super Indo.
Super Indo Express mengadopsi sepenuhnya sistem rantai pasok Super Indo. “Kami menawarkan kebutuhan sehari-hari dan produk segar berkualitas, tapi harga terjangkau karena itulah kekuatan kami hingga saat ini,” ujar Wirawan.
Nah, upaya menjaring pasar minimarket merupakan salah satu strategi Super Indo untuk bertahan, layaknya peritel besar lain yang mengalami masa lesu. Secara global lesunya perekonomian dirasakan sejak kuartal III 2016. “Sepanjang tahun 2017 lalu makin terasa tekanan dari market,” kata Wirawan.
Untungnya, dalam kondisi berat itu, Super Indo masih bisa bertumbuh sesuai target. Perusahaan ini masih melanjutkan pembukaan gerai baru. Bila akhir 2015 baru ada 127 gerai, pada 2016 bertambah menjadi 142 gerai.
Bahkan hingga awal April 2017 sudah bertambah lagi menjadi 153 gerai. Dalam waktu dekat peritel ini akan nambah dua gerai baru di Semarang, Jawa Tengah.
◆ Jangan Sampai Ada Toko yang Bangkrut
Konsep bisnis dalam program kemitraan yang ditawarkan oleh Lotte dan Super Indo memang berbeda satu sama lain. Namun, program kemitraan tersebut bisa memajukan perdagangan ritel di Indonesia, khususnya peritel kecil.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey menuturkan, program kemitraan yang ditawarkan Lotte maupun Super Indo bisa menggaet mitra dari berbagai elemen seperti warung, usaha kecil menengah (UMK), koperasi, juga pesantren.
Dengan membuat standar pelayanan atawa SOP, mereka yang selama berbisnis dengan cara tradisional bisa menjalankan bisnis lebih maju dan modern. Sementara bagi mereka yang baru mulai bisnis ritel, bisa memulainya dengan konsep modern.
Selain itu, menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, Super Indo dan Lotte sejatinya memiliki fokus bisnis yang berbeda, sehingga kemitraan yang mereka tawarkan berbeda konsep.
Tutum melihat, Lotte awalnya toko grosir yang masuk ke supermarket dan kini mulai masuk skala lebih kecil. Karena itu, Lotte punya gudang yang siap memasok barang ke ritelnya.
Di sisi lain, Super Indo justru masuk dari ritel. Peritel ini tidak diatur untuk bisnis grosir skala besar. “Hal ini sah-sah saja. Karena memang tidak semua ritel turun dari bisnis grosir,” ujar Tutum.
Untuk mengukur keberhasilan dari Lotte, Super Indo maupun perusahaan lainnya dalam mengembangkan ritel modern, lanjut Tutum tak hanya dilihat dari jumlah warung.
Sebab, bisa jadi warung yang ada itu skalanya mengecil sehingga tidak bisa dianggap berhasil. Ia menilai program ini dianggap berhasil apabila jumlahnya tidak bertambah, tapi gerainya juga tidak ada yang mati, melainkan terus membesar.
Dalam catatan Tutum, biasanya seseorang membuka warung karena baru terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Nah, ia bilang, warung-warung baru seperti ini yang perlu mendapatkan bantuan dari peritel modern agar mereka bisa bertahan dan berkembang.
Sementara itu, Pengamat Manajemen Daniel Saputro bilang, model bisnis seperti yang diterapkan Super Indo dan Lotte bisa melebarkan distribusi penjualan mereka, sekaligus bagus untuk unsur corporate social responsibility (CSR).
Agar mitra bisa bertahan, Daniel menyarankan Lotte maupun Super Indo menentukan standar bagi manajemen. Misalnya dalam mengelola keuangan. Cara ini jelas tak membutuhkan ongkos gede bagi pemilik waralaba, lantaran dalam pengembangan bisnis mereka tidak keluar duit untuk menyewa tempat.
Selain itu, pewaralaba wajib melakukan pengawasan. Sebab, meskipun mitra tak menggunakan nama dari perusahaan, khususnya untuk Lotte, tapi jika banyak ritel yang rugi lalu tutup, tak akan banyak pengusaha yang tertarik bermitra. ◆
Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 23 April - 29 April 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Para Raksasa yang Ikut Tergoda"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News