kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%
FOKUS /

Menyoal kelayakan alat berat konstruksi (1)


Senin, 09 April 2018 / 18:13 WIB
Menyoal kelayakan alat berat konstruksi (1)
ILUSTRASI. CRANE PROYEK DDT ROBOH


Reporter: Adinda Ade Mustami, Asnil Bambani Amri, Fransiska Firlana | Editor: Mesti Sinaga

Sederet peristiwa mengenaskan terkait pengerjaan konstruksi telah mewarnai proyek infrastruktur di era pemerintahan Presiden Joko Widodo ini. Terjadi belasan kecelakaan pengerjaan konstruksi dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir.

Namun, dari banyak asumsi kecelakaan, faktor kelalaian pekerja cenderung menjadi asumsi banyak pihak. Ambil contoh, ambruknya crane pengangkut beton proyek double-double track (DDT) di Jatinegara, Jakarta Timur yang mengakibatkan empat orang tewas.

Dalam peristiwa naas itu, kepolisian membuat kesimpulan, ada potensi kelalaian dari pekerja konstruksinya. Dari penelusuran KONTAN, belum ada pihak yang secara serius mempertanyakan faktor kelayakan operasional dari alat berat yang digunakan operator.

Padahal, alat berat yang digunakan untuk proyek tersebut berpeluang menimbulkan masalah. Terlebih, jika alat berat yang dipakai tak layak dioperasikan.

Seperti layaknya perangkat lain, banyak alat berat yang direkondisi atau dipaksa tetap dioperasikan, meski sudah renta dimakan usia. Ini mungkin terjadi, sebab pemerintah Indonesia telah membuka keran impor alat berat bekas rekondisi sejak tahun 2015 (lihat tabel). 

Hak impor alat bekas rekondisi itu diberikan pada perusahaan kontraktor atau pengguna langsung, juga kepada perusahaan yang fokus di bisnis alat berat.

Namun, adanya asumsi kecelakaan akibat adanya penggunaan alat bekas atau rekondisi itu dibantah oleh Benny Kurniajaya, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Rekondisi Indonesia (Aparati).

Menurut Benny, kecelakaan alat konstruksi muncul karena ada pengabaian faktor keselamatan dalam pelaksanaan proyek. “Semuanya diuber waktu, sehingga banyak pekerja tidak fokus dan tidak profesional,” kata Benny.

Kemungkinan lain, ujar Benny adalah, pelaksana proyek abai menggunakan alat berat tersebut di luar batas kemampuannya. Benny memberikan contoh, crane yang digunakan memiliki kemampuan angkat 150 ton, tetapi dipaksa mengangkat beban lebih dari itu. “Mau crane apapun, ya bisa tumbanglah,” kata Benny.

Untuk itu, Benny mengingatkan agar standar prosedur pelaksanaan proyek mesti di review lagi. Penggunaan alat-alat berat juga harus sesuai dengan kapasitas atau daya angkutnya. “Jika sesuai SOP (standard operating procedure) itu (alat) tak ada masalah,” tegas Benny.

Dugaan kecelakaan karena abai dalam pemilihan alat berat pernah dibantah Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Pada satu kesempatan, Basuki bilang, kecelakaan konstruksi fasilitas perkeretaapian jalur Manggarai–Jatinegara double-double track di Jatinegara justru menggunakan alat berat yang masih baru bernama launcher gantry.

Adapun Sjahrial Ong, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha dan Pemilik Alat Konstruksi Indonesia (Appakasi) menilai, alat berat bisa berperan dalam kecelakaan konstruksi.

Tak peduli itu alat baru maupun alat berat rekondisi. Jika prosedur penggunaan alat salah, mau pakai alat baru atau bekas, ujungnya bisa fatal.
“Sementara di Indonesia tak ada badan yang mengawasi standar operasi alat-alat berat tersebut,” kata Sjahrial.

Selain standar kelayakan operasi alat berat, juga ada standar dari operator alat tersebut. Menurut Sjahrial, ketika operator yang mengoperasikan tersebut tidak menggunakan alat sesuai prosedur, mau alat itu baru atau bekas, ujungnya bisa menimbulkan masalah. “Bisa saja yang bermasalah alatnya, bisa saja pada operatornya yang tidak memiliki kompetensi,” kata Sjahrial.

Untuk diketahui, sebelum mengoperasikan alat, kontraktor sejatinya wajib memiliki Surat Izin Alat (SIA), sertifikat kelayakan termasuk kriteria penilaian Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

Kemudian wajib memiliki Surat Izin Operator (SIO) untuk operatornya. Kedua jenis surat ini dikeluarkan pemerintah provinsi lewat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans).

Inilah yang menjadi pertanyaan Sjahrial. Sertifikasi Disnakertrans tak menyentuh substansi masalah untuk kelayakan operasi alat berat beserta operatornya.

Sebab, menurut Sjahrial, belum tentu dinas di daerah yang berwenang punya sumber daya manusia (SDM) yang mengetahui seluruh alat berat yang variannya beragam dan teknologinya berbeda. “Saya ingin tahu, bagaimana SDM dari Pemerintah Daerah mengecek seluruh alat berat?” katanya.

Izin alat skala lokal

Jika merujuk aturan, kewenangan Disnaker mengeluarkan SIA dan SIO mengacu Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.09/MEN/VIII/2010 tentang Operator dan Petugas Pesawat Angkat dan Angkut serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/MEN/1985 tentang Alat Angkat & Angkut.

Sjahrial sepakat, kewenangan pemberian izin sertifikasi dan standardisasi alat berat dan operator tersebut merupakan tanggungjawab dari negara. Namun, kewenangan tersebut menurutnya harus dilimpahkan kepada lembaga khusus yang punya kompetensi.

Sjahrial memberikan contoh, di Malaysia peran sertifikasi kelayakan alat berat dan operatornya diurus Lembaga Pengembangan Industri Konstruksi atau disebut Construction Industry Development Board (CIDB).

“Itu lembaga mengurus seluruh jasa konstruksi, termasuk soal SDM hingga alatnya,” kata Sjahrial yang berharap lembaga serupa bisa berdiri di Indonesia

Menjawab soal prosedur pemberian kelayakan operasi alat berat, Priyono, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta bilang, timnya melakukan evaluasi sebelum alat berat tersebut mendapatkan SIA.

Apakah alat berat tersebut baru ataupun rekondisi, sejauh lolos evaluasi dari timnya, maka Disnakertrans DKI Jakarta akan mengeluarkan SIA. Soal prosedur apa yang dilakukan dalam pemeriksaan alat, Priyono enggan menjawabnya . “Itu terlalu teknis,” kata Priyono.

Meski izin SIA dan SIO sudah ada, bukan berarti alat berat bisa digunakan di manapun. Sumber KONTAN di perusahaan kontraktor bilang, izin alat tersebut biasanya hanya berlaku di daerah yang bersangkutan saja, dan tidak berlaku saat dipindah di daerah lain.

“Sertifikasi (SIA dan SIO) tersebut tidak berlaku secara nasional. Ketika kami memakai alat berat di Sumatra kemudian mau pindah dan pakai di Jawa, maka kami harus sertifikasi lagi alat tersebut, sehingga menambah beban biaya kami,” kata kontraktor yang enggan sebut nama itu.                                   

Alat Berat Rekondisi Mewarnai Pasar Alat Berat di Indonesia

Pasar alat berat di Indonesia tak hanya diramaikan oleh alat berat jenis baru atau lepas segel dari pabrik saja. Indonesia adalah pasar menggiurkan bagi alat berat bekas dari berbagai negara. Alat berat bekas itu dikenal dengan nama alat berat rekondisi.

Untuk masuk ke pasar Indonesia, pebisnis alat berat rekondisi tersebut mendapatkan perlindungan dari pemerintah dengan dua regulasi dari instansi yang berbeda.

Pertama, regulasi dari Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 127 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru.  Regulasi ini telah diperbarui lewat Permendag No 17 Tahun 2018.

Kedua, regulasi dari Kementerian Perindustrian melalui peraturan Menteri Perindustrian Nomor 14  Tahun 2016 tentang Kriteria Teknis Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru.

Benny Kurniajaya, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Rekondisi Alat Berat dan Truk Indonesia (Aparati) bilang, impor alat berat rekondisi belakangan ini mengalami kesulitan pasokan.

Berbeda dengan tahun 2015 lalu, saat pasokan alat berat rekondisi tersebut terbilang berlimpah, terutama berasal dari beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. “Sekarang ini, jika ada barang, maka harganya sudah mahal karena banyak negara yang mengincarnya,” kata Benny.

Namun, anggota Aparati tak hanya memasarkan alat berat rekondisi impor saja, karena di antara mereka ada yang melakukan bisnis jual beli alat berat rekondisi dari dalam negeri.

Adapun pembelinya mulai dari perusahaan penyewaan sampai dengan perusahaan kontraktor yang memakai alat berat tersebut secara langsung.  
Soal kualitas alat rekondisi, Benny bilang, bergantung pemakaian dan usia alat berat itu.

Berikutnya: "Berebut menyewakan alat berat"

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 5 Maret - 11 Maret 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut:  "Menilik Kelayakan Operasional Alat Berat"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×