Reporter: Adinda Ade Mustami, Asnil Bambani Amri, Fransiska Firlana | Editor: Mesti Sinaga
Sebelumnya: "Menyoal kelayakan alat berat konstruksi (1); Menilik Kelayakan Operasional Alat Berat
Berebut Menyewakan Alat Berat
Keinginan pemerintah melipatgandakan proyek infrastruktur berbuah manis bagi pebisnis alat berat, terutama pebisnis penyewaan alat berat. Perusahaan penyedia jasa penyewaan alat berat pun bermunculan, termasuk pemain asing (Baca: Ketika Asing Dian-Diam Ingin Main Sendiri).
Banyak pula perusahaan yang dulu hanya berjualan alat berat, kini ikutan pula berbisnis menyewakan aneka jenis alat berat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang ingin menggenjot proyek infrastruktur pada masa pemerintahannya. Hal ini tampak dari anggaran infrastruktur yang naik saban tahun.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, anggaran infrastruktur mencapai Rp 409 triliun, naik dibanding anggaran di tahun 2017 sebesar Rp 387,3 triliun.
Selain dari APBN, pembiayaan proyek infrastruktur dari badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta juga menjadi obat kuat.
“Proyek itulah yang menyelamatkan bisnis alat berat usai bisnis tambang tumbang tahun 2013-2014,” kata Benny Kurniajaya, Presiden Direktur PT Jakarta International Machinery Centre (Jimac) Group.
Kenaikan permintaan alat berat untuk infrastruktur itu mulai terlihat sejak pertengahan 2015, saat dana proyek infrastruktur mulai mengucur. Adapun jenis alat berat infrastruktur yang banyak dibutuhkan adalah crane, alat mengangkat material di proyek konstruksi.
“Perusahaan rental saya (Rental Perkasa) punya 50 crane, sekarang tersewa semua,” kata Benny yang kini tengah dalam proses pengadaan 100 crane untuk dia sewakan lagi.
Beberapa jenis crane yang dibutuhkan untuk infrastruktur antara lain; crawler crane, mobil crane (truck crane), tower crane, hidraulis crane dan hoist crane. Merek crane itu beragam, dari merek Jepang seperti Komatsu, hingga merek Amerika seperti Caterpillar dan merek China seperti Sany.
Selain crane, jenis alat berat konstruksi yang ramai disewakan adalah wheel loaders, atau alat berat beroda yang berfungsi mengangkut dan memindahkan material. Ada juga buldoser serta eskavator. Berbeda dengan crane, ekskavator dan buldoser telah banyak yang dirakit di dalam negeri.
Namun, kebanyakan alat berat konstruksi yang disewakan berasal dari impor. Sjahrial Ong, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha dan Pemilik Alat Konstruksi Indonesia (Appkasi) mengatakan, crane yang ada di Indonesia semuanya impor. “Kalau alat berat tambang sudah banyak yang dirakit di Indonesia,” jelas Sjahrial.
Kebutuhan alat berat konstruksi yang terus berkembang, membuat banyak perusahaan rental alat berat ekspansi dengan menambah alat baru. Selain itu banyak juga perusahaan baru yang bermunculan.
Berdasarkan penelusuran KONTAN, ada banyak perusahaan penyewaan alat berat yang menawarkan jasa mereka di internet. Namun, beberapa perusahaan yang dihubungi KONTAN, enggan diwawancarai.
BUMN ikut mencuil kue
Tak hanya perusahaan swasta, perusahaan penyedia jasa sewa alat berat juga ada yang berstatus pelat merah. Seperti PT PP Presisi Tbk. Di bisnis sewa alat berat ini, emiten berkode saham PPRE itu fokus melayani pesanan alat berat untuk induk usahanya, yakni PT PP Tbk (PTPP)
Sampai kuartal III-2017, PPRE mencatat pendapatan bisnis rental Rp 148,8 miliar atau 16% dari total pendapatannya Rp 930 miliar.
Benny Pidakso, Direktur Keuangan PPRE, menyatakan, perusahaannya membidik pendapatan penyewaan alat berat tahun ini Rp 490 miliar atau 10% dari target pendapatan keseluruhan Rp 4,9 triliun.
Namun sayangnya, di tengah geliat bisnis penyewaan alat infrastruktur itu, pelaku bisnis ini mengeluhkan minimnya pasokan alat berat.
Salah satunya, perusahaan distributor alat berat PT United Tractors Tbk (UNTR). Akibat kurang pasokan alat berat dari prinsipal, penjualan alat berat konstruksi UNTR tahun lalu justru turun 10% menjadi 909 unit dari 1.003 unit di 2016.
Penurunan penjualan itu juga terjadi, “Karena kompetisi sektor konstruksi semakin ketat,” kata Ari Setiyawan, Investor Relation UNTR.
Agar proyek konstruksi tetap berjalan, pemerintah pun kemudian membuka opsi impor alat berat bekas. Saat itulah, kontraktor asing ambil kesempatan impor alat berat sendiri untuk menggarap proyeknya di Indonesia. “Bagi pemerintah yang penting proyek selesai,” tuding Sjahrial.
Selain kontraktor asing, impor alat berat bekas juga dilakukan oleh perusahaan alat berat dalam negeri.
Namun kini, impor alat berat bekas tak lagi menarik. “Sekarang harganya mahal,” kata Benny yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Rekondisi Alat Berat dan Truk Indonesia (Aparati).
Rupanya, banyak negara mengincar alat berat bekas dari Jepang atau negara lainnya, sehingga hukum ekonomi pun berlaku, “Harga alat berat bekas otomatis jadi naik, sehingga selisih harganya bersaing dengan alat berat baru buatan China,” ujar Benny.
Belum ada data pasti
Selain impor bekas, pengusaha alat berat khusus konstruksi tak punya pilihan selain membeli baru. Namun, kata Sjahrial, alat berat baru yang ada di pasaran itu pun sumbernya impor juga. Maklum, alat berat konstruksi hasil rakitan dalam negeri terbatas beberapa produk saja, seperti buldoser dan eskavator.
Sementara untuk crane, loader dan alat khusus lainnya, hampir semuanya harus didatangkan dari luar negeri.
Sjahrial berharap agar crane serta alat berat konstruksi lainnya bisa diproduksi di dalam negeri. Namun sejauh ini belum ada investor yang tertarik masuk ke bisnis ini karena tak ada data pasar crane di Indonesia. “Ini jadi persoalan, tak ada data yang bisa menjadi acuan bisnis,” katanya.
Sampai saat ini, ujar Sjahrial, pemerintah belum mengetahui jumlah pasti perusahaan penyedia jasa sewa alat berat berikut jumlah alatnya.
“Selama ini alat berat tidak wajib punya nomor kendaraan seperti kendaraan bermotor,” jelas Sjahrial yang juga duduk sebagai Ketua Komite Daya Saing, Dukungan Daya Saing & Kerjasama Luar Negeri, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional.
Untuk mengatasi masalah ini, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membuat kebijakan registrasi alat berat mulai awal 2018.
Namun hingga saat ini baru 168 perusahaan yang berpartisipasi. “Karena aturan tidak tegas, tidak ada paksaan,” ujar Sjahrial.
Tanpa data yang akurat, tentu pemerintah akan kesulitan membuat kebijakan untuk menata industri ini.
◆ Mulai Kewalahan Saat Permintaan Makin Berlimpah
Produksi alat berat kembali sumringah dalam dua tahun terakhir. Setelah melorot hingga 31% dari periode 2014-2015, pada 2015-2016 lalu, produksi sudah naik sekitar 5%. Kemudian pada periode 2016-2017 terjadi lonjakan hingga 52%.
Tahun ini, produsen alat berat optimistis, produksi alat berat tahun ini akan terus tumbuh hingga mencapai 7.000 unit, jauh di atas produksi tahun lalu (lihat Infografis).
Namun, meskipun produksi dilakukan optimal, pasokan alat berat baru ini tak cukup, lantaran perkiraan kebutuhan mencapai 10.000 unit.
Salah satu pemicu lonjakan produksi alat berat ini adalah harga batubara di pasar global yang mulai menghangat. Ditambah lagi dengan melonjaknya harga minyak kelapa sawit mentah alias crude palm oil (CPO).
“Harga batubara semakin bagus, perusahaan tambang mulai menggali. Kontraktor mulai pesan lagi,” kata Managing Director PT Intraco Penta Prima Servis (IPPS) George Setiadi.
Pada tahun 2017, papar George, penjualan alat berat IPPS sudah naik tinggi, yakni 30% sampai 40% dibandingkan dengan 2016. IPPS optimistis, tahun ini penjualannya masih bisa tumbuh tinggi lagi, yakni di atas 30%.
Keyakinan IPPS itu ada dasarnya. Harga batubara yang masih tinggi di level US$ 80 per metrik ton, membuat produsen batubara bersemangat untuk mengeruk lahan tambang mereka. Ditambah lagi dengan siklus lima tahunan, di mana kontraktor pertambangan biasanya melakukan pembaruan alat berat.
Agar penjualan lebih bergairah, Intraco Penta menyiasati bisnis dengan cara menambah varian produk alat berat. Jika sebelumnya hanya menjual Volvo dan SDLG, kini mereka mulai menjual alat berat jenis rigid dumb truk merek Terex.
Produsen lain, PT United Tractors Tbk (UT) tahun ini pasang target penjualan alat berat secara keseluruhan sebesar 10%. Tahun lalu, penjualan alat berat perusahaan ini mencapai 3.800 unit, dari angka tersebut, penjualan alat berat untuk pertambangan sekitar 40%.
“Pemilik tambang lebih percaya diri melakukan perencanaan produksi sejak harga batubara naik. Karena itulah mereka membutuhkan tambahan alat. Nah mulai saat itu mereka mulai melakukan komunikasi dengan kami, sebagian sudah order mulai semester II tahun lalu,” ujar Sara K. Loebis Sekretaris Perusahaan United Tractor.
Ketua Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi) Jamaluddin mengatakan, meskipun permintaan tahun ini terbilang naik tinggi dalam lima tahun terakhir, tapi sejatinya belum setinggi permintaan tahun 2011 yang mencapai 17.000 unit. Pada periode tersebut produksi alat berat dalam negeri hanya 8.000 unit.
Namun, permintaan alat berat yang besar tahun ini tak bisa dipenuhi secara serta merta oleh produsen. Sebab mereka tak mampu mendongkrak kapasitas produksi dalam waktu cepat.
“Kemampuan supply dan kecepatan delivery menjadi tantangan bagi kami. Praktis costumer kan maunya cepat, semua maunya kuartal satu. Tapi faktanya, kami harus mengatur supaya aliran logistik rapi,” ujar Iman Nurwahyu, Direktur Sales Operation UT.
Intraco Penta pun sepakat dengan kondisi ini. Sebab lesunya industri selama beberapa tahun terakhir, membuat para produsen belum percaya diri. “Sekarang banyak yang minta, ya, mau tak mau harus mengantre dulu,” ujar George.
Sebagai gambaran, industri alat berat yang mati suri cukup lama membuat banyak mesin produksi tak beroperasi. Walhasil produksi lambat, meski permintaan naik.
Jamalludin menambahkan, ketersediaan sumber daya manusia untuk merakit alat berat juga terbatas. Maklum, saat industri alat berat lesu, jumlah karyawan di industri ini yang semula mencapai 17.000 karyawan menyusut jadi tinggal 13.000 karyawan. “Sekarang baru mulai nambah,” ujarnya.
Industri ini juga mengalami kesulitan memenuhi pasokan suku cadang. Hanya saja, para produsen alat berat yakin, kendala ini segera bisa diatasi.
Iman Nurwahyu mengatakan, saat ini semua prinsipal mendukung upaya meningkatkan produksi. “Kami bisa memenuhi, hanya saja tidak bisa semuanya,” katanya.
Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 5 Maret - 11 Maret 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Berebut Menyewakan Alat Berat"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News