kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%
FOKUS /

Habis-habisan memagari rupiah (1)


Selasa, 28 Agustus 2018 / 17:52 WIB
Habis-habisan memagari rupiah (1)
ILUSTRASI. Menguji Jurus Baru Membentengi Rupiah


Reporter: Havid Vebri, Merlinda Riska | Editor: Mesti Sinaga

Laiknya sedang bertarung di atas ring, Bank Indonesia (BI) terus adu kuat menghadapi tekanan global yang memporak-porandakan pertahanan rupiah.

Setelah gencar mengintervensi pasar dan mengerek suku bunga acuan, bank sentral mengeluarkan jurus baru untuk menjaga nilai tukar mata uang garuda.

Maklum, rupiah masih babak belur. Sejak dua pekan lalu rupiah beberapa kali tembus di atas 14.500 per dollar Amerika serikat (AS). Padahal cadangan devisa (cadev) sudah banyak tergerus, salah satunya untuk operasi menguatkan rupiah.

Cadev yang akhir Januari lalu US$ 131,98 miliar, di akhir Juni tinggal US$ 119,8 miliar.

Itu sebabnya, meski mempertahankan suku bunga acuan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 19 Juli lalu mengaktifkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 bulan dan 12 bulan.

“SBI bisa menambah ragam portofolio asing di pasar keuangan Indonesia,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo.

Sebagai portofolio investasi, SBI memang diperuntukkan bagi investor domestik dan asing. Beda dengan Sertifikat Deposito BI (SDBI) yang hanya untuk investor lokal.

Nah, seiring reaktivasi SBI, bank sentral menghentikan sementara penerbitan SDBI tenor 9 dan 12 bulan. “Supaya instrumen itu jadi SBI,” imbuh Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.

BI lebih memilih SBI lantaran memang fokusnya saat ini adalah menarik kembali aliran modal dari luar negeri. Persoalan devisa dalam beberapa bulan terakhir jadi momok yang membuat rupiah rentan terhadap sentimen eksternal.

Cerita ini bermula dari devisa sektor perdagangan yang tak bisa terlalu diharapkan. Kinerja ekspor negara kita tidak sebaik yang diinginkan. Sementara di sisi lain ada lonjakan impor yang cukup signifikan.

BI dan pemerintah pun berupaya memperbaiki kondisi ini dengan menggenjot ekspor nasional. Namun, upaya membangkitkan industri dalam negeri untuk meningkatkan kinerja ekspor tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek.

Untuk itu, butuh instrumen lain setidaknya yang bisa memasok devisa, biar rupiah mendapatkan pijakan untuk menguat. Artinya, mau tak mau, suka tak suka, kita saat ini butuh pasokan dana asing.

Terlebih, tekanan global semakin kuat. Kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed memacu pembalikan dana-dana panas dari emerging market, tak terkecuali Indonesia.

Arus dana asing yang keluar deras ini membuat rupiah semakin terbenam. Bagi BI, keputusan mengaktifkan kembali SBI bisa jadi cara paling ampuh untuk mengundang asing kembali masuk ke Indonesia.

Masih di tangan lokal

Cuma, keputusan bank sentral menghidupkan lagi SBI tak langsung membuat otot rupiah menguat. Nilai tukar rupiah malah terperosok semakin dalam ke posisi Rp 14.520 per dollar AS pada 20 Juli.

BI baru menggelar lelang  SBI pada 23 Juli yang hasilnya memang menunjukkan penyerapan dana yang cukup lumayan. Namun, yang menyerap SBI masih terbatas bank lokal peserta operasi moneter.

Dalam lelang tersebut, total penawaran yang masuk Rp 14,24 triliun. Tapi, BI hanya menyerap Rp 5,97 triliun.

Dari bidding rate yang masuk, BI pun cuma memberikan bunga 6,25% untuk SBI tenor 9 bulan dan 6,35% buat tenor 12 bulan. Meski begitu, rupiah berhasil menguat, kembali menuju level Rp 14.400, persisnya Rp 14.454.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengakui, hasil lelang SBI tersebut belum ada yang jatuh ke pihak asing.

Menurutnya, bank asing bisa memiliki SBI sekitar satu minggu atau tujuh hari setelah dibeli oleh bank lokal peserta operasi moneter terlebih dahulu.

Setelah tujuh hari, bank lokal boleh menjualnya ke bank atau individu asing. Pihak asing yang memegang SBI juga harus menahan kepemilikannya selama tujuh hari lagi, setelah itu baru bisa dijual.

“Jadi, dilakukan holding supaya SBI tak digunakan keluar masuk dalam jangka pendek,” tegas Nanang.

Meski begitu, selama periode itu, pemilik SBI bisa melakukan  transaksi untuk repo, outright, hibah, dan pengagunan.

“Langsung ke BI, tak perlu menunggu tujuh hari. Tapi kalau transaksi antarbank maupun pembeli harus tunggu tujuh hari dari waktu pembelian,” ujar Nanang.

BI, Nanang memastikan, bakal mengontrol penuh kepemilikan asing atas SBI. “Semua pengalihan domestik ke asing kami tahu nama dan sebagainya,” imbuh Nanang.

Memang, Ekonom BCA David Sumual melihat, ketersediaan fasilitas SBI bukan tidak mungkin akan membuat aliran modal asing kembali membanjiri pasar keuangan Indonesia. Apalagi, asing merasa berinvestasi di instrumen ini lebih aman.

Ditambah, animo asing untuk membeli surat berharga negara (SBN) sudah mulai pulih. Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, asing kembali bergairah membeli obligasi Pemerintah RI sejak awal Juli.

Porsi asing tercatat bertambah jadi 37,8% per 20 Juli, dari 37,7% di akhir Juni, atau ada aliran dana asing masuk ke SBN Rp 11,7 triliun.

Toh, efeknya ke penguatan rupiah tidak bisa dipastikan, apakah bisa bertahan lama atau hanya jangka pendek saja. Sebab, semuanya tergantung perkembangan eksternal.

Masalahnya, tekanan modal asing yang keluar ini masih terus membayangi pasar keuangan dalam negeri. Apalagi, The Fed melempar sinyal: ada kenaikan bunga acuan lanjutan dua kali lagi pada sisa tahun ini.

Kalau BI tak segera ambil sikap, langkah The Fed mendongkrak suku bunga bakal membuat kejatuhan rupiah lebih dalam. “Dari sisi moneter, saya lihat BI sudah taktis.

Tinggal yang perlu dilakukan, bagaimana terus mendorong transaksi berjalan bisa surplus,” kata David.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira berpendapat, kebijakan mengandalkan stabilitas nilai tukar rupiah memang tak cukup dari sisi moneter saja. Perlu langkah konkret pemerintah dalam mengendalikan impor.

Selama tidak diimbangi kebijakan dalam menjaga struktur perekonomian lebih kondusif, kendati BI terus menggenjot operasi pasar, rupiah tetap melemah.

Depresiasi rupiah terhadap dollar AS sejak Januari hingga 20 Juli lalu telah mencapai 6,93%. Ini lebih buruk dibandingkan beberapa negara, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat, pelemahan yang dialami mata uang Malaysia sebesar 0,38%, Vietnam 1,52%, Thailand 2,60%, dan China 4,42%.

Tapi, di bawah Indonesia masih ada Filipina yang terdepresiasi sebesar 7,24% dan India 8,12%. “Yang lebih jelek dari kita cuma dua, pertama peso Filipina, kedua rupee India,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.

Dan, penguatan rupiah pasca lelang SBI bertahan satu hari saja. Pada 24 Juli, nilai tukar rupiah kembali melemah ke level Rp 14.541 per dollar AS, posisi terlemah sepanjang tahun ini.

Tapi di hari berikutnya, rupiah menguat lagi, dan berlanjut ke hari selanjutnya, Kamis (26/7) rupiah nangkring di Rp 14.443.

Pieter Abdullah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, mengatakan, reaktivasi SBI untuk sementara bisa membikin rupiah kuat. “Sebab, SBI memang lebih menarik dari SBN,” jelasnya.

Cuma, penguatan rupiah belum tentu berlanjut. Penguatan rupiah masih memerlukan waktu, tak cukup hanya dengan SBI atau menaikkan suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate.

“Diperlukan satu paket berita bagus yang bisa menyakinkan pasar bahwa ekonomi global terjaga,” ujarnya.

David memandang, penguatan rupiah bisa saja karena animo asing membeli SBN mulai pulih. Pembalikan hot money ke SBN akibat AS bersedia kembali ke meja perundingan membahas perang dagang.

Bunga satu malam

BI punya satu lagi senjata biar jejak rupiah lebih kokoh dan tak mudah goyah. Mereka meluncurkan mekanisme suku bunga baru bernama INDONIA. Dasar aturan mainnya adalah Peraturan BI (PBI) yang bakal segera terbit.

Nanang menuturkan, INDONIA akan menggantikan suku bunga satu malam atawa overnight dalam Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) yang selama ini jadi acuan bunga pasar uang antarbank (PUAB).

BI akan menentukan tingkat bunga INDONIA melalui mekanisme transaksi, bukan quotation. Alhasil, tingkat bunganya menjadi lebih riil. “Nantinya, JIBOR overnight diganti Indonia. Untuk JIBOR tenor lain masih ada,” kata Nanang.

Sejumlah negara maju sudah lebih dahulu menerapkan penentuan bunga PUAB overnight lewat mekanisme transaksi atau lelang.

Misalnya, Inggris dengan Sterling Overnight Index Average (SONIA) yang dimulai 1997. SONIA berhasil menjaga stabilitas suku bunga overnight dan mendorong terciptanya pasar Overnight Index Swaps (OIS) di Inggris Raya.

Sementara INDONIA akan jadi basis pasar menciptakan instrumen OIS. Setelah OIS terbentuk, pasar akan memiliki instrumen hedging baru, yaitu Interest Rate Swap (IRS).

Ekonom Maybank Indonesia Juniman menilai, INDONIA strategi tepat. Perhitungan suku bunga melalui transaksi akan membuat suku bunga JIBOR overnight lebih riil.

“Paling tidak ini akan membuat suku bunga swap rupiah dan dollar AS terjaga, sehingga kurs rupiah juga terjaga,” ujarnya.

Pandangan serupa juga datang dari Bhima. Menurutnya, peluncuran INDONIA bisa mempercepat transmisi dari suku bunga acuan BI.

Selama ini banyak bank tetap menahan suku bunga kendati BI 7-day repo rate bergerak. “Nah, ini mau diatur melalui instrumen yang overnight baru itu,” ucap dia.

Dengan INDONIA, BI juga bisa memantau likuiditas perbankan. “Lebih update karena PUAB bisa lebih cepat bergerak antarbanknya. Jadi, fungsinya mungkin ke sana,” kata Bhima.

BI sudah habis-habisan membentengi rupiah dari berbagai serangan. Dan, serangan itu masih akan datang terutama dari kenaikan suku bunga AS. Pertarungan belum usai.     

Berpotensi Mengganggu Pasar Surat Utang Pemerintah

Keputusan Bank Indonesia (BI) menghidupkan lagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) memang bisa menambah amunisi bank sentral untuk melakukan langkah stabilisasi terhadap nilai tukar rupiah.

Meski begitu, kehadiran SBI berpotensi menganggu pasar surat berharga negara (SBN). Bila ini terjadi, tentu bakal menganggu pembiayaan pemerintah.

Sebab, obligasi negara kerap kali digunakan untuk menambal defisit anggaran yang digunakan untuk membiayai, misalnya, pembangunan infrastruktur, subsidi, dan bantuan sosial.

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan. Soalnya, dalam lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada Selasa (24/7) pekan lalu, pemerintah hanya menyerap Rp 4,8 triliun dari target indikatif sebesar Rp 6 triliun.

Penawaran yang masuk juga relatif sepi, hanya senilai Rp 9,88 triliun. Sementara pada lelang 10 Juli lalu berhasil meraup dana segar Rp 8 triliun, dua kali lipat dari target indikatif.

Tak bisa dipungkiri, sepinya lelang obligasi pemerintah ada hubungannya dengan SBI. Sebab, lelang SBI berlangsung satu hari sebelum lelang SBN.

Bila SBN relatif kurang memuaskan, maka tidak demikian dengan lelang SBI. Bank sentral berhasil menyerap sebanyak Rp 5,97 triliun dari lelang lelang SBI tenor 9 bulan dan 12 bulan, dengan total penawaran yang masuk mencapai Rp 14,24 triliun.  Angka tersebut, jauh lebih tinggi dari penyerapan lelang SBSN.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira mengatakan, lelang SBN relatif sepi lantaran sebagian dana investor sudah terlebih dahulu masuk ke instrumen bank sentral.

Jika terus menerus terjadi seperti ini, bukan tidak mungkin pasar pemerintah akan terganggu. “Ini tidak sehat, nanti terjadi rebutan dana antara BI dan pemerintah,” ujarnya.

Tapi, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah menyatakan, bank sentral sudah mengantisipasi agar rebutan dana itu tidak terjadi. Karena lelang SBI dijadwalkan setiap bulan,  maka BI akan terus berkoordinasi dengan pemerintah, supaya tanggal pelaksanaan lelang SBN tidak berdekatan.

Selain jadwal berbeda, karakteristik SBI dan SBN juga berbeda. SBN merupakan instrumen jangka panjang dan biasanya karakteristik investor SBN tidak memperhatikan gejolak ekonomi.

“Sementara SBI instrumen jangka pendek dan tipe investor yang selalu memperhatikan gejolak ekonomi domestik dan global,” ucap Nanang.                                         

Berikutnya:  Menata strategi investasi saat rupiah lemah

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi  30 Juli  - 5 Agustus 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut:  "Habis-habisan Memagari Rupiah"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×