kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Siap-siap, properti menanti musim semi (2)


Selasa, 24 Oktober 2017 / 15:10 WIB
Siap-siap, properti menanti musim semi (2)


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Ragil Nugroho, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga

Sebelumnya: Siap-siap, properti menanti musim semi (1)

Ini Bukan Semata Soal Suku Bunga

Jika properti residensial mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan, lain halnya dengan kondisi di properti komersial. Secara umum, pasar properti di segmen ini nampaknya masih tiarap dan membutuhkan waktu lebih lama untuk bangkit.

Maklum, perkembangan properti komersial tidak hanya terkait urusan suku bunga dan pertimbangan kondisi politik. Faktor kondisi ekonomi nasional ikut berpengaruh terhadap maju atau mundurnya bisnis di segmen ini.

Sebagai gambaran, kondisi properti komersial yang belum stabil bisa dilihat dari riset yang digelar oleh Bank Indonesia (BI) dan perusahaan konsultan properti. Data bank sentral misalnya menunjukkan, perlambatan di properti komersial terjadi mulai dari sisi harga, pasokan, dan permintaan.

Lihat saja, indeks harga properti komersial pada triwulan II 2017 cuma tumbuh 0,03% (quartal-to-quartal/qtq). Padahal triwulan I 2017 pertumbuhannya masih bisa mencapai 3,04%.

Di sisi pasokan dan permintaan, kondisinya pun segendang sepenarian. Indeks pasokan properti komersial cuma tumbuh 0,10% (qtq) berbanding 0,59% (qtq) di triwulan sebelumnya. Sementara permintaan hanya bisa meningkat 0,23% (qtq), berbanding triwulan sebelumnya yang 0,40% (qtq).

Relasi properti komersial dengan kondisi perekonomian yang paling erat bisa dilihat dari pasar ruang perkantoran di kawasan ibukota. Jakarta bisa menjadi tolak ukur lantaran kota ini menjadi pusat industri keuangan dan bisnis di tanah air.

Pangsa pasarnya menyasar korporasi yang memiliki perhitungan bisnis relatif lebih ketat. Misalnya, dibanding pasar properti residensial yang kebanyakan menyasar konsumen perorangan.

Ditambah lagi, pasokan ruang perkantoran saat ini boleh dibilang membludak. Ketika booming properti hingga 2013–2014 silam, para pengembang berbondong-bondong membangun gedung perkantoran.

Namun kondisi berubah seiring ekonomi Indonesia yang melemah didorong turunnya harga komoditas. “Sekarang suplai yang mau masuk ke pasar dibayang-bayangi penyerapan yang sulit,” kata Anton Sitorus, Head of Research and Consultancy PT Savills Consultants Indonesia.

Gambarannya bisa dilongok dari riset Colliers International Indonesia. Hingga kuartal II 2017, tingkat okupansi ruang kantor di kawasan Central Business District (CBD) Sudirman, Jakarta ada di kisaran 83,9%.

Di sisi lain, jika penyelesaian proyeknya sesuai rencana, akan ada tambahan pasokan ruang sebanyak 512.537 meter persegi (m²).

Alhasil, tingkat okupansi ruang kantor di CBD akan merosot ke bawah 80% hingga akhir tahun. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga bisa dijumpai untuk pasar ruang perkantoran di luar kawasan CBD Jakarta.

Oh ya, tambahan pasokan di CBD ini berasal dari tujuh gedung perkantoran di kawasan Sudirman, Gatot Subroto, dan Rasuna Said, di antaranya Pacific Century Place Tower, Telkom Landmark Tower II, dan The Tower.

Dus, alih-alih menaikkan tarif sewa, pemilik gedung kini malah berlomba memberikan diskon menarik untuk calon tenant. Sebagai gambaran, tarif sewa gedung perkantoran kelas premium di CBD kini minimal Rp 350.000 m²/bulan.

Beberapa pengelola gedung baru mencoba menarik penyewa dengan menawarkan harga di bawah itu. Terlebih, buat calon penyewa yang membutuhkan ruang dalam ukuran besar.

Makanya kini marak terjadi, penyewa memanfaatkan kondisi tersebut dengan pindah ke gedung baru yang menawarkan tarif sewa yang lebih kompetitif. “Ada gedung baru di CBD tarif sewanya US$ 30 per meter persegi per bulan. Diskonnya bisa 20% dari publish rate,” tutur Anton.

Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch juga melihat fenomena sama. Pasar sewa ruang kantor di kawasan CBD mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Akibatnya, tarif sewa mengalami koreksi kurang dari 5%. “Ruang kantor yang disewakan banyak tapi ternyata penyewanya belum banyak,” ujar Ali.

Nasib baiknya, industri berbasis teknologi informasi seperti e-commerce kini mulai berkembang. Semua perusahaan e-commerce memilih Jakarta sebagai kantor pusatnya di Indonesia.

Catatan Savills, perusahaan-perusahaan e-commerce menempati ruang perkantoran di Jakarta dengan total luas tidak kurang dari 35.385 m². Paling banyak berada di kawasan CBD, yakni sebanyak 22.535 m². Yang paling besar Tokopedia Tower di Kuningan seluas 13.600 m².

Jika dilihat dari tren perkembangan industri teknologi di Indonesia, ada harapan pasar di segmen penyewa ini bakal berkembang. Apalagi, lanjut Anton, suntikan dana besar masih belum berhenti mengucur ke industri teknologi informasi.

Diperkirakan, jumlah perusahan rintisan (start-up) akan bertumbuh 6,5 kali lipat hingga mencapai 13.000 perusahaan pada tahun 2020. Mayoritas perusahaan di industri teknologi bergerak di bidang teknologi informasi, pengembang software, dan e-commerce.

Merujuk kalkulasi ini, pada tahun 2020 kebutuhan industri teknologi terhadap ruang perkantoran mencapai satu juta m2.

Ruko mulai dilirik

Segmen komersial yang mulai menunjukkan geliat adalah properti ruko. Di beberapa daerah, kata Ali, pengembang mulai berani meluncurkan proyek-proyek baru. “Pasarnya sudah mulai bergairah lagi. Cuma secara umum kenaikannya masih tipis,” tandasnya.

Di sisi pengembang tampak nya juga lebih cermat dalam merilis produk anyar. Untuk proyek ruko anyar misalnya, kebanyakan memilih menyisipkannya ke proyek-proyek lain yang mereka kembangkan, daripada mengembangkan kawasan khusus.

Cara ini ditempuh oleh Ciputra. Direktur Ciputra Group, Harun Hajadi bilang, mereka tidak mencari lahan khusus untuk membangun ruko. Namun hanya membangun jenis properti ini sebagai tambahan di proyek-proyek hunian yang dibangun Ciputra.

Ambil contoh, dari satu kawasan perumahan yang berisi 600 rumah, unit ruko yang ditawarkan paling hanya 50 unit. Pun biasanya kawasan komersial itu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan para penghuni di perumahan.

“Jadi karena itu bersifat pelengkap, biasanya baru kami akan jual jika sudah ada demand di perumahan tersebut. Jadi tidak terbentur masalah over supply di pasar,” jelasnya.

Strategi serupa juga ditempuh PT Summarecon Agung Tbk. Malah, dengan skema semacam ini, Adrianto Pitoyo Adhi mengklaim, proyek anyar yang mereka rilis laris manis bak kacang goreng.

“Ruko tahap 1 Summarecon Bandung 124 unit sold out dalam sehari. Di Summarecon (Emerald) Karawang 85 unit ruko Tahap 1 juga sold out dalam sehari,” ujar Direktur Utama Summarecon Agung itu.

Catatan KONTAN, ruko yang dimaksud Adrianto adalah ruko Magna Commercial, kawasan pertokoan dua hingga empat lantai. Belum lama, di kota yang sama, SMRA juga merilis proyek ruko bertajuk Saphire tahap I sebanyak 76 unit dan langsung terjual semua saat dipasarkan. Padahal harga yang ditawarkan cukup lumayan, mulai dari
Rp 1,4 miliar per unit.

Kalau begitu, pakem yang berlaku tetap lokasi, lokasi, dan lokasi, ya?

* Artikel ini berikut seluruh artikel terkait sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN, pada Rubrik Laporan Utama edisi 2 Oktober 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Ini Bukan Semata Soal Suku Bunga"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×