kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Siap-siap, properti menanti musim semi (1)


Senin, 23 Oktober 2017 / 14:29 WIB
Siap-siap, properti menanti musim semi (1)


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Ragil Nugroho, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga

Prospek Membaik Tapi Belum Melejit

Industri properti kembali mendapat asupan sentimen positif. Yang terbaru adalah kebijakan Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate 25 basis point (bps) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada 22 September 2017. Dus, suku bunga acuan BI kini ada di level 4,25%.

Ini artinya, dalam dua RDG berturut-turut, bank sentral sudah menggunting suku bunga acuannya sebanyak 50 bps. Pada 22 Agustus lalu, bunga acuan bank sentral juga diturunkan 25 bps.

Bank Indonesia menyebut penurunan bunga acuan ini sejalan dengan realisasi inflasi 2017 yang rendah serta perkiraan inflasi 2018 dan 2019 yang berada di titik tengah kisaran sasaran. Tahun ini, BI berasumsi inflasi bisa dijaga di 4% (plus minus 1%).

Tahun depan, asumsinya laju inflasi bisa di bawah 3,5% (plus minus 1%). Asumsi itu bisa dicapai asal Pemerintah tidak mengutak-atik administrated price yang membuat inflasi bakal berlari kencang.

Di sisi lain, penjualan properti tahun ini mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Meskipun, kenaikannya belum terlalu signifikan. Data BI menunjukkan, volume penjualan properti residensial di pasar primer pada kuartal I tumbuh 4,16% (quartal-to-quartal/qtq).

Kuartal berikutnya, masih terjadi pertumbuhan meski cuma 3,61% (qtq). Tren penjualan yang cenderung mendatar ini sudah berlangsung sejak kuartal II-2016.

Meski begitu, kondisi saat ini bisa dikatakan lebih baik. Sebab, titik nadir penjualan properti di pasar primer pernah terjadi di kuartal I 2016 ketika pertumbuhannya cuma 1,51% (qtq).

Angka itu terlihat sangat mini jika melihat angka pertumbuhan 40,07% (qtq) di kuartal IV 2014. (Lihat infografis: Pertumbuhan Penjualan Rumah di Pasar Primer)

Filianingsih Hendarta, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI bilang, sektor properti tahun ini memang masih menghadapi tantangan. Daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.

Ini  diperkuat pula dengan perilaku wait and see masyarakat atas kondisi perekonomian ke depan. “Siklus properti hingga semester 1 2017 masih dalam tahapan yang melambat. Hal ini sejalan dengan riset BI yang menunjukkan bahwa siklus properti di Indonesia adalah sekitar 8 tahunan,” ujar dia.

Namun, Filianingsih melihat tanda-tanda perbaikan sudah mulai terlihat. Penjualan properti, terutama di pengembang skala besar mulai bertumbuh, rata-rata 30%. Sinyal membaiknya industri properti juga terlihat dari data Kredit Pemilikan Rumah (KPR) teranyar yang diumumkan oleh bank sentral.

Pada Juli 2017, pertumbuhan KPR mencapai 8,59%, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan pembiayaan industri perbankan yang 8,20%. Yang menarik, selama dua tahun terakhir, baru kali ini pertumbuhan KPR bisa melampaui rata-rata pertumbuhan kredit di perbankan.

Kabar baiknya, Filianingsih menambahkan, tren positif pertumbuhan KPR juga berlanjut hingga bulan Agustus 2017. Pada bulan tersebut, nilai penyaluran KPR tumbuh 9,66% berbanding 8,26% pada periode yang sama tahun lalu.

Angka pertumbuhan yang menyenangkan itu terjadi di hampir semua segmen residensial, baik rumah tapak maupun hunian jangkung. “Diperkirakan semester II 2017 akan dapat menjadi titik balik membaiknya pertumbuhan sektor properti yang tecermin dari pertumbuhan KPR di Juli dan Agustus 2017,” kata Filianingsih.

Pencapaian tersebut tidak lepas dari relaksasi rasio Loan To Value (LTV) yang dikeluarkan BI pada kuartal III 2016. Sekadar menyegarkan ingatan saja, sejak 29 Agustus 2016 BI memangkas aturan LTV KPR.

Semula, pembeli properti mesti menyediakan uang muka 20%, diturunkan menjadi cukup 15% saja. Selain itu, fasilitas KPR secara inden juga diperkenankan untuk pembelian rumah kedua dan ketiga.

Nah, di kantong bank sentral, kini tersimpan rencana untuk memberlakukan kebijakan LTV yang baru. Jika target Gubernur BI Agus Martowardjojo tidak meleset, regulasi anyar itu akan diterbitkan tahun ini juga.

Bentuknya, LTV spasial yang akan membuat uang muka yang dibayarkan konsumen di setiap daerah berbeda-beda.

Tidak berdampak

Cuma, rupanya perbankan tidak sejalan dengan pendapat BI. Felicia Mathelda Simon menyebut, relaksasi LTV yang dilakukan BI tahun lalu belum berdampak signifikan terhadap pertumbuhan KPR.

Executive Vice President (EVP) Consumer Credit Business Bank BCA  itu menilai, faktor ekonomi yang belum kondusif masih menjadi faktor penghambat pertumbuhan industri properti.

Betul, hingga semester I-2017 pertumbuhan KPR BCA di atas rata-rata industri. Secara umum, pertumbuhan KPR di semester I 2017 masih di bawah 9% (year-on-year/yoy). Sementara dalam periode yang sama, Bank BCA bisa menorehkan pertumbuhan 21,9% (yoy).

Cuma, “Pencapaian ini tidak lepas dari promosi selama Februari–April 2017 dalam rangka ulang tahun BCA ke 60,” kata Felicia.

Hingga 28 April lalu, Bank BCA memang memberikan promosi menarik untuk pengajuan KPR. Nasabah bisa mengikuti program dengan  suku bunga 6,0% efektif per tahun, yang tidak berubah selama dua tahun pertama.

Kondisi serupa juga terjadi di  Bank OCBC NISP. Veronika Susanti, Customer Solution Retail Loan Division Head Bank OCBC NISP mengakui, uang muka yang lebih rendah memang membantu masyarakat yang ingin membeli rumah.

Cuma persoalannya, harga rumah sudah terlalu mahal. Ini membuat pasar KPR yang didominasi konsumen pengguna akhir (end user) tetap tidak siap membayar uang muka rumah sebesar 15% dalam waktu singkat, 3–6 bulan.

Tidak aneh jika di lapangan pengembang memberikan masa cicilan uang muka yang panjang, antara 12 hingga 36 bulan, tergantung progres pembangunan propertinya. “Dampaknya, penjualan propertinya tahun 2017, baru akan realisasi KPR tahun 2018. Begitu seterusnya,” terang Veronika.

Terlepas dari itu, perbankan cukup optimistis pemangkasan suku bunga acuan bakal berdampak positif ke properti. Wujudnya, tentu lewat penurunan suku bunga kredit, termasuk KPR.

Pun Archied Noto Pradono, Direktur Pengelolaan Modal dan Investasi PT Intiland Development Tbk meyakini hal yang sama. Ia bilang, alasan masyarakat untuk membeli rumah kini makin bertambah, terutama melalui skema kredit.

Persoalannya, jeda waktu antara penurunan suku bunga acuan bank sentral dengan bunga pinjaman perbankan masih terlalu lama. Bahkan, seringkali butuh waktu hingga berbilang bulan sebelum bank ikut memangkas rate. Toh, efek pemangkasan BI 7-Day Rate Repo pada 22 Agustus lalu saja belum terasa dampaknya ke bunga kredit bank.

Dari kacamata lain, turunnya BI 7-Day Rate Repo lebih cepat diadaptasi oleh bank di sisi bunga simpanan. Tengok saja, empat bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sudah sepakat menggunting bunga deposito.

Kesepakatan itu terkait pengaturan bunga spesial (special rate) yang diberikan kepada deposan kelas kakap. Bunga spesial di bank-bank negara yang tadinya rata-rata 6,75% dipatok paling mentok 6,35%.

Nah, kata Archied, tren penurunan bunga simpanan bisa mendorong pemilik dana menengok instrumen lain. “Mereka (pemilik dana) punya pilihan karena tabungannya imbalnya lebih rendah dan biasanya investasi di aset jadi lebih menarik. Seperti di properti misalnya,” pungkasnya.

Namun, tentunya minat berinvestasi properti tidak akan muncul di semua proyek. Konsumen kini lebih selektif, hati-hati, dan rasional dalam memilih produk properti. Sehingga, hanya produk yang bagus dengan harga yang rasional pula yang bisa menarik minat pembeli.

Lagipula, Adrianto Pitoyo Adhi, Dirut PT Summarecon Agung Tbk menyebut, permintaan properti oleh investor memang masih rendah. “Investor masih enggan membeli. Mungkin saat ini investor juga masih pegang barang yang mungkin belum mau dilepas karena harga belum baik,” ujarnya.

Kinerja membaik

Terlepas dari persoalan minat  investor yang masih rendah, prospek sektor properti diyakini akan semakin cerah. Toh, di Summarecon, penjualan masih didominasi oleh produk properti dengan harga di bawah Rp 2 miliar. Ini merupakan produk bidikan konsumen pengguna akhir kelas menengah, bukan market investor.

Sampai dengan Agustus 2017 nilai pra penjualan perusahaan itu sudah mencapai Rp 1,8 triliun dari target full year Rp 3,5 triliun. “Dengan kondisi hasil penjualan yang disampaikan di atas kami sangat yakin (properti) akan segera pulih,” kata Adrianto.

Pengembang lain, PT Intiland Development Tbk juga menunjukkan kinerja yang kinclong. Per Juni 2017, marketing sales perseroan sebesar Rp 1,1 triliun dari target Rp 2,3 triliun hingga penghujung 2017.

Nah, pada 22 Agustus lalu, Intiland merilis 57 Promenade, yang merupakan kawasan terintegrasi seluas 3,2 hektare (ha) di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Awalnya, kata Archied, dari 57 Promenade, Intiland cuma mematok target pra penjualan Rp 520 miliar.

Kenyataannya, lanjut Archied, nilai marketing sales-nya malah mencapai Rp 1,6 triliun. Dus, belum juga tahun 2017 berakhir, target pra penjualan DILD sudah mencapai Rp 2,7 triliun atawa melampaui target senilai Rp 2,3 triliun.

Dus, para pengembang sepakat, sejauh ini tanda-tanda perbaikan di sektor properti sudah mulai terlihat. Namun bukan berarti masa keemasan sektor ini bakal segera menjelang.

“Saya perkirakan akan ada pertumbuhan yang lebih baik tahun depan. Tapi belum booming karena masih dalam tahap awal recovery,” kata Direktur Ciputra Group, Harun Hajadi.

Sementara itu, Anton Sitorus punya pandangan lain. Ia menilai, sektor properti masih kesulitan merangkak naik. Alasannya, properti tidak lagi menghasilkan capital gain yang semenarik instrumen lain, misalnya di pasar keuangan.

Bahkan, di daerah-daerah yang populer seperti Serpong di Tangerang, Cibubur dan kawasan Sudirman di Jakarta, prospek capital gain hampir tidak ada. “Orang beli properti seharga Rp 2 miliar–Rp 3 miliar, belum kebayang harganya 1–2 tahun ke depan seperti apa,” ujar Head of Research and Consultancy PT Savills Consultants Indonesia itu.

Penyebabnya, permintaan masih terbatas. Di sisi lain harga properti saat ini sudah kelewat tinggi. Ini didorong oleh aksi spekulasi tidak hanya di sisi pembeli. Pengembang ditengarai tidak menerapkan strategi harga yang lebih rasional. Hal ini juga berlaku di semua kelas properti.

Dus, jika cara ini tidak diubah, sulit berharap sektor properti bisa bangkit lebih cepat. “Developer memberikan positioning harga tidak hanya berdasar supply dan demand tapi juga spekulasi. Ini membuat dalam beberapa tahun terakhir harga properti naiknya signifikan,” tandas Anton.

Jadi, jualannya jangan kemahalan lagi dong!

Bersambung : Ini Bukan Semata Soal Suku Bunga

* Artikel ini berikut seluruh artikel terkait sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN, pada Rubrik Laporan Utama edisi 2 Oktober 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Prospek Membaik Tapi Belum Melejit"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×