Reporter: Agus Triyono, Arsy Ani Sucianingsih, Ragil Nugroho, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga
Sebelumnya: Pangkas massal anak cucu BUMN (1)
Ada Opsi yang Tidak Bikin Gaduh
Usai bertemu Presiden Jokowi dan 10 menteri di Istana Negara Jakarta, 26 Oktober lalu, Rosan Roeslani memberi kabar mengejutkan. Jokowi, kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) itu, setuju untuk menjual perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Anak dan cucu perusahaan milik negara yang akan dijual adalah yang tidak berhubungan dengan core bisnis induknya. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 600 perusahaan.
“Tadi Presiden katakan, akan merger, jual BUMN yang tidak berhubungan dengan bisnis inti mereka, sehingga anak cucu BUMN bisa dikurangi dari 800 jadi 200,” kata Rosan.
Rosan menyatakan, pengusaha nasional siap membeli perusahaan-perusahaan tersebut. Sumber pendanaan tidak akan sulit dicari, sebab anak dan cucu BUMN itu sudah beroperasi dan kondisi keuangannya juga bisa diketahui.
Sebelumnya, Jokowi memang mengaku sudah menyampaikan amanat kepada para menterinya saat rapat kabinet paripurna. Dia memerintahkan, agar 800 perusahaan yang didirikan BUMN dimerger atau dijual.
Namun, perintah Jokowi dan dorongan dari pengusaha tampaknya tidak bakal berjalan mulus. Bukan apa-apa, risiko yang mesti ditanggung tidak bisa dianggap remeh.
Yang paling dekat dengan pelupuk mata tentu risiko politik. Memang penjualan anak dan cucu usaha, bahkan BUMN induknya sekalipun, bukanlah kebijakan yang haram.
Sebab, privatisasi BUMN memang dimungkinkan secara regulasi setelah lebih dulu meminta restu Dewan Perwakilan Rakyat.Namun, risiko politiknya bakal menjadi pemberat langkah Jokowi mempertahankan kekuasaannya.
Betul, berdasar hasil berbagai survei, sementara ini popularitas dan tingkat keterpilihan Jokowi dalam pemilihan presiden 2019 lebih tinggi ketimbang calon rival yang lain. Tak bisa juga ditampik bahwasanya kekuatan koalisi pendukung pemerintah menguasai suara di parlemen.
Namun, sulit juga untuk menolak kenyataan bahwa situasi politik yang memanas menjelang pemilu 2019 bakal semakin riuh dengan urusan penjualan ratusan anak dan cucu usaha BUMN. Kondisi serupa sudah dialami Megawati Soekarnoputri yang ketika berkuasa melego Indosat.
Dan, sejak jauh-jauh hari politisi Senayan menunjukkan reaksi keras terhadap rencana itu. Azam Azman Natawijana, Wakil Ketua Komisi VI DPR mengecam wacana tersebut. Menurutnya, dorongan untuk menjual perusahaan yang didirikan BUMN lebih karena urusan para pengusaha swasta yang kalah bersaing secara bisnis.
“Kalau memang anak cucu BUMN merugikan swasta, harusnya sudah sejak lima atau tujuh tahun lalu pengusaha minta (BUMN dan anak cucunya) dikurangi,” ujar Azam, ”Sekarang ini pertumbuhan ekonomi lambat, para pengusaha mulai banyak yang rontok. Lalu mereka mencari kambing hitam.”
Penjualan anak dan cucu BUMN berpotensi merugikan negara. Sebab, perusahaan yang didirikan oleh BUMN menggunakan modal dari aset kekayaan BUMN, artinya itu juga merupakan kekayaan negara.
Atas dasar itulah, DPR saat ini tengah mengupayakan amandemen Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang BUMN. Sebab, berdasarkan beleid ini, mekanisme likuidasi anak dan cucu usaha BUMN tidak diatur. Alhasil, perusahaan-perusahaan tersebut bisa dengan mudah dan sewaktu-waktu dilepas oleh pemerintah.
Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN ragu anak usaha BUMN yang dilepas, bisa bertahan dalam genggaman pengusaha nasional. “Pengalaman, yang masuk itu asing atau alibaba. Alinya di sini, babanya di sana,” tandasnya.
Harus dievaluasi
Terlepas dari itu, Said setuju perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh BUMN memang perlu dievaluasi. Sebab, bisa jadi di antara ratusan perusahaan tersebut, ada perusahaan patungan antara BUMN dengan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan untuk berbisnis dengan induk usahanya. Dalam bahasa Said, anak haram hasil selingkuh BUMN dengan pihak yang dekat dengan kekuasaan.
Meski begitu, opsi penjualan “anak haram” tersebut juga belum tentu menjadi opsi terbaik. Apalagi jika perusahaan itu dijual karena terpaksa. “Kalau dipaksa dijual, pasti dijual murah. Mitranya yang nanti akan berkuasa. Jatuhlah kepemilikan perusahaan itu ke swasta dan berbisnis lagi dengan BUMN induknya,” ujar Said.
Menurutnya, likuidasi BUMN, termasuk perusahaan-perusahaan yang didirikannya adalah jalan terakhir. Dalam upaya penyehatan dan perbaikan BUMN, sebelum likuidasi ada tahapan revitalisasi dan restrukturisasi finansial.
Lalu pembentukan holding dan merger. Ini tahapan yang mestinya dikaji satu-persatu. “Proses melakukan rightsizing BUMN oke. tapi bukan dijual,” tandas Said.
Tak dinyana, kalangan pengusaha ada juga yang setuju dengan pemikiran Said. Dialah Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Bahlil bisa dibilang sebagai pengusaha yang lebih dulu mengeluhkan dominasi BUMN kepada Jokowi. Hal itu ia ungkapkan dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, 5 September 2017 silam.
Menurutnya, gesekan antara pengusaha swasta dengan anak dan cucu BUMN di lapangan cukup tinggi. Penyebabnya, bagian pekerjaan yang harusnya sudah diserahkan BUMN ke swasta masih digarap anak dan cucu BUMN tersebut.
Masalah bukan pada ketidakmampuan perusahaan swasta, melainkan keengganan BUMN untuk berbagi dengan entitas luar.
Namun, untuk mengatasi permasalahan tersebut, penjualan perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh BUMN bukanlah prioritas. “Prinsipnya penjualan itu opsi terakhir. Kalau bisa dimerger, ya, dimerger. Kan, ada anak cucu yang sama (bidang usahanya) tuh,” tukas Bahlil.
Cara lain
Kementerian BUMN sendiri rupanya punya cara lain mengatasi banyaknya perusahaan yang dibikin oleh BUMN. Bukan langsung lewat likuidasi atau merger.
Merger dan likuidasi hanya salah satu dari sekian banyak pola restrukturisasi yang tersedia. “Satu yang ditekankan Menteri BUMN, jangan sampai mengganggu struktur manajemen dulu. Jangan menciptakan keresahan di SDM. Kalau bicara merger, sudah diartikan nightmare,” kata Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro.
Saat ini ada sekitar 1 juta orang yang bekerja di BUMN. Ini belum termasuk pekerja yang secara tidak langsung terkait dengan BUMN. Dari sisi usia, rata-rata pegawai itu masih dalam usia produktif.
“Holding itu harus menjadi pilihan yang bagus. Proses bisnisnya yang kita sentuh terlebih dahulu. Nanti SDM-nya menyesuaikan,” imbuh Imam.
Holding BUMN akan merapikan entitas-entitas yang ada dalam satu sektor tertentu. Misal, saat ini BUMN-BUMN karya memiliki anak usaha di bidang properti. Ada Waskita Realty, WIKA Realty, dan PP Property. Adhi Karya hingga Pegadaian juga memiliki anak usaha di bidang properti.
Nah, perusahaan-perusahaan yang bisnisnya serupa ini akan dikelompokkan dalam satu pengelolaan oleh induk perusahaan BUMN.
Pengelompokan lewat holding juga diterapkan di sektor lain. Misalnya, rumah sakit yang dimiliki oleh BUMN. Saat ini sudah terbentuk holding rumah sakit BUMN. Yang berperan sebagai holding adalah PT Pertamedika Indonesia Healthcare Corporation (IHC).
Proses streamlining ini dinilai bisa membuat BUMN lebih efisien sehingga produk yang dihasilkan akan lebih kompetitif. Struktur permodalan holding bakal lebih kuat. Pasar yang bisa dijangkau pun menjadi lebih luas. Demikian pula, pasokan bahan baku bisa lebih termonitor dengan harga yang kompetitif.
Ambil contoh soal pengadaan obat-obatan yang merupakan komponen besar di bisnis rumah sakit. Jika dikelola holding, harga bisa lebih murah lantaran pembelian dilakukan dalam partai besar. Selain itu, standardisasi pelayanan rumah sakit dan tenaga medis juga bisa diterapkan sehingga memberi keuntungan bagi pasien.
Setelah terbentuknya holding, Kementerian BUMN bisa melakukan kajian untuk meningkatkan nilai dari induk usaha. Misalnya, dengan memilah dan mengkaji mana anak-anak atau cucu BUMN yang lebih bermanfaat dalam bentuk cash atau memberikan nilai tambah dalam bentuk bisnis.
“Kelak partisipasi masyarakat bisa dalam bentuk penguasaan penuh atau kami melakukan tawaran untuk melakukan penyertaan sebagian melalui IPO,” ujar Imam.
Namun perlu diingat, ketika sebuah BUMN menjadi anggota holding, proses perubahan dalam komposisi pemegang sahamnya tetap mengikuti peraturan yang berlaku.
“Karena ada saham dwiwarna di sana. Jadi induk perusahaan atau BUMN holding-nya tidak serta-merta mempunyai kuasa penuh atas saham BUMN yang dimilikinya,” papar Imam.
Terlepas dari itu, sejauh ini pemerintah tidak berencana menggelar privatisasi. Bahkan untuk BUMN yang sakit secara bisnis dan keuangan.
Sebelumnya, memang sempat menguat wacana untuk menjual BUMN-BUMN yang sakit. Namun, opsi yang kemudian dipilih adalah membangun performa BUMN-BUMN tersebut melalui sinergi dengan perusahaan pelat merah yang sehat secara bisnis dan keuangan.
Bentuknya, misalnya dengan memberikan peluang bisnis kepada BUMN-BUMN sakit agar bisa mempertahankan dan mengembangkan usahanya.
Seperti ramai diberitakan, hingga semester I-2017 ada 24 BUMN yang masih merugi. Nilai kerugiannya mencapai Rp 5,85 triliun. Sebagai perbandingan, pada semester pertama tahun lalu, jumlah BUMN yang masih menanggung rugi sebanyak 27 perusahaan. Sementara nilai kerugiannya mencapai Rp 5,82 triliun.
Said mengingatkan, pemerintah mesti mengkaji ulang holding yang sudah direncanakan. Beberapa holding menurutnya tidak mendesak untuk dibentuk. Misalnya, holding BUMN karya yang tidak membuat leverage-nya bertambah. Sebab, aset perusahaan konstruksi hanya alat berat dan SDM.
Selain itu, pembentukan holding juga mesti mengeliminir risiko, terutama saat menyangkut BUMN yang sakit secara keuangan. Istilahnya, jangan sampai BUMN yang sakit menggerogoti BUMN yang sehat.
“Contoh di PTPN, holding dilakukan tidak dengan hati-hati. Jadinya sampai sekarang sulit berkembang,” ujar Said.
Jadi, ada banyak jalan menuju Roma yang tidak bikin gaduh, ya, Pak!
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 6 November- 12 November 2019. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Ada Opsi yang Tidak Bikin Gaduh"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News