Reporter: Agus Triyono, Arsy Ani Sucianingsih, Ghina Ghaliya Quddus, Ragil Nugroho, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga
Dinilai Mendominasi, Makanya Mau Dikebiri
Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Kamis, 26 Oktober lalu cukup menarik. Pembicaraan berlangsung selama 3,5 jam. Tergolong lama untuk ukuran agenda Jokowi dengan pihak di luar pemerintahan di Istana Jakarta.
Dari Kadin, sang Ketua Umum Rosan Roeslani didampingi 11 pengurus. Sebut saja bos Grup Lippo James Riyadi dan putera sulung Aburizal Bakrie, Anindya Bakrie.
Sementara Jokowi didampingi dua menteri koordinator, yakni Luhut Binsar Pandjaitan dan Darmin Nasution dan delapan menteri lain. Rini Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk di antaranya.
Rini sempat berpolemik dengan Rosan. Pemicunya mencuat sekitar tiga minggu sebelum pertemuan antara Kadin dengan pemerintah di Istana. Saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kadin di Jakarta, Selasa 3 Oktober 2017, Rosan menyentil kiprah BUMN.
Kata Rosan, BUMN sudah banyak mengambil porsi swasta dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ada 118 BUMN di Indonesia. Jika dihitung hingga ke anak, cucu, dan cicit, jumlahnya mencapai 800 perusahaan.
“Dan itu banyak mengambil porsi swasta dan UMKM. Katering dan cuci pakaian misalnya, itu diambil sama anak cucu usaha mereka. Maka kami minta, BUMN kembali ke core business-nya,” kata Rosan.
Pendiri Recapital Advisors, yang salah satu bisnisnya di bidang restrukturisasi perusahaan, itu menyarankan, agar anak, cucu, hingga cicit BUMN yang tidak sesuai core bisnis induknya dilepas ke investor swasta.
Bukan cuma anak usaha, Rosan meminta, aset BUMN induk juga dilepas ke swasta. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan pelat merah memiliki tambahan sumber dana pembangunan infrastruktur. “Buat apa BUMN pegangin aset. Suruh jual, jual untung, aset yang sudah jadi seperti Jasa Marga, ngapain pegang jalan tol,” tandas Rosan.
Bak gayung bersambut, permintaan Rosan rupanya diamini Jokowi. Bahkan kata Presiden, sebelum disampaikan Rosan, ia sudah memberikan perintah di sidang kabinet paripurna.
“Saya sudah perintahkan kemarin, udahlah itu yang 800 itu di-merger atau perlu dijual. Ngapain itu BUMN ngurusi katering, ngurusi baju,” kata Jokowi dalam pidato penutupan Rakornas Kadin.
Rini yang bak sasaran tembak pun meradang. Kamis, 5 Oktober 2017, atau dua hari usai Rakornas Kadin, ia angkat bicara. Dalam acara ngobrol santai di Plaza Mandiri, Jakarta, ia menantang Kadin untuk menunjukkan ladang bisnis UMKM yang telah dicaplok BUMN.
“Saya sangat tersinggung, benar-benar tersinggung. Kalau memang ada tunjukkan, biar kami perbaiki,” kata Rini.
Justru, perusahaan-perusahaan negara selama ini sudah membantu pelaku usaha kecil yang tidak bisa dijangkau perbankan. Lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, hingga semester I-2017 BUMN telah membina 542.606 pengusaha kecil dan menyalurkan dana sekitar Rp 335,91 miliar.
Dan, sebab-musabab polemik antara Rini dengan Rosan rupanya menjadi salah satu agenda utama pembicaraan antara Kadin dan pemerintah pada pertemuan 26 Oktober 2017 di Istana Negara.
Kadin meminta agar BUMN dilarang mengerjakan proyek di bawah Rp 100 miliar. Para pengusaha swasta itu juga meminta agar BUMN kembali ke bisnis inti mereka. Anak, cucu dan perusahaan turunan BUMN dilepas ke swasta.
Dalam pertemuan itu Rosan memuji Rini. “Saya apresiasi ibu menteri yang terbuka. Pengusaha nasional, kami, punya banyak kekurangan, tapi di sinilah letak sinerginya. Kami akan tindaklanjuti segera,” ucapnya seperti dilansir dalam keterangan resmi Sekretaris Kabinet.
Tudingan bahwa BUMN terlalu mendominasi bisnis di Indonesia tidak cuma dilayangkan Kadin. Hal serupa juga disampaikan Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia. Jim menyampaikan hal itu di acara Indonesia Infrastructure Finance Forum di Jakarta, 25 Juli 2017 silam.
Kata Jim, pemerintah Indonesia tidak seharusnya menempatkan BUMN bersaing langsung dengan swasta. Peran swasta perlu didorong, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Dengan begitu, bakal muncul kompetisi yang sehat. Dus, pendanaan proyek infrastruktur bisa lebih efisien.
Pemerintah juga tidak boleh melihat BUMN hanya dari besaran pendapatan. Sebab, perusahaan negara bakal terdorong untuk mengejar keuntungan. “Ini membatasi swasta masuk ke infrastruktur. Mereka tak bisa bersaing dengan BUMN karena BUMN memiliki toleransi risiko tinggi karena ada pemerintah,” ujar Presiden Bank Dunia kala itu.
Senada, Luhut pun ikut mempersoalkan dominasi BUMN. Menurutnya, kondisi ini terjadi lantaran jumlah BUMN dan perusahaan turunannya terlalu banyak dan besar. Dus, ia mengaku sudah mengajukan usulan ke Jokowi untuk merestrukturisasi atau menjual BUMN. “Saya bilang ke Presiden, ini tidak sehat,” ujar Luhut, 26 September 2017 lalu.
Banyak sebab
Cuma, jumlah anak, cucu, dan cicit yang bejibun juga bukan maunya BUMN juga. Kondisi tersebut muncul karena berbagai sebab. Ambil contoh soal banyaknya BUMN yang memiliki rumah sakit. Hingga saat ini ada lebih dari 77 rumah sakit dan klinik milik BUMN.
Hal itu tidak lepas dari keterbatasan fasilitas kesehatan di wilayah BUMN tersebut beroperasi. PT Timah Tbk (Persero), misalnya, membangun Rumah Sakit Bhakti Timah lantaran keterbatasan jumlah dan fasilitas rumah sakit umum daerah (RSUD) di Bangka-Belitung yang menjadi basis operasi PT Timah. Kondisi serupa juga terjadi di banyak perusahaan pelat merah lain.
Nah, berdasarkan aturan, BUMN harus mendirikan Perseroan Terbatas (PT) tersendiri untuk mengelola unit usahanya tersebut. Hal ini juga berlaku untuk unit usaha lain yang dibentuk oleh BUMN. “Yang namanya jalan tol tiap ruas ada PT-nya sendiri.
Belum lagi yang di migas, Pertamina itu masing-masing sumur ada PT sendiri. Itu karena regulasinya mengharuskan adanya PT tersendiri,” kata Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro.
Faktor berikut munculnya unit usaha di luar core bisnis tak lepas dari upaya BUMN mengoptimalkan aset yang mereka miliki. PT Pegadaian (Persero) misalnya, punya sembilan hotel yang tersebar di Pekanbaru, Semarang, Yogyakarta, Tegal, Pekalongan, Surabaya, Gresik, dan Makassar. Bisnis hotel ini dijalankan oleh anak usaha Pegadaian, yakni PT Pessona Indonesia Jaya.
Ikhwal Pegadaian berbisnis hotel didorong oleh motif untuk mengoptimalkan aset yang mereka miliki di berbagai daerah. Ini sejalan dengan akronim nama Pessona: Pegadaian Selalu Optimalkan Nilai-nilai Aset.
Optimalisasi aset semacam ini juga ditempuh oleh PT Kereta Api Indonesia dengan mendirikan hotel untuk memanfaatkan aset mereka.
Peluang terbuka
Imam menandaskan, sinergi antara BUMN dengan korporasi swasta sudah terjalin. Saat ini sudah cukup banyak perusahaan patungan yang didirikan oleh BUMN bersama swasta.
Namun, Rini meminta, dalam perusahaan patungan itu, BUMN tetap menjadi pemegang saham mayoritas. Tujuannya, agar BUMN bisa mengontrol perusahaan tersebut demi kepentingan negara dan masyarakat.
Imam juga membantah dominasi BUMN di proyek-proyek infrastruktur. Sejak akhir 2014, BUMN konstruksi tidak lagi mengambil proyek di bawah Rp 30 miliar. Ini seiring penandatanganan kesepakatan antaran Kementerian BUMN dengan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) pada Desember 2014.
Tahun berikutnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat merilis Peraturan Menteri PUPR No. 31 Tahun 2015 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultasi. Pada beleid ini ditegaskan, BUMN tidak bisa mengikuti lelang proyek di bawah Rp 50 miliar.
Meski tidak dibungkus dalam regulasi khusus, batasan ini sebetulnya malah sudah naik ke angka Rp 100 miliar. Persis seperti yang diinginkan Kadin. “Bu menteri itu menegaskan, malah sampai Rp 100 miliar pun diminta BUMN tidak mengerjakan. Biarkan memberikan kesempatan kepada swasta,” tandas Imam.
Sebetulnya, bukan cuma proyek-proyek infrastruktur skala menengah. Bahkan, untuk proyek-proyek besar dan strategis ikut ditawarkan kepada swasta. Pemerintah selama ini banyak memposisikan BUMN untuk menggarap proyek-proyek infrastruktur yang secara bisnis kurang menguntungkan.
Tol Trans Sumatera, misalnya, sudah tiga kali dilelang tapi tiada peminat. Hingga akhirnya pemerintah menugaskan PT Hutama Karya (Persero) untuk menggarap jalan tol tersebut.
Persoalan di Tol Trans Jawa juga tidak jauh berbeda. Izin jalan tol ini sudah dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1996. Namun, Trans Jawa tidak pernah tersambung lantaran swasta yang mengantongi izin tidak kunjung menggarap proyek tersebut. Dus, akhirnya BUMN berinisiatif membeli izin-izin tersebut dari tangan investor swasta.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia menilai, sudah sewajarnya BUMN menggarap proyek-proyek yang belum punya nilai ekonomi.
Sebab, peran BUMN memang seharusnya menjadi lokomotif pembangunan. Tapi dalam menggarap proyek-proyek tersebut, ada bagian-bagian yang mestinya bisa diserahkan ke swasta, malah masih digarap anak cucu perusahaan negara.
“Kalau anak cucu BUMN juga ikutan berarti BUMN menarik gerbong yang mana? Harusnya menggandeng dan menarik gerbong swasta. Yang terjadi di lapangan malah gontok-gontokan. Itu tidak fair,” tandasnya
Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, berpendapat lain. Menurutnya, dominasi negara melalui BUMN saat ini terbatas hal-hal yang bersifat penugasan.
Misalnya, Pertamina untuk bahan bakar minyak (BBM), PLN di distribusi listrik, serta holding BUMN pupuk. Yang selama ini menghegemoni justru korporasi swasta.
“Sektor otomotif, air mineral, perkebunan, pertambangan dan banyak lagi itu konglomerasi swasta yang menguasai. Tapi kenapa malah konglomerasi BUMN yang dipersoalkan,” ujarnya.
Penguasaan aset juga ada di tangan swasta bukan BUMN. Di perbankan, aset empat bank BUMN tak sampai separuh dari total aset perbankan di Indonesia. Di bidang sumber daya alam (SDA), BUMN juga bukanlah penguasa di negeri ini.
Said mengambil contoh produksi batubara BUMN yang cuma 5% dari total proyeksi produksi nasional yang mencapai 477 juta ton. “Luas lahan kebun sawit satu konglomerat besar di Indonesia itu sama dengan seluruh kebun sawit PTPN yang jumlahnya ada 14 PTPN,” tandas Said.
Jadi, siapa yang mendominasi bisnis di negeri ini?
Berikutnya: Ada opsi yang tidak bikin gaduh
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 6 November -12 November 2019. Artikel selengkapnya berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Dinilai Mendominasi, Makanya Mau Dikebiri"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News