Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Mesti Sinaga
Sebelumnya: Menguak hubungan ekonomi RI-Israel: Geliat bisnis wisata rohani (1)
Sering Kencan, Pun Tak Ada Hubungan
Tahun lalu orang nomor wahid di Israel, Benjamin Netanyahu harus menghabiskan waktu belasan jam untuk menempuh perjalanan dari Singapura menuju Australia dengan pesawat terbang.
Padahal, penerbangan normal antara negeri Singa dengan Negeri Kanguru tersebut sejatinya hanya menghabiskan waktu sekitar 8 jam saja.
Namun, Perdana Menteri (PM) Israel itu harus terbang lebih lama karena tak diperbolehkan melintasi wilayah udara Republik Indonesia.
Alhasil, Netanyahu harus mengitari wilayah Indonesia agar bisa sampai ke Sydney, Australia. Ia terpaksa memutar ke Filipina, kemudian ke Papua Nugini hingga akhirnya mendarat di Sydney.
Banyak media melaporkan, Netanyahu tak bisa terbang di langit Indonesia karena kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik.
Lantaran tak ada hubungan diplomatik, urusan menyangkut kepentingan kedua negara sulit dilaksanakan, termasuk urusan izin terbang di langit Indonesia. Sebaliknya, pejabat diplomat dari Indonesia juga tak bisa melintasi langit Israel saat terbang menuju wilayah Palestina.
Namun, cerita berbeda terjadi di sektor perdagangan. Produk-produk dari Israel bisa melenggang masuk wilayah Indonesia. Begitu juga sebaliknya. Aktivitas perdagangan kedua negara tetap terjalin meski keduanya tidak terikat dalam hubungan diplomatik resmi.
Aktivitas perdagangan inilah yang membuat produk-produk made in Israel bisa beredar di Indonesia. Salah satu produk Israel yang banyak diperbincangkan di Indonesia adalah kurma dari Israel.
Kurma merupakan buah-buahan khas negeri padang pasir, yang tentunya juga dibudidayakan di wilayah Israel.
Lantas, bagaimana kurma dari Israel tersebut bisa masuk ke Indonesia? Bhima Yudhistira, pengamat perdagangan international menyebutkan, pintu masuk kurma atau produk-produk dari Israel ke Indonesia ada dua.
“Pertama bisa langsung di bawa dari Israel, kedua melewati negara ketiga sebagai tempat persinggahan, seperti Singapura,” kata Bhima.
Meski kedua Negara tidak memiliki hubungan diplomatik, Bhima memastikan, transaksi perdagangan tetap bisa dilakukan oleh pelaku bisnis.
Proses transaksi jual-beli pengusaha Indonesia dan Israel tersebut masih bisa berjalan dalam sistem keuangan yang kini sudah mengglobal.
Selain produk pertanian, produk-produk Israel yang masuk ke Indonesia kebanyakan adalah produk berteknologi tinggi.
Fachri Thaib, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Komite Tetap Timur Tengah dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menjelaskan, Israel merupakan negara yang unggul dalam pengembangan teknologi.
“Mereka bisa mengolah padang pasir yang tandus jadi lahan pertanian yang subur,” jelas Fachri yang pernah melawat ke Israel.
Berdasarkan pengalaman Fachri, beberapa negara yang pernah bekerjasama dengan Israel berhasil mentransfer teknologi dari Israel.
“Di Asia Tenggara ada Vietnam dan Thailand yang berhasil mentransfer teknologi pertanian dari Israel ke negaranya. Hasilnya, mereka maju dalam mengembangkan pertanian di negaranya,” terang Fachri.
Jika dilihat peta ekonomi Israel, pertanian bukanlah kontributor pendapatan terbesar bagi negara dengan gross domestik product (GDP) sebesar US$ 373 miliar tersebut.
Israel justru mengandalkan pendapatan dari bisnis jasa dan industri dengan porsi ke GDP masing-masing 67% dan 27%. “Teknologi Israel banyak di ekspor dan digunakan negara lain,” katanya.
Tak hanya teknologi untuk kebutuhan konsumen, Israel terbilang berada di depan dalam hal memproduksi teknologi pertahanan dan keamanan yang dijual ke banyak negara.
Bahkan, Indonesia pada zaman Orde Baru sempat membeli alat tempur dari Israel, meskipun dilakukan melalui pihak ketiga, yakni Amerika Serikat (AS).
Selain pengembangan teknologi pertahanan dan sistem persenjataan, Israel juga terkenal sebagai negara pemasok teknologi kedirgantaraan dan antariksa. “Bagian atau komponen dari produk-produk teknologi dari Israel itu tanpa kita tahu banyak beredar di Indonesia,” ungkap Fachri.
Di sektor jasa, Israel juga rajin mengembangkan pariwisata. Maklum, Jerusalem yang diklaim Israel sebagai wilayahnya adalah kota suci bagi agama Islam, Kristen dan Yahudi. “Umat dari tiga agama itu akan datang ke sana untuk ziarah,” jelas Fachri.
Dari waktu ke waktu, jumlah peziarah yang datang ke Jerusalem tersebut terus bertambah. Baik peziarah dari umat Islam, Kristiani maupun Yahudi.
Menurut Fachri, banyak yang berziarah ke Jerusalem dengan tujuan agar kota tersebut tidak dimusnahkan oleh Israel.
Transaksi dagang naik
Meski tak memiliki hubungan diplomatik resmi, jalur dan perdagangan antara Israel dan Indonesia tetap terjalin normal.
Aktivitas ekspor dan impor berjalan dengan rutin setiap tahunnya tanpa ada kendala yang berarti. Namun, dari sisi peluang ekspor, Israel memiliki peluang lebih besar dalam memanfaatkan pasar Indonesia yang besar.
Pantas saja, Israel memiliki produk-produk teknologi yang banyak dibutuhkan oleh konsumen di Indonesia. Adapun Indonesia saat ini masih mengandalkan ekspor raw material seperti batubara dan crude palm oil (CPO).
“Jadi dari sisi perdagangan, ekspor produk teknologi dari Israel lebih bernilai ketimbang ekspor komoditas mentah yang dilakukan oleh Indonesia,” kata Bhima.
Kondisi tersebut setidaknya terlihat dalam data perdagangan Israel yang tercatat oleh World Bank (lihat tabel). Berdasar data World Bank periode 2012-2016 tersebut, Indonesia mencatat defisit perdagangan dengan Israel. Namun, tak demikian dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Merujuk data Kemendag pada periode 2013-2017 tersebut, nilai transaksi perdagangan antara Israel dan Indonesia tidak terpaut jauh.
Meski nilainya berbeda, namun kedua data tersebut sama-sama mencatat kenaikan total transaksi perdagangan Indonesia-Israel dari tahun ke tahun.
Menurut Bhima, besar kemungkinan nilai transaksi riil yang terjadi antara Indonesia dan Israel lebih besar daripada data-data tersebut. Sebab, banyak transaksi dilakukan melewati negara ketiga sebagai hub ekspor.
Untuk diketahui saja, legalisasi perdagangan Indonesia dengan Israel dilakukan tahun 2001 lewat Surat Keterangan Menteri Perindustrian No.23/MPP/01/2001.
Surat yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid itu masih berlaku hingga kini. Menurut Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, surat itu menjelaskan tidak ada hambatan perdagangan antara Indonesia - Israel.
Karena bentuknya surat keterangan, papar Oke, maka surat itu tidak ada waktu masa berlakunya hingga sekarang.
Ingin ada diplomasi
Sejak Israel mendeklarasikan diri tahun 1948, posisi pemerintah Indonesia hingga kini tak pernah mengakui dan tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Meski demikian, komunikasi dengan Israel kerap terjadi, meski tidak dalam rambu-rambu kerjasama diplomatik.
Selain hubungan perdagangan yang sudah terjalin, Indonesia dan Israel juga pernah terlibat dalam urusan militer. Seperti disebut tadi, di zaman Orde Baru, Indonesia membeli jet tempur dan helikopter dari Israel untuk peralatan tempur TNI Angkatan Udara.
Namun, pembelian alat pertahanan tersebut dilakukan melewati negara ketiga, yakni Amerika Serikat.
Dalam kacamata bisnis, pembelian pesawat tersebut menjadikan Indonesia sebagai konsumen. Peluang inilah yang terus dijajaki Israel. Maka itu, Israel berusaha mencari jalan membuka peluang kerjasama diplomatik dengan Indonesia.
Usaha itu berulang kali dilakukan. Terakhir kali disampaikan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu tahun 2016.
Dalam tawaran itu, Netanyahu menyampaikan proposal kerjasama berbagai bidang jika hubungan diplomatik Indonesia dan Israel terjalin. Salah satunya kerjasama di bidang teknologi.
Kepada Times of Israel Netanyahu menyatakan , Israel dan Indonesia punya kesamaan dalam hal menumpas terorisme. “Sudah waktunya mengubah hubungan,” jelas Netanyahu.
Namun, Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Pramono Anung menegaskan, Indonesia menolak tawaran tersebut. Kata Pramono, Indonesia berpegang teguh kepada konstitusi dan keputusan Presiden Soekarno sebagai founding father, bahwa Indonesia mengutamakan kemerdekaan Palestina.
Tak menyerah, upaya Israel mendekati Indonesia berlanjut dengan mendekati organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).
Melalui Israel Council on Foreign Relations (ICFR), Israel mengundang tokoh NU, Yahya Cholil Staquf yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Namun, Presiden Joko Widodo menegaskan, kunjungan Cholil ke Jerusalem tersebut merupakan urusan pribadi, bukan urusan negara. “Indonesia secara konsisten tetap bersama Palestina,” tandas Presiden. ◆
Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 25 Juni - 1 Juli 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Sering Kencan, Pun Tak Ada Hubungan"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News