kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45999,83   6,23   0.63%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Menata usaha di dunia maya (1)


Kamis, 14 September 2017 / 15:27 WIB
Menata usaha di dunia maya (1)


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Choirun Nisa, Ramadhani Prihatini, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga

Data Tiada Jadinya Meraba-raba

KONTAN.CO.ID - Peralihan penggunaan saluran transaksi dari offline ke online meluas di kalangan konsumen Indonesia. Hal ini juga terjadi pada Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro dan beberapa anggota keluarganya.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, itu berkisah, bahkan untuk membeli baju saja, salah seorang saudaranya tidak pernah lagi datang ke mal. Beberapa waktu terakhir, saudaranya yang tidak disebutkan namanya oleh Bambang itu, lebih senang berkelana dan menjajal satu toko daring ke toko daring lainnya.

Perubahan ini bisa dipahami, apalagi bagi masyarakat di kota besar seperti Jakarta. Kondisi jalanan yang hampir tidak pernah lepas dari kemacetan membuat berbelanja secara daring terasa jauh lebih praktis. “Kalau bentuk badannya normal, tidak seperti saya, ya, beli bajunya melalui online saja,” ujar mantan menteri keuangan itu.

Kini, lanjutnya, dari 150 juta pengguna internet di Indonesia, 50 juta di antaranya sudah terbiasa berbelanja secara daring. “Saya termasuk (di dalam) 50 juta (orang) itu. Tetapi saya tidak untuk beli baju tapi pesan makanan pakai Go-Food,” kata Bambang sembari tersenyum.

Kisah di atas disampaikan Bambang saat menyampaikan sambutan kunci (keynote speech) di seminar soal big data yang digelar Bank Indonesia. Hajatan bertajuk “Globalisasi Digital: Optimalisasi Pemanfaatan Big Data untuk Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi” itu digelar pada Rabu, 9 Agustus 2017 di Jakarta.

Cuma, data yang disebutkan Bambang berbeda dengan yang disampaikan Agus Martowardjojo. Dalam acara yang sama, Gubernur Bank Indonesia itu melansir hasil riset Statista.

Datanya, pada tahun 2016 jumlah pengguna internet Indonesia yang berbelanja secara online mencapai 24,74 juta orang.

Setiap konsumen tersebut rata-rata menghabiskan uang Rp 3 juta per tahun. Dus, tahun lalu para konsumen daring Indonesia telah membelanjakan uang sekitar US$ 5,6 miliar atau sekitar Rp 75 triliun di berbagai e-commerce.

Bisa ngawur

Data-data yang disampaikan kedua pejabat tinggi negara ini paling tidak menunjukkan dua hal.

Pertama, betapa pun perbedaannya cukup signifikan, pasar e-commerce (e-dagang) di Indonesia yang demikian besar makin tergambarkan.

Kedua, industri yang terus berkembang dengan cepat ini ternyata tidak terlacak dengan baik. Dus, para pengambil kebijakan tidak memiliki dan menggunakan panduan yang sama soal industri ini. Lantas, bagaimana pemerintah bisa mengambil kebijakan yang tepat jika soal data saja masih berselisih?

Anda mungkin masih ingat soal polemik data pangan yang mengemuka tahun lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan tidak bisa menutupi kekecewaannya karena acuan data yang digunakan Kementerian Pertanian (Kemtan) dengan kementerian dan instansi lain saling berbeda. Alhasil, pemerintah kesulitan dan acapkali keliru mengambil kebijakan.

Soal sapi misalnya, data kebutuhan impor yang menjadi patokan Kementan dengan yang dimiliki Kementerian Koordinator Perekonomian berbeda jauh. Ada selisih 184.929 ton sehingga berpengaruh kepada kebijakan impor sapi yang ngawur dan bermasalah.

Kembali ke urusan e-commerce, implikasi dari tidak adanya data yang bisa menjadi acuan bagi pemerintah, tidaklah kecil. Misalnya saja soal kondisi daya beli masyarakat. Industri ritel konvensional mengeluhkan penjualan melambat.

Namun di saat bersamaan, industri e-commerce mempublikasikan pertumbuhan penjualan bahkan hingga berkali-kali lipat.

Lalu, seperti apa kondisi daya beli masyarakat yang sesungguhnya? Bagaimana pula cara pemerintah bisa memberikan respon kebijakan yang tepat? Dua pertanyaan ini serupa persoalan di sektor pangan yang tidak akan ada beresnya jika tiada data yang menjadi acuan bersama.

Hal ini juga sudah dibaca oleh Bambang. Konsumsi masyarakat diakui memang menurun. “Dengan makin besarnya porsi online, kalau BPS masih pakai cara lama dan belum bisa masuk data ke digital, saya kok khawatir belum semua transaksi tertangkap di data statistik,” tandasnya.

Sayangnya, lembaga statistik yang punya otoritas tertinggi dalam urusan data di negeri ini belum mengambil langkah maju. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto pun sejauh ini baru sebatas mengira-ngira.

Misalnya, jika pergeseran cara transaksi dari offline ke online cenderung terjadi di masyarakat menengah ke atas. “Ada pergeseran di sana tapi tidak ada angka yang pasti. Tapi saya pastikan masih kecil,” kata Suhariyanto.

Kepala BPS menyebut, ke depan pihaknya memang perlu melakukan pengumpulan data di e-commerce. Tapi ia menegaskan BPS tidak bisa melakukan hal itu sendiri dan harus bekerjasama dengan semua pemangku kepentingan, termasuk pihak swasta.

Cuma, tidak ada penjelasan lebih lanjut soal langkah yang akan diambil BPS dalam menjalin kerjasama yang dimaksud.

Yang jelas, lantaran berbentuk perusahaan privat, e-commerce di Indonesia memang tertutup soal angka dan volume penjualan. Publikasi yang mereka sampaikan biasanya hanya dalam bentuk persentase.

Ambil contoh di Ralali.com yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT Raksasa Laju Lintang. Joseph Aditya, Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Ralali.com menyebut, hingga akhir tahun 2017, nilai transaksi mereka ditargetkan meningkat lima kali lipat dibandingkan akhir tahun 2016.

Sampai akhir semester I-2017, Ralali.com telah mencapai 60% dari target  tersebut. Kalau dihitung sejak awal tahun nilai transaksinya melonjak lebih dari 300%.

Meski begitu, bukan berarti pengelola e-commerce sama sekali alergi berbagi data. Kini, Bank Indonesia tengah menggaet e-commerce untuk kepentingan big data.

Yati Kurniati, Direktur Eksekutif Departemen Statistik BI bilang, hingga kini ada delapan gabungan dari perusahaan dan e-commerce yang telah setuju untuk memberikan informasi transaksi mereka untuk big data. Tokopedia dan Bukalapak adalah dua di antaranya.

Bagi bank sentral, data yang tersedia bisa memperkuat pengambil keputusan, baik untuk kepentingan moneter, pasar keuangan, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah (SP-PUR) (baca boks)

Upaya “menangkap” data transaksi e-commerce juga terekam dalam Peraturan Presiden tentang roadmap e-commerce.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebut, transaksi di e-commerce bakal terhubung dengan National Payment Gateway (NPG) yang digagas Bank Indonesia.

Berdasar perpres yang dokumennya dimiliki KONTAN, implementasi kebijakan ini akan diterapkan secara bertahap mulai tahun ini hingga 2019 mendatang. (bacaMenata Usaha di Dunia Maya (2)

Aditya sendiri menilai, langkah BI cukup positif dan bakal bermanfaat buat pengelola e-commerce. Pertama, data tersebut bisa memberikan insight tersendiri bagi para pelaku e-commerce untuk membaca gambaran pasar mengenai tren yang ada.

“Juga memberikan kepercayaan diri lebih bagi para investor untuk memberikan investasi kepada para tech start-up potensial di Indonesia,” ujar Aditya.

Respons serupa juga datang dari Aulia Ersyah Marinto. Cuma, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA/Indonesian E-Commerce Association) memberikan catatan, pendataan baik oleh BI maupun lembaga pemerintah, mesti berdasarkan mekanisme yang baku.

“Sekarang belum ada mekanismenya. Ini harus ada regulasinya, jaminan keamanan datanya seperti apa,” tukas Aulia.

Gubernur BI paham betul dengan kekhawatiran semacam ini. Maka dari itu, Agus menjamin, bakal ada non-disclosure agreement antara pihak pemberi data dengan BI.

Intinya, BI menjamin, data yang akan dirilis nantinya bersifat umum. “Kami tidak akan membuat informasi individu bocor ke pihak lain,” janji Agus.

Biar semua pihak bisa merasa nyaman, ya,

Selanjutnya:  "Menata usaha di dunia maya (2);  Peta Jalan Demi Kemaslahatan"

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 14 Agustus 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Data Tiada Jadinya Meraba-raba"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×