kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,69   4,34   0.47%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Gelontoran program sosial, demi ekonomi atau citra? (2)


Selasa, 03 Oktober 2017 / 15:27 WIB
Gelontoran program sosial, demi ekonomi atau citra? (2)


Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

Dampaknya Ada dan Langsung Terasa

Senin, 7 Agustus 2017 lalu Eko Putro Sandjojo menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Jokowi menanyakan soal efektivitas Dana Desa yang digelontorkan pemerintah sejak tahun 2015.

Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal itu lantas memaparkan sejumlah data terkait penggunaan Dana Desa.

Kata Eko kepada Jokowi, berkat Dana Desa sepanjang 66.000 kilometer jalan baru dan 38.000 unit penahan longsor sudah dibangun. Namun, jawaban itu tidak lantas membuat Presiden puas.

“Saya bilang, efektif, tapi Presiden minta segera diadakan survei untuk mengukur dan evaluasi efektivitas Dana Desa,” kata Eko usai pertemuan tersebut.

Pertanyaan dan perintah Jokowi kepada Eko muncul setelah sekitar sepekan sebelumnya penggunaan Dana Desa menjadi sorotan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Prasetya dan Bupati Pamekasan Ahmad Syafii. Keduanya terlibat kasus suap demi menutupi dugaan penyelewengan Dana Desa yang sedang diusut oleh kejaksaan.

Terlepas dari munculnya kasus dugaan suap tersebut, permintaan Jokowi terbilang wajar. Sebab, pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah mengeluarkan dana besar untuk menyokong program ini.

Pada 2015-2016, sebesar Rp 67 triliun belanja negara dialokasikan untuk Dana Desa. Tahun ini berdasar outlook yang dibuat Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Dana Desa yang disalurkan mencapai Rp 58,2 triliun.

Dengan anggaran sebesar itu, sayangnya belum ada survei yang secara komprehensif mengukur efektivitas Dana Desa. Padahal, pemerintah punya harapan besar terhadap pemanfaatan Dana Desa. Salah satunya untuk pengentasan kemiskinan.

Ketimpangan ekonomi antara desa dengan kota coba dipupus salah satunya dengan memanfaatkan Dana Desa untuk biaya pembangunan infrastruktur di desa-desa. “Dana desa menjadi salah satu cara mengurangi ketimpangan dan juga kemiskinan,” kata Kunta W.D. Nugraha, Direktur Penyusunan APBN Kemenkeu.

Untuk tahun depan pemerintah menyusun formula baru alokasi Dana Desa yang makin berfokus pada pengentasan kemiskinan. Ini terlihat dari bobot perhitungan alokasi yang lebih besar bagi desa tertinggal dan sangat tertinggal yang mempunyai banyak penduduk miskin.

Boediarso Teguh Widodo menghitung, dengan formula anyar, desa tertinggal akan menerima Dana Desa Rp 864 juta- Rp 2,8 miliar. Untuk desa sangat tertinggal, lanjut Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kemenkeu, itu akan menerima Dana Desa Rp 1,02 miliar hingga Rp 3,5 miliar.

Dana yang diusulkan untuk  2018 sebesar Rp 60 triliun dan jadi bagian dari satu tema besar; penanggulangan kemiskinan dan dukungan bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Cuma, tidak seperti Dana Desa, pemerintah sudah bisa mengukur efektivitas program-program yang lain. Harry Hikmat, Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, menunjukkan hasil simulasi yang dibuat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Hasilnya, Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) bisa menurunkan tingkat kemiskinan antara 0,46% hingga 1,97%. (lihat infografis)

Evaluasi terhadap program PKH yang sudah berjalan juga menunjukkan dampak program bantuan sosial ke konsumsi rumah tangga. Soal ini Harry merujuk pada hasil evaluasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Bank Dunia, dan Kemensos tahun 2015-2016.

“PKH meningkatkan konsumsi keluarga penerima manfaat sebesar 4,8%, dan kenaikan konsumsi per kapita 5%-10 %. Serta kenaikan belanja pangan untuk protein 6,8%,” kata Harry.

Langsung terasa

Dampaknya akan langsung terasa. Sebab di tataran masyarakat berpendapatan rendah, uang yang mereka miliki akan dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Hampir tidak ada alokasi untuk menabung, apalagi investasi.

Lagipula, sambung Eric Alexander Sugandi, bantuan tunai semacam ini memang didesain untuk kepentingan jangka pendek. Utamanya menjaga daya beli kelompok masyarakat miskin.

Dengan melemahnya daya beli masyarakat, program seperti ini dibutuhkan. “Di masa SBY pada tahun 2008-2009 pun pemerintah memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk menjaga daya beli masyarakat miskin,” kata Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness itu.

Dus, kenaikan konsumsi masyarakat penerima bantuan, sedikit banyak bakal berkontribusi terhadap tingkat konsumsi secara keseluruhan. Pada akhirnya, meski lebih kecil ketimbang konsumsi kelas menengah dan orang kaya, akan berpengaruh terhadap realisasi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya sudah dipatok pemerintah.

Yang tak kalah penting, ketimpangan pengeluaran penduduk bisa dipersempit. Untuk tahun 2017 pemerintah berharap rasio gini bisa dijaga di 0,39. Sementara tahun depan target rasio gini bisa ditekan hingga 0,38.

Target tersebut akan dikejar lewat bauran berbagai program yang sudah disusun pemerintah. “Kami akan menjaga keseimbangannya. Orang yang mampu membayar pajak. Uangnya dikumpulkan untuk membangun daerah tertinggal, perbatasan.

Juga membantu masyarakat dengan program bantuan pendidikan, kesehatan, sosial yang dapat mengurangi kesenjangan,” tandas Askolani, Dirjen Anggaran Kemenkeu.

Namun, pemerintah jangan lupa, sederet program dengan anggaran ratusan triliun rupiah bisa meleset dari sasaran. Jika inflasi, terutama makanan tidak bisa dikendalikan.

Masyarakat yang tergolong rentan miskin, berada dalam risiko yang besar untuk jatuh ke dalam garis kemiskinan jika daya belinya terganggu sedikit saja.

Catatan Badan Pusat Statistik, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan mencapai 73,19%. Kontributor yang paling besar pengaruhnya adalah beras, rokok kretek filter, dan telur ayam ras.

Dengan begitu, upaya menjaga inflasi mestinya menjadi bagian tidak terpisahkan dari mimpi besar pemerintah menanggulangi kemiskinan.
Biar dampak anggarannya lebih nampol.

Bersambung :  "Biar Bantuan Tidak Salah Tujuan"

* Artikel ini berikut seluruh artikel terkait sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN, pada Rubrik Laporan Utama edisi 28 Agustus 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Dampaknya ada dan langsung terasa"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×