Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Ragil Nugroho, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga
Sebelumnya: Bagi-bagi sertifikat ala Jokowi (1): Mesti Komprehensif Biar Hasilnya Lebih Sip
Bagi Sertifikat Biar Penerima Naik Derajat
Hobi blusukan sudah menjadi ciri khas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setiap kali berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia, Presiden ketujuh Republik Indonesia itu selalu menyempatkan diri untuk meninjau dan meresmikan berbagai proyek. Tak lupa, melakukan interaksi langsung dengan masyarakat.
Salah satu kebiasaan menonjol dari Jokowi saat bertatap muka dengan masyarakat adalah membagi-bagikan sepeda. Masyarakat yang berkesempatan untuk satu panggung dengannya kerap diajukan pertanyaan. Jika jawabannya benar, hadiah sepeda sudah menanti bagi yang beruntung.
Selain bagi-bagi sepeda, kebiasaan lain yang dilakoni Presiden saat berkunjung ke daerah adalah membagi-bagikan sertifikat tanah. Bukan hanya kepada masyarakat, tapi juga sertifikat tanah wakaf yang digunakan untuk mendirikan rumah ibadah maupun tempat yang terkait dengan kegiatan keagamaan.
Paling anyar, saat Jokowi membagikan 17 sertifikat tanah wakaf kepada pengurus masjid, mushala, serta surau di Masjid Raya Sumatra Barat, Padang, Sumatra Barat (Sumbar) 9 Februari 2018 kemarin.
Tahun lalu, di provinsi ini pemerintah membagikan 221 sertifikat tanah wakaf dengan total luas 423.110 meter persegi (m2). Tahun ini, tutur Sofyan A. Djalil, targetnya juga sama dengan tahun 2017.
Dua hari sebelumnya, Sofyan yang kini menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), ikut mendampingi Jokowi dalam acara serupa.
Di Kabupaten Dharmas-raya, Sumbar, Jokowi membagikan 4.000 sertifikat tanah ke masyarakat. Kepemilikannya paling banyak di Dharmasraya, yakni 3.000 sertifikat. Sisanya tersebar di berbagai kabupaten dan kota di Sumbar.
Dari berbagai seremoni yang digelar Jokowi, acara bagi-bagi sertifikat yang paling wah berlangsung akhir tahun lalu. Pada 23 dan 28 Desember 2017, tak kurang dari 1.786.144 sertifikat tanah dibagikan kepada masyarakat di 12 provinsi.
Target lebih ambisius
Perhelatan itu sekaligus menandai pencapaian kinerja Kementerian ATR/BPN. Hingga akhir tahun lalu, kementerian ATR/BPN telah melakukan pemetaan, pengukuran, dan pendaftaran sebanyak 5.220.509 bidang tanah.
Sementara sertifikat tanah yang diterbitkan mencapai 4,2 juta bidang. Ini setara dengan 82% dari target yang dipatok sebelumnya. Meski tidak mencapai target, realisasi tersebut cukup mengejutkan.
Pasalnya, berdasar catatan KONTAN, hingga pertengahan Oktober 2017, untuk program legalisasi aset, BPN baru mengeluarkan 1,7 juta sertifikat tanah.
Dalam wawancara dengan KONTAN beberapa waktu lalu, Pelopor, Sekretaris Ditjen Hubungan Hukum Keagrariaan Kementerian ATR/BPN, mengakui sertifikasi lahan tahun lalu memang gagal mencapai target. Namun, hal ini disebabkan oleh berbagai persoalan.
Pemilik sertifikasi yang sudah tidak ada di lokasi kerap menjadi kendala dalam pengurusan sertifikat. Belum lagi, sesuai ketentuan, BPN mesti mengumumkan tanah yang akan disertifikat secara terbuka selama tiga bulan. Ini untuk menampung, siapa tahu ada klaim dari pihak lain atas tanah tersebut.
Nah, khusus untuk tahun ini pemerintah mematok target bisa menerbitkan 7 juta sertifikat tanah. Di tahun terakhir pemerintahan Jokowi targetnya meningkat menjadi 9 juta sertifikat tanah. Hingga tahun 2023, Jokowi mematok target program sertifikasi tanah di Indonesia bisa dirampungkan.
Target ini terdengar ambisius. Namun, upaya pemerintah menggeber penerbitan sertifikat tanah bukannya tanpa alasan. Meski dikenal dan menahbiskan diri sebagai negara maritim, daratan di Indonesia cukup luas. Malah masuk dalam 10 besar negara dengan daratan terluas di dunia, yakni mencapai 191,09 juta hektare (ha).
Nah, kata Jokowi saat membagikan 3.500 sertifikat ranah untuk rakyat di Lampung Selatan, 21 Januari 2018 lalu, mestinya di Indonesia terdapat 126 juta bidang tanah yang harus bersertifikat.
Namun hingga tahun 2015 berakhir, baru 46 juta bidang tanah yang terdaftar di BPN. Jumlah ini kecil, kata Presiden, lantaran sebelum-sebelumnya, dalam setahun jumlah sertifikat baru yang dikeluarkan hanya sekitar 500.000 sertifikat di seluruh Indonesia
Belum redam konflik
Legalisasi aset tanah memang penting untuk dilakukan. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menyebut, sertifikat atas tanah bukan hanya sebagai bukti atas kepemilikan lahan. Namun, program sertifikasi ini juga berguna untuk menekan terjadinya sengketa lahan di tengah-tengah masyarakat.
Maklum saja, Jokowi menyebut, saban melakukan kunjungan ke daerah, ia kerap mendapati masyarakat mengeluhkan sengketa lahan. Bukan cuma sengketa antar masyarakat, tapi juga konflik masyarakat dengan korporasi, bahkan sengketa pertanahan dengan negara.
Namun, kalangan masyarakat sipil punya sudut pandang yang berbeda. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik lahan bukan cuma tidak bisa ditekan.
Yang terjadi malah sebaliknya, semakin ke sini, tren konflik semakin meningkat. (Lihat grafik Perkembangan Konflik Agraria 2013-2017).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA Dewi Kartika menenggarai, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah terkait lahan belum mampu menjawab persoalan yang ada. Sertifikasi lahan bukanlah kebijakan yang salah. Namun, praktik yang terjadi saat ini, sertifikasi dilakukan tanpa penataan ulang struktur penguasaan agraria lebih dulu.
“Mestinya yang dilakukan terlebih dulu, yang tidak punya tanah dikasih tanah. Yang kelebihan tanah, dikurangi. Itu yang disebut genuine agrarian reform,” katanya.
Walhasil, campur aduk pun terjadi antara sertifikasi tanah biasa, yakni yang dilakukan oleh masyarakat yang memang sudah memiliki tanah, dengan program sertifikasi yang menjadi bagian dari reforma agraria.
Persoalan lainnya, sertifikat yang dikantongi masyarakat, mestinya menjadi modal bagi masyarakat untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Dalam artian, tanah yang sudah dimiliki bisa dikelola dan diberdayakan dengan baik, misalnya untuk bertani. Sehingga hasilnya bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Namun, yang bikin repot, peningkatan ekonomi masyarakat lewat pembagian sertifikat malah diartikan lain. Sertifikat atas lahan membuat harga tanah terkait jadi meningkat. Yang terjadi, tidak sedikit penerima sertifikat yang kemudian menggadaikan sertifikat tersebut. Bahkan menjual tanah yang dimilikinya.
Boleh dijaminkan
Kondisi ini membuat sertifikasi lahan hanya berdampak sesaat terhadap ekonomi masyarakat. Pasalnya, uang hasil gadai atau penjualan tanah tidak digunakan untuk kepentingan produktif. Di saat yang bersamaan, penguasaan lahan dalam jumlah besar ke tangan-tangan tertentu malah sulit untuk dielakkan.
Kondisi ini rupanya disadari oleh Presiden Jokowi. Dalam beberapa kesempatan, ia kerap mengingatkan masyarakat yang sudah diberikan sertifikat oleh pemerintah.
Presiden tak melarang jika sertifikat tersebut dijadikan jaminan, asalkan dana yang diperoleh digunakan untuk kepentingan yang produktif. Misalnya, modal usaha.
Menjaminkan sertifikat itupun sebaiknya sudah melalui pertimbangan matang agar masyarakat tidak salah langkah sehingga akhirnya tujuan sertifikasi tanah malah tak tercapai.
“Saya titip kalau ingin sertifikat ini diagunkan ke bank, tolong dihitung dulu. Tolong dikalkulasi dulu. Tanyakan ke bank bunganya berapa. Cari pinjaman yang bunganya murah. Pakai itu KUR yang bunganya 9% per tahun. Tahun ini turun lagi jadi 7% per tahun,” pinta Jokowi, saat menyerahkan 3.500 sertifikat tanah untuk rakyat di Kalianda, Lampung Selatan, 21 Januari 2018 silam.
Pakar Agraria Syaiful Bahari sependapat, pemilik lahan sebaiknya tidak dilarang menjaminkan tanahnya ke perbankan. Tapi dengan catatan, uangnya digunakan untuk kepentingan produktif. Sebab, dengan hanya memiliki tanah tanpa kepemilikan modal usaha, sulit juga bagi para pemilik lahan untuk memberdayakan asetnya itu.
Satu hal yang mesti dilakukan adalah memasang pagar hukum agar tanah-tanah yang telah bersertifikat tersebut tidak dijual. Pagar itu bisa berupa regulasi yang melarang atau mempersempit peluang bagi masyarakat penerima sertifikat yang ingin menjual lahannya.
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah menerbitkan regulasi tata ruang yang ketat untuk peralihan fungsi lahan pertanian. Tanpa kebijakan semacam ini, peralihan kepemilikan lahan yang sudah disertifikasi pemerintah sulit dihindari.
Yang lebih tidak mengenakkan, jika lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, misalnya untuk perumahan dan area industri.
“Misalnya tidak ada regulasi untuk tata ruang, nanti para spekulan tanah bisa masuk. Yang tadinya tanah dipakai untuk pertanian, kemudian diubah jadi areal industri. Sudah pasti spekulan tanah akan masuk. Dan bisa-bisa semua tanah malah dijual,” kata Syaiful.
Pengamat Agribisnis F. Rahardi memiliki catatan kritis soal ini. Dalam opininya di Tabloid ini beberapa waktu lalu, ia menilai, dalam banyak kejadian petani bukannya malas mengolah lahan miliknya sendiri. Cuma tidak bisa dipungkiri, dengan mengolah lahan sendiri, risiko gagal panen dan jatuhnya harga gabah sulit dielakkan oleh petani.
Makanya, catat Rahardi, sentra-sentra produk padi di beberapa daerah, semisal di Pantura Jawa dan Sulawesi Selatan, banyak lahan persawahan yang disewakan ke tengkulak. Para tengkulak ini bisa mengelola puluhan hektare lahan sawah sewaan dengan belasan penggilingan padi.
Kondisi ini sebetulnya bisa ditekan jika petani tidak hanya diberikan lahan. Namun, petani juga perlu mendapatkan kegiatan pendampingan untuk pemberdayaan ekonomi pasca sertifikasi.
Tanpa upaya yang saling bersinergi, sulit menggapai keberhasilan program sertifikasi tanah. Kecuali hanya sekadar memperkuat dari sisi legalitas kepemilikan lahan.
Yang sangat mungkin terjadi, justru aji mumpung, harga tanah sudah melambung!
Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 19 Februari - 25 Februari 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Bagi Sertifikat Biar Penerima Naik Derajat"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News