kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ451.000,20   6,60   0.66%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Antara janji, mimpi dan realisasi Jokowi (2)


Kamis, 02 November 2017 / 15:32 WIB
Antara janji, mimpi dan realisasi Jokowi (2)


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Ragil Nugroho, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga

Sebelumnya:  Antara janji, mimpi dan realisasi Jokowi (1)

Dari Pinggiran, Demi Orang Kebanyakan

Tepat pada 20 Oktober 2017, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) resmi tiga tahun berkuasa. Jokowi-JK berkomitmen untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Bukan lagi Jawa-sentris melainkan Indonesia-sentris. Tak lupa, janji yang tercatat di Nawacita untuk berpihak terhadap ekonomi rakyat kecil.

Hingga kini pemerintah masih berusaha menepati sebagian janji-janji kampanyenya di tahun 2014. Di berbagai daerah wujudnya mulai terlihat. Yang paling menonjol adalah pembangunan infrastruktur transportasi, termasuk berbasis rel di berbagai pulau besar di luar Jawa.

“Keseluruhan pembangunan jalur kereta api demi mewujudkan visi misi Nawacita, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Soal keberpihakan terhadap ekonomi rakyat kebanyakan, diwujudkan lewat prioritas di bidang pertanian. Juga memacu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan guyuran program kredit ratusan triliun rupiah.

Presiden Jokowi terus berusaha menepati janji-janjinya. Namun sebagian program hingga kini belum terjamah. Berbagai persoalan masih menjadi aral. Simak ulasan berikut.

I. Tak Lagi Jawasentris Transportasi Massal Masih Menghadapi Aral

Tol laut menjadi salah satu program unggulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan tertuang dalam Nawacita. Saat dimulai pada 2015, pemerintah menetapkan 3 trayek.

Pada tahun 2017 trayek tol laut ditambah menjadi sebanyak 13 trayek. Tujuh di antaranya dioperasikan oleh PT Pelni dan 6 rute lainnya dioperasikan oleh swasta.

Dalam tiga tahun terakhir, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah menyelesaikan pembangunan dan pengembangan 104 pelabuhan. Dalam periode yang sama kapal perintis yang dibangun mencapai 103 unit.

Hasilnya? Berdasar data Di- rektorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kemenhub, terjadi penurunan harga beberapa jenis barang di berbagai wilayah. Mulai dari beras, tepung terigu, gula pasir, hingga semen. Pada rentang Agustus 2016-Juni 2017, penurunan harga di beberapa wilayah timur  Indonesia berkisar antara 6% hingga 20%.

Namun, fokus Jokowi-JK di maritim belum menunjukkan perbaikan di sisi logistik. Berda- sarkan Logistics Performance Index (LPI) 2016, peringkat daya saing Indonesia turun 10 peringkat dari posisi tahun 2014 yang bertengger di ranking 53.

Menurut Lollan Panjaitan, Kabag Humas Ditjen Hubla, dari enam indikator yang digunakan LPI, nilai terendah LPI Indonesia ada di kategori infrastruktur dengan skor 2,65, bea cukai 2,69, dan international shipment dengan skor 2,9. “Kondisi ini menunjukkan tiga faktor ini menyebabkan biaya ekonomi tinggi di Indonesia,” kata Lollan.

Dus, proporsi biaya logistik Indonesia terhadap PDB mencapai 25%. Ini jauh lebih tinggi ketimbang Singapura (8%), Jepang (11%), Thailand (15%) dan China (18%).
Pengamat Pelabuhan dan Pelayaran Saut Gurning menyebut, salah satu persoalan tol laut yang belum selesai adalah tumpang-tindih layanan angkutan laut.

Bukannya saling melengkapi, gejala tumpang-tindih itu malah mensubtitusi jaringan rute satu dengan lainnya. Lantaran biaya angkut tol disubsidi pemerintah, layanan swasta yang lebih dulu melayari rute tersebut kalah bersaing.

Secara kasat mata mungkin terlihat baik karena adanya penurunan biaya angkut. Namun, kapasitas angkut armada tol laut masih lebih rendah dibanding kapasitas angkut armada pelayaran swasta. “Kondisi ini cenderung distorsif terhadap keseimbangan ruang angkut kapal,” kata Saut.

Kelemahan lainnya, tol laut belum didukung kegiatan dan operasi angkutan darat dari dan ke pelabuhan. Proses angkutan kargo dari pelabuhan lewat angkutan darat, sungai, bahkan angkutan udara masih terkendala terbatasnya jumlah dan kapasitas alat angkut dan kelayakan infrastruktur jalan.

Tak cuma di laut, sektor transportasi darat di masa Jokowi juga tak lagi jawasentris. Sejak 2015, pemerintah membangun jalur kereta api (KA) di Sulawesi Selatan.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut, saat ini telah dibangun jalur KA sepanjang 16 kilometer (km) di lintas Makassar - Parepare. Penyelesaian pekerjaan pembangunan jalan rel tersebut masih terus berlangsung.

Di Sumatera Selatan, saat ini sedang dibangun jalur ganda Prabumulih-Kertapati sepanjang 82 km yang direncanakan beroperasi akhir Desember 2017. Kemudian pembangunan LRT Palembang sepanjang 23 km direncanakan Juni 2018 akan beroperasi, dan terakhir penyelesaian jalur ganda Martapura – Baturaja sepanjang 32 km.

Di Sumatera Utara, pemerintah tengah mereaktivasi jaur KA Binjai-Besitang sepanjang 80 km. Pemerintah juga menyelesaian pembangunan jalur KA Bandar Tinggi-Kuala Tanjung sepanjang 21,5 Km.

“Jalur KA Bandar Tinggi-Kuala Tanjung nantinya akan mengintegrasikan Kawasan Ekonomi Sei Mangke menuju Pelabuhan Kuala Tanjung,” ujar Budi.

Pengamat transportasi Darmaningtyas mengapresiasi kebijakan Jokowi yang diarahkan ke transportasi massal. Namun secara umum, ia melihat kendala konsistensi pendanaan masih menjadi hambatan bagi penyelesaian proyek-proyek tersebut.

Ia mencontohkan proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek dan jalur kereta api Trans-Sulawesi. “Ada juga target membangun sistem transportasi berbasis rel di 32 provinsi. Ini yang tidak digarap sama sekali,” ujar dia.

II. Klaim Pemerintah: Swasembada Pangan Sudah Tercapai Sejak Tahun Lalu

Menteri Pertanian Amran Sulaiman terikat kontrak dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden mematok target swasembada pangan mesti dicapai dalam tiga tahun. Pada tahun 2014, Jokowi beberapa kali menyebut akan mencopot Amran dari jabatannya jika target tersebut tidak tercapai.

Berdasar penelusuran KONTAN, paling tidak, Presiden Jokowi dua kali melontarkan ultimatum itu. Pertama, saat memberi pembekalan di muktamar Partai Kebangkitan Bangsa di Surabaya, tanggal 31 Agustus 2014. Kedua, saat memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 9 Desember 2014.

Sampai hari ini, Amran masih aman di posisinya. Swasembada beras sudah dicapai sejak 2016. Sejak awal 2016 hingga Oktober 2017 tidak ada ijin impor dan tidak ada impor beras medium.

Produksi padi 2016 sebesar 79,3 juta ton gabah kering giling (GKG) cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sekitar 2,6 juta ton per bulan.

Untuk tahun ini, prediksi angka sementara produksi padi sekitar 81,5 juta ton. Kata Plt Kabiro Humas Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi, angka itu berdasarkan hitungan luas tanam Oktober 2016 hingga September 2017 yang jauh lebih tinggi dibanding periode sama tahun sebelumnya.

Sementara swasembada jagung diklaim telah tercapai pada 2017 dengan prediksi produksi 26,0 juta ton.  Pada 2017 ini tidak ada impor jagung pakan ternak. Pada tahun 2016, impor jagung turun 62% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,26 juta ton.

Sejak 2016 hingga sekarang, Suwandi menyebut tidak ada impor cabai segar dan bawang merah. “Bahkan sejak September 2017 kita sudah mengekspor bawang merah ke Thailand, Singapura, Timor Leste dan lainnya,” ujarnya.

Untuk kedelai, program swasembada dimulai tahun ini dengan menanam di lahan baru seluas 500.000 hektare (ha) dan tahun 2018 direncanakan seluas 1,5 juta ha. Dus, dalam 2-3 tahun mendatang kebutuhan kedelai nasional bisa dipasok dari produksi dalam negeri.

Namun, Pengamat Pertanian Khudori meragukan klaim Kementan. Di atas kertas, berdasarkan data yang dirilis Kemtan, produksi padi, jagung, kedelai naik dibandingkan tahun sebelumnya.

“Biasanya ada istilah teori sarung. Ketika salah satu dari tiga komoditas itu produksinya naik, maka yang lain turun. Nah, ini tidak terjadi saat ini,” ujar Khudori.

Namun, bukan soal teori sarung yang membikin Khudori ragu atas klaim tersebut. Masalahnya, kenaikan data produksi ini tidak dibarengi kenyataan di lapangan. Jika produksi melimpah, artinya harus ada pasokan yang banyak dan ini seharusnya membuat harga menjadi relatif rendah.

“Tapi kenyataannya tidak begitu. Ketika pemerintah mengklaim produksi jagung naik, namun kenyataannya pelaku usaha (unggas) teriak-teriak harga tinggi. Sehingga saya termasuk orang yang meragukan data itu,” tandas Khudori.

Dus, agar klaim tersebut sahih, Khudori meminta harus ada kepastian keakuratan data dan pengawasan di lapangan.

Soal ini pemerintah tengah berusaha mewujudkan proyek “satu data dan satu peta”.  “Satu data” dikoordinasikan oleh BPS dan didukung seluruh instanasi terkait. Sementara “satu peta” dikoordinasikan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Data-data ini menjadi rujukan bagai semua instansi dalam pengambilan keputusan.

Kementan, kata Suwandi, juga sudah mengembangkan monitoring pertanaman padi dengan citra satelit landsat-8 yang diperoleh gratis dari LAPAN. Data diperbarui secara komputerisasi setiap 16 hari, dan resolusi satu pixel setara 900 m2. Kualitas data ditingkatkan dan metode pendataan saat ini sedang disempurnakan.

Menurut Khudori, ada beberapa pekerjaan rumah pemerintah yang belum tuntas. Di antaranya, terkait subsidi dan bantuan, mulai dari pupuk dan benih. Kebijakan ini dinilai tidak efisien dan belum mampu mendongkrak produktivitas petani.

Selain itu, janji Jokowi terkait pemberian 9 juta ha lahan ke petani juga meleset dari kenyataan. “Yang terjadi justru program 4,5 juta ha lahan baru dan 4,5 juta ha berupa sertifikasi dan legalitas,” kata Khudori.

III. Aksesibilitas Pinjaman Masih Menjadi Persoalan

Pengembangan usaha kikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu fokus pemerintahan Jokowi-JK. Maklum, jumlah unit UMKM sekitar 60 juta. Tingkat penyerapan tenaga kerjanya sekitar 97% dari total tenaga kerja nasional. Kontribusinya ke produk domestik bruto (PDB) juga signifikan, sekitar 61,41%.

Maka tak aneh jika dalam janji kampanyenya sebagai presiden dan wakil presiden, Jokowi-JK menyebut akan memberikan prioritas akses modal bagi UMKM. Program yang menjadi unggulan adalah kredit usaha rakyat (KUR).

Sebagai perbandingan, dalam tempo tujuh tahun sejak program ini digelar pada 2007 hingga 2014, total realisasi penyaluran KUR sebesar Rp 178,84 triliun.

Di masa Jokowi-JK, sejak KUR mulai disalurkan pada Agustus 2015 hingga 31 Agustus 2017 atau dalam dua tahun, realisasi penyaluran KUR sudah mencapai Rp 178,24 triliun.

Bunga pinjaman yang mesti dipikul pelaku usaha juga jauh lebih ringan. Bunga KUR yang di 2014 sebesar 22, berangsur-angsur turun menjadi 9% di saat ini. Tahun depan, Menteri Koordinator Bidang Perekono-mian Darmin Nasution menjanjikan suku bunga KUR akan kembali dipangkas menjadi 7%.

Selain KUR, pemerintah Jokowi-JK masih memiliki sederet program kredit bagi usaha kecil. Misalnya KUR Berbasis Ekspor (KURBE) dengan bunga 9% dan plafon hingga Rp 50 miliar.

Lalu ada kredit ultra mikro dengan plafon maksimal Rp 10 juta dan bunga antara 2% hingga 4%. Berbeda dengan KUR dan KURBE, kredit ultra mikro tidak mensyaratkan kehadiran jaminan berupa aset.

Sementara Kementerian Koperasi dan UKM juga punya program Wirausaha Pemula dengan bantuan dana hingga Rp 13 juta.

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram bilang, bagi UMKM di perkotaan persoalan umum terkait pendanaan ada di sisi bunga dan kolateral.

Sementara UMKM di daerah lebih bermasalah dengan urusan aksesibilitas. “Faktor jarak dari lokasi usaha ke kantor bank penyalur mempengaruhi aksesibilitas. Ini ujungnya ke penyerapan pembiayaan,” tandas Agus.

Dus, pemerintah mencoba menggandeng lembaga nonperbankan. Untuk kredit ultra mikro, Menteri Koperasi dan UKM AAGN Puspayoga menyatakan,  pemerintah akan menggandeng Badan Layanan Umum Pengelola Dana dan koperasi.

Sejak tahun ini Koperasi Kospin Jasa yang berbasis di Pekalongan, Jawa Tengah juga mulai menyalurkan KUR.

Dalam pandangan Ikhsan Ingratubun, lembaga penyalur kredit ini memang masih menjadi salah satu pekerjaan rumah dalam pembiayaan UMKM.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) itu menyebut, selama ini perbankan masih menjadi andalan sebagai penyalur kredit program pemerintah. Padahal, daya jangkau kebanyakan bank penyalur terbilang rendah. Praktis cuma Bank BRI yang memiliki jaringan paling mengakar di Indonesia.

Dampaknya, sebagian besar KUR di BRI bisa disalurkan ke usaha mikro. Namun di banyak bank penyalur lain, kredit lebih besar disalurkan ke sektor ritel. Ini membuat keberadaan KUR saat ini lebih dinikmati para pedagang ketimbang pelaku industri.

“Harusnya peran koperasi yang lebih didorong untuk menyalurkan program kredit pemerintah,” kata Ikhsan. Koperasi dianggap lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Daya jangkaunya juga lebih menghunjam ke pelosok-pelosok daerah. “Daripada lewat LPDB yang cuma ada di pusat. orang semua antre di situ,” imbuhnya.

Ke depan, Ikhsan berharap pemerintah lebih fokus ke usaha mikro dengan menambah nomenklatur mikro di Kementerian Koperasi dan UKM.

Lantas, pemerintah bisa membentuk semacam satuan manajemen satu atap di kementerian ini untuk mengkoordinir 23 kementerian dan lembaga yang memiliki program terkait UMKM. Pemerintah juga perlu melibatkan pemerintah daerah, sehingga pengembangan sektor ini lebih terarah, efektif, dan efisien.     

Artikel ini berikut seluruh artikel terkait sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN, pada Rubrik Laporan Utama edisi 16 Oktober 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Dari Pinggiran, Demi Orang Kebanyakan"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×