kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Antara janji, mimpi dan realisasi Jokowi (1)


Rabu, 01 November 2017 / 14:35 WIB
Antara janji, mimpi dan realisasi Jokowi (1)


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Ragil Nugroho, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga

Sederet Catatan Ekonomi Jokowi

"Infrastruktur belum mendongkrak lapangan kerja"

Jelang tiga tahun pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK), berbagai lembaga survei rajin menggelar hasil riset mereka. Tingkat kepuasan masyarakat diukur untuk melihat tingkat keberhasilan kinerja pemerintah.

Paling anyar survei opini publik yang dipublikasikan Indikator Politik Indonesia pada 11 Oktober 2017. Indikator melakukan survei tatap muka secara random terharap 1220 responden berusia di atas 17 tahun. Hasilnya, 68,3% responden mengaku puas dengan kinerja Jokowi. Trennya stabil sejak Januari 2016.

Soal ekonomi, 43,3% responden pun mengaku keadaan ekonomi nasional kini sudah membaik. Dalam setahun ke depan, tingkat keyakinan masyarakat malah jauh lebih tinggi. Sebanyak 65% responden yakin keadaan ekonomi nasional setahun kedepan akan membaik dibanding sekarang.

Ini kata jajak pendapat lembaga survei. Lantas, bagaimana ekonom memandang perjalanan Indonesia tiga tahun terakhir di bawah Jokowi?

Beberapa ekonom yang dihubungi Tabloid KONTAN memberikan apresiasi terhadap kinerja pemerintah di beberapa hal. Namun ekonom menilai melihat kekurangan yang perlu diperbaiki di sisa dua tahun masa kekuasaan Jokowi-JK.

Eric Alexander Sugandi, Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness dan Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Aset Manajemen mencatat beberapa poin positif yang diraih pemerintah sementara ini.

Keduanya sepakat, percepatan pembangunan infrastruktur merupakan hal yang perlu diapresiasi dari pemerintah saat ini. Walaupun sebagian proyek merupakan kelanjutan dari rezim pemerintahan yang berkuasa sebelumnya.

Begitu mulai beroperasi, proyek-proyek infrastruktur itu akan mulai mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah.

Poin kedua yang disorot Lana dan Eric soal perubahan politik anggaran dengan menggeser sebagian belanja subsidi energi ke belanja produktif. Salah satunya infrastruktur.

Garis kebijakan ini secara konsisten masih terjaga. “Dampaknya, tekanan ke inflasi akibat kenaikan harga BBM tidak sebesar dengan mekanisme yang digunakan pemerintah sebelumnya,” ujar Eric.

Dus, tingkat inflasi di Indonesia hingga sekarang masih terjaga. “Pemerintah juga sudah banyak belajar mengendalikan inflasi. Tidak seperti dua tahun sebelumnya, lebaran tahun ini harga-harga sudah relatif bisa dikendalikan,” imbuh Lana.

Perbaikan iklim berusaha dan investasi juga tak lepas dari sorotan ekonom. Meski implementasi paket kebijakan ekonomi berjalan relatif lambat, namun Lana menilai pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam membenahi persoalan ini.

Ia menyebut upaya reformasi proses perijinan dan investasi yang bisa memperbaiki daya saing Indonesia sebagai contohnya.

Pengakuan soal kinerja pemerintah, kata Lana, salah satunya bisa dilihat dari perbaikan peringkat Ease of Doing Business index 2017. Yang bisa menjadi pegangan, indeks ini dibikin oleh Bank Dunia dengan parameternya sendiri. Hasilnya, Ease of Doing Business index 2017 Indonesia naik 15 tingkat dari 106 menjadi 91.

Namun masih ada beberapa persoalan serius yang harus dipecahkan di sisa dua tahun kekuasaan Jokowi-JK. Persoalan lainnya, orientasi ke pembangunan infrastruktur membuat efeknya ke perputaran ekonomi lebih lambat. Apalagi, mekanisasi di banyak proyek besar membutuhkan jumlah pekerja yang lebih sedikit daripada sebelumnya.

Di sisi lain, berbagai program pemberian bantuan sosial yang digelar pemerintah secara non tunai juga belum memberikan efek yang cukup signifikan terhadap perekonomian.

Penerima bantuan hanya bisa membeli barang di gerai yang sudah ditentukan. Dana itu lalu mengalir ke pedagang besar dan masuk ke sistem perbankan. “Tapi oleh bank bukan disalurkan sebagai kredit tapi dibelikan obligasi,” tandas Lana.

Ini berbeda dengan mekanisme bantuan sosial secara tunai. Penerima bantuan bisa berbelanja di mana saja, termasuk warung-warung kecil di sekitarnya. Pedagang-pedagang kecil itu lantas berbelanja barang ke pasar. Dus, aktivitas ekonomi di tingkat bawah bergerak lebih dinamis.

Strategi belanja yang berfokus pada multiflier effect lainnya juga bisa ditempuh pemerintah. Misalnya, Lana memberikan catatan terhadap larangan menggelar rapat di hotel bagi lembaga dan kementerian.

Pemerintah Jokowi beralasan larangan ini dilakukan demi penghematan anggaran. Namun, di sisi lain, larangan rapat di daerah bagi lembaga dan kementerian, ternyata telah memukul ekonomi daerah bersangkutan.

Sektor perhotelan di Bogor misalnya, terbantu dengan berbagai kegiatan yang dulu kerap digelar instansi pemerintah. Dampaknya, kegiatan usaha lain seperti kuliner, wisata, dan bisnis oleh-oleh ikut terkerek.

Kesempatan kerja

Penciptaan lapangan kerja juga masih menjadi pekerjaan besar pemerintah. Suka atau tidak, deindustrialisasi tidak bisa dicegah, termasuk di Indonesia. Bagi sebuah negara, semakin maju ekonominya, semakin rendah pula kontribusi sektor industri. Sebaliknya industri berbasis jasa mengalami pertumbuhan.

Persoalannya, daya serap tenaga kerja di sektor jasa tidaklah sebanyak di sektor industri, apalagi yang padat karya. Di sisi lain, banyak perusahaan memilih strategi efisiensi, dengan cara  mengurangi peran tenaga kerja manusia dan memanfaatkan mesin serta teknologi.

Sementara realisasi investasi langsung yang angkanya terus bertumbuh, tidak lagi signifikan dalam menciptakan lapangan kerja baru. Dus, angkatan kerja yang terus bertambah dan tak bisa lagi ditampung di sektor formal, kian meluber ke sektor informal.

Sementara itu, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pekerja Indonesia juga belum banyak berubah. Di sektor formal saja, kata Lana, 90% dari tenaga kerja berpendidikan SMA ke bawah. “Kualitas SDM ini berujung ke soal daya saing yang sering disebut-sebut oleh Jokowi,” ujar Lana.

Dus, ia menawarkan solusi demi menggenjot kualitas SDM, yakni dengan memaksimalkan peran Balai Latihan Kerja (BLK). Jadi, meski tingkat pendidikan hanya menengah, tapi secara keahlian bisa ditingkatkan melalui BLK dan pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan pemerintah.

Solusi berikutnya, dengan mengalihkan penggunaan Dana Desa dan anggaran Transfer ke Daerah. Saat ini Dana Desa difokuskan untuk mendongkrak ketersediaan infrastruktur dasar di desa-desa. Ini ditujukan untuk memperlancar roda perekonomian di daerah.

Ke depan, pemerintah bisa menggeser fokus penggunaan Dana Desa dan anggaran Transfer ke Daerah untuk meningkatkan kualitas SDM yang ada di desa dan daerah.

Peningkatan keahlian bisa mendorong munculnya wirausaha-wirausaha baru. Dengan begitu, daya serap tenaga kerja di sektor industri yang semakin menurun bisa terkompensasi.

Untuk proyek-proyek infrastruktur, pemerintah bisa mulai memikirkan untuk memunculkan proyek-proyek skala kecil dan menengah. Di tingkat ini, serapan tenaga kerjanya lebih maksimal sehingga bisa berdampak langsung terhadap laju ekonomi.

Sumber pertumbuhan

Di masa kampanye, Jokowi-JK berambisi mengejar target pertumbuhan 7% pada tahun 2019. Persoalannya, kondisi sudah banyak berubah dari tahun 2014. Bonanza komoditas sudah berlalu.

Meski kini mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan, sektor komoditas masih jauh dari masa terbaiknya yang terjadi di era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.

Dus, pemerintah dipandang perlu untuk mengevaluasi kembali target-target yang kini tampak terlihat ambisius. Selain di pertumbuhan ekonomi, postur anggaran yang perlu dibenahi dalam kacamata Eric adalah di sisi penerimaan negara.

Meski sulit mencapai target yang digadang-gadang di masa kampanye, Lana masih memberikan apresiasi terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi saat ini.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak spektakuler, tapi masih bisa berada dalam kelompok empat besar, setelah China, India, dan Filipina.

Ini tak lepas dari kondisi ekonomi global yang memang mengalami perlambatan. Dalam era keterbukaan ekonomi seperti sekarang, Indonesia tidak bisa imun dari faktor eksternal. Dampak global, terutama terjadi di sisi kinerja ekspor.

Dus, sumber-sumber pertumbuhan baru kini mulai dikejar. Berbagai sektor yang dianggap strategis menjadi fokus pemerintah. Pekerjaannya jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun pemerintah kini sudah memulai proses membangun sektor-sektor unggulan.

Ikhtiar Tebar Pesona Demi Menggeber Sektor Pariwisata

Banyak negara kini mulai serius menggarap industri pariwisata. Bahkan, Arab Saudi yang terkenal saklek dalam menegakkan aturan, kini mulai melunak. Minyak tak lagi bisa menjadi tumpuan. Perempuan pun dibebaskan melenggang di pantai sambil berbikini ria.

Aturan khusus ini akan diberlakukan di Laut Merah. Di kawasan ini, Pangeran Arab Saudi Muhammed bin Salman menggarap resor mewah dan pulau-pulau pribadi di sepanjang 200 km pesisir pantai Laut Merah. Proyek dimulai tahun 2019 dan rencananya selesai pada 2022.

Di Indonesia, kesadaran atas potensi pariwisata lebih dulu muncul. Jika Arab Saudi ingin lepas dari ketergantungan terhadap minyak. Indonesia tampaknya juga tidak mau terus-menerus terlena pesona sektor komoditas.

Dalam konteks pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), hal ini diwujudkan dalam janji kampanye mereka sebagai presiden dan wakil presiden. Pariwisata menjadi salah satu prioritas dalam Nawacita Jokowi-JK.

Tak tanggung-tanggung, pada tahun kelima berkuasa, keduanya berambisi bisa menarik kedatangan 20 juta wisatawan mancanegara (wisman). Ini artinya ada kenaikan lebih dari dua kali lipat dibanding posisi tahun 2014 yang cuma sekitar 9 juta wisatawan asing.

Soal potensi wisata, Indonesia tiada duanya. Cuma, banyak persoalan yang membuat sektor pariwisata belum berkembang dengan baik. Saat menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam sebuah seminar di Jakarta Mari Elka Pangestu menyebut tujuh masalah yang menghambat industri pariwisata Indonesia.

Persoalan yang ia maksud adalah keterbatasan sarana dan prasarana, keterbatasan kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), komunikasi dan promosi, dan aturan. Lalu, ada masalah keterbatasan teknologi, kesiapan masyarakat, dan investasi yang belum berkembang di daerah.

Di masa Jokowi, selain persoalan yang dipaparkan Mari, pemerintah juga mengalami masalahnya sendiri; keterbatasan anggaran. Dus, pemerintah memilih fokus ke 10 destinasi wisata prioritas. Dari barat Indonesia, mulai dari Danau Toba di Sumatra Utara hingga Morotai di Maluku Utara.

Sebanyak tiga di antaranya sudah berbentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, antara lain Mandalika di Lombok dan Morotai.

Nantinya, kesepuluh destinasi pariwisata ini bakal menjadi hub bagi kawasan wisata di sekitarnya. “Kalau terlalu banyak yang kita kembangkan, tapi sumber daya kita sangat terbatas akhirnya satu pun tidak ada yang selesai,” kata Hiram -syah S. Thaib, Ketua Pokja Tim Percepatan 10 Destinasi Pariwi- sata Prioritas.

Untuk menyiapkan 10 destinasi ini, diperkirakan kebutuhan dana investasinya sekitar US$ 20 miliar. Sekitar Rp 10 miliar untuk membangun infrastruktur penunjang seperti transportasi. Sisanya untuk membangun amenitas pariwisata.

Sejauh ini, pemerintah mengebut berbagai proyek penunjang destinasi prioritas. Utama-nya untuk menunjang aksesibilitas dari dan ke lokasi wisata. Salah satu contohnya, infrastruktur penunjang Danau Toba.

Hiramsyah bilang, wisatawan dari Jakarta tidak perlu lagi ke Bandara Kualanamu. Lalu melanjutkan perjalanan darat selama 7 hingga 8 jam. Dari Bandara Soekarno-Hatta, wisatawan bisa langsung ke Bandara Silangit yang diaktifkan kembali tahun lalu dengan waktu tempuh sekitar 2 jam, ditambah perjalanan darat ke Danau Toba sekitar 30 menit.

Lalu fasilitas terminal ditingkatkan dan landasan pacu diperpanjang. Diharapkan bulan Oktober ini, Silangit sudah bisa berstatus bandara internasional. “Rencananya Oktober ini diresmikan oleh presiden jalan tol ruas Medan-Tebing Tinggi,” kata Hiramsyah.

Bandara HAS Hanandjoeddin di Belitung yang menunjang KEK Tanjung Kelayan malah sudah berstatus bandara internasional sejak tahun lalu. Pada September 2017 lalu, dimulai penerbangan perdana dari Kuala Lumpur ke Hanandjoeddin.

Ground breaking bandara Kulonprogo yang akan menunjang kawasan wisata Borobudur juga sudah dimulai. Targetnya, pada 2019 New Yogyakarta Internasional Airport, itu sudah bisa beroperasi. “Pemerintah konsern untuk memperbaiki konektivitas udara. Karena 95% turis datang lewat udara,” kata Hiramsyah.

Kendala dana

Meski sudah membuat skala prioritas, tetap saja kebutuhan dana yang begitu besar tidak bisa dipenuhi pemerintah. Nah, guna menarik minat investor, pemerintah menggelar Regional Investment Forum (RIF) 2017 di Padang, Sumatera Barat (Sumbar) pada 15-17 Oktober 2017. Forum promosi investasi ini bertajuk Showcasing Investment Opportunities in the Indonesian Tourism Industry.

Sesuai namanya, pemerintah menawarkan investasi di berbagai kawasan wisata. Ada enam destinasi pariwisata prioritas, mulai dari Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu & Kota Tua, Borobudur, dan Bromo-Tengger-Semeru. Lalu, ada dua kawasan pariwisata terpadu Mandeh dan Gunung Padang di Sumbar.

Selain tantangan investasi yang masih harus dikejar pemerintah, faktor keamanan dan politik juga bisa menjadi penghambat sektor pariwisata. Tahun depan digelar 171 pemilihan kepala daerah (pilkada).

Perinciannya ada ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan memilih pemimpin masing-masing. Tahun terakhir pemerintahan Jokowi-JK, giliran pemilihan umum anggota legislatif dan presiden yang bakal dilangsungkan.

Hajatan politik semacam ini kerap kali dihantui kekhawatiran soal stabilitas keamanan di Indonesia. Dus, turis, terutama mancanegara berpotensi menahan diri melancong ke nusantara hingga pemilu berakhir.

Hiramsyah mengakui tantangan ini. Namun, seiring perjalanan waktu, demokrasi di Indonesia mulai beranjak dewasa. Lagipula, persoalan keamanan terjadi di banyak negara dunia.

Belakangan aksi terorisme dengan skala kerusakan yang lebih besar malah terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris.

Persoalan lainnya, kondisi Indonesia yang rawan bencana juga bisa berpengaruh terhadap pencapaian target kunjungan wisatawan. Ancaman letusan Gunung Agung misalnya, membuat tingkat pembatalan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali mencapai 25%.

Bersama Jakarta dan Kepulauan Riau, Bali menyumbang 90% dari total kunjungan wisatawan asing ke Indonesia. Untungnya, hingga semester I 2017, kunjungan wisatawan asing ke Indonesia sudah lebih dari 8 juta.

Artinya sudah lebih dari separuh target sepanjang tahun yang 15 juta kunjungan. Ibaratnya, sudah ada celengan yang akan membantu pencapaian target tersebut.

Pengamat Pariwisata Azril Azhari melihat beberapa bolong-bolong di pengembangan sektor pariwisata Indonesia. Menurut- nya, persoalan lainnya, pemerintah hingga saat ini belum memiliki perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) pariwisata kita. Fokus saat ini lebih banyak ke urusan branding, promosi dan pembenahan infrastruktur penunjang.

Fokus pemerintah mengembangkan 10 destinasi wisata prioritas juga tidak lepas dari pengamatan Azril. Bukan apa-apa, sejak tahun 2010 tren pariwisata sudah bergeser dari 3S (sun, sand, and sea) menjadi serenity, spirituality, and sustainability.

Tapi Indonesia masih mempromosikan wisata alam. “Kita dapat award di mana-mana itu kan karena voting. Karena voting, kerahkan saja pegawai pasti lah menang. Yang harusnya menilai itu wisatawannya,” tandasnya.

Bersambung: Dari Pinggiran, Demi Orang Kebanyakan

** Artikel ini berikut seluruh artikel terkait sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN, pada Rubrik Laporan Utama edisi 16 Oktober 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Antara Janji, Mimpi dan Realisasi"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×