Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
TOKYO. Posisi dollar AS terus menunjukkan taringnya. Bahkan, pada akhir pekan lalu, si hijau ini mencatatkan penguatan terbesar dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Bloomberg, the Bloomberg Dollar Spot Index naik 1,2% dan ditutup di level 1.198,93 pada akhir pekan lalu (6/3). Ini merupakan level tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.
Seiring penguatan dollar yang yang terus perkasa, analis menilai, sejumlah mata uang emerging market memiliki risiko yang cukup besar.
"Ada kecemasan kebijakan the Federal Reserve akan memiliki dampak besar dalam jangka pendek. Kuatnya data tenaga kerja atau adanya indikasi the Fed memangkas suku bunga akan menekan mata uang Asia," jelas riset Societe Generale yang dipublikasikan Kamis (5/3) seperti yang dikutip CNBC.
Posisi dollar yang bullish sudah terjadi sejak musim panas lalu. Di luar melemahnya sejumlah data ekonomi AS, the Fed memprediksi akan menaikkan suku bunga acuan antara Juni dan Oktober mendatang.
Analis mengingatkan, di Asia, posisi sejumlah mata uang suatu negara lebih rentan dibanding mata uang negara lainnya. Tebak siapa yang berada di posisi terentan di Asia terkait kebijakan the Fed ini? Jangan kaget. Jawabannya: rupiah!
Posisi rupiah berisiko
Euforia atas kemenangan Presiden Joko Widodo pada Juli lalu memicu terjadinya rush ke dalam aset-aset Indonesia. Namun, momentum tersebut berbalik arah setelah bank sentral Indonesia mengejutkan pasar melalui pemangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 7,5% pada pertengahan Februari lalu. Ini merupakan penurunan suku bunga pertama sejak 2011 lalu.
Sementara itu, sebelumnya bank sentral juga menyatakan bahwa penurunan harga minyak dapat meredakan inflasi. Kondisi ini memicu kecemasan pelaku pasar bahwa akan terjadi pemangkasan suku bunga lanjutan.
Catatan saja, rupiah sudah melemah 1,8% sejak langkah mengejutkan yang diambil BI.
"Kebijakan mengejutkan Bank Indonesia dan kenyamanan yang dirasakan bank sentral terhadap melemahnya rupiah tidak akan menyokong rupiah," jelas Barclays.
Jason Daw, Societe General Emerging Market Strategist juga menambahkan, di Asia, Indonesia merupakan negara yang paling rentan terhadap pelarian modal asing karena telah berada di tengah-tengah gelombang arus modal yang masuk.
Faktor risiko lain akibat pelemahan rupiah yang juga mencemaskan adalah defisit neraca perdagangan Indonesia. Defisit neraca perdagangan semakin membengkak saat rupiah anjlok pada 2013. Pada saat itu, the Fed baru saja mengemukakan ide pemangkasan program quantative easing mereka.
Meksi saat ini defisit neraca perdagangan mulai mengerucut, namun jika data yang dirilis tahun ini menunjukkan adanya kemunduran ekonomi dan bersamaan dengan kenaikan suku bunga the Fed, maka hal itu dapat memukul rupiah lebih dalam lagi.
"Potensi kenaikan suku bunga the Fed pada Juni merupakan cobaan lain bagi rupiah Indonesia," tulis Barclays.
Gubernur BI Agus Martowardojo menerangkan, pelemahan rupiah didorong oleh tingginya permintaan dollar pada transaksi dalam negeri. "Kalau ada di Indonesia seharusnya transaksi dalam rupiah, supaya tidak menciptakan tekanan ekonomi," jelasnya.
Memang masih banyak pelaku bisnis domestik yang bertransaksi dengan mata uang Negeri Paman Sam tersebut. Hal ini dilakukan karena mereka mengimpor barang atau merupakan pelaku dalam negeri yang masih bertransaksi dengan valas.
Penghapusan transaksi valas dalam negeri sudah diupayakan oleh BI dalam setahun terakhir. Namun faktanya transaksi dollar AS domestik masih tinggi. "Di Indonesia, dunia usaha cukup banyak yang menggunakan transaksi secara non tunai dalam valas," terang Agus.
Yang jelas, kata Agus, apa yang dilakukan BI saat ini sudah tepat. Apalagi penguatan dollar AS terjadi terhadap semua mata uang. Akan percuma jika BI menggelontorkan dana intervensi demi menguatkan nilai tukar mata uang garuda tersebut. Sekarang yang mesti dilakukan adalah bagaimana menarik cold money alias investasi jangka panjang agar masuk. Selama ini, Indonesia selalu terbuai dengan hot money.
Siapa mata uang lainnya?
Analis mengingatkan, investor juga harus mewaspadai posisi dollar Taiwan.
"Dollar Taiwan masih rentan atas hengkangnya dana asing dari penduduk lokal dan yield obligasi yang kurang menarik," jelas Societe Generale.
Asal tahu saja, tingkat yield obligasi Taiwan berjangkawaktu 10 tahun berada di level 1,628%. Bandingkan dengan yield surat utang AS dengan periode yang sama yakni 2,115%.
Tahun lalu, dollar Taiwan melemah hampir 6% versus dollar AS. Sepanjang tahun ini, dollar Taiwan baru menguat 0,7%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News