kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%
FOKUS /

SNI, untuk membela atau bikin merana?


Jumat, 21 Maret 2014 / 13:49 WIB
SNI, untuk membela atau bikin merana?
ILUSTRASI. Bunga anggrek tidak mekar.


Reporter: Anastasia Lilin Y, Herry Prasetyo, Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Menjelang pasar bebas ASEAN tahun 2015, pemerintah telah menyiapkan instrumen untuk melindungi produk dalam negeri. Kementerian Perindustrian (Kemperin) akan mewajibkan beberapa produk memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI).

Seperti diketahui, di bulan April ini, wajib SNI sudah diberlakukan untuk mainan. Muhammad S. Hidayat, Menteri Perindustrian, mengatakan, selain mainan, terdapat beberapa industri seperti makanan minuman, otomotif, dan logam yang dikenakan wajib SNI. "Penting sekali untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)," kata Hidayat, Kamis (20/3).

Adanya SNI membuat produk lokal memiliki kualitas bagus dan tak kalah dengan impor. Secara harga, produk lokal bisa berdaya saing dengan impor. Sebab, untuk mengurus SNI ini, Kemperin mematok harga yang lebih murah untuk produk lokal.

Achmad Widjaya, Vice Chariman Committee on Standardization and Quality Kadin, mengatakan, biaya SNI produk impor bisa mencapai US$ 10.000 atau Rp 113 juta untuk satu sertifikasi. Sedangkan biaya sertifikasi pengusaha lokal sebesar Rp 40 juta sampai Rp 50 juta per satu sertifikasi. "Ini untuk proteksi dari impor," terangnya.

Achmad mengusulkan, di antara berbagai sektor industri, wajib SNI diprioritaskan untuk makanan minuman, keramik, dan kaca. Sebab, tiga sektor inilah yang paling mudah diragukan kualitasnya. Apalagi di sektor ini, persaingan dengan impor cukup ketat. "Pesaing terkuat datang dari China, ancaman terdekat dari Vietnam," jelasnya.

Tak hanya melindungi produk lokal, SNI wajib juga bertujuan merebut pasar ASEAN. Hidayat berharap, Indonesia akan menjadi nomor satu untuk produk manufaktur.

Berdasarkan data Kemperin, setidaknya ada 13 sektor industri dengan jumlah SNI tak wajib mencapai 3.446 sertifikasi. Kemperin juga berencana mewajibkan 10 sektor industri memiliki SNI. Jumlah SNI wajib untuk 10 sektor ini sebanyak 91 sertifikasi.

Mainan masih surplus

Memang berdasarkan Kementerian Perindustrian (Kemperin) masih mencatatkan angka surplus untuk kinerja ekspor mainan lokal terhadap impor. Volume ekspor mainan sepanjang 2012 tercatat 31,72 juta kg. Nilainya US$ 326,48 juta, atau setara Rp 3,8 triliun. Sementara volume impor mainan anak, meski lebih besar dari sisi volume, tapi lebih mini pada sisi nilai. Volume impor mainan mencapai 41,82 juta kilogram (kg), dan nilainya US$ 138,11 juta, setara Rp 1,6 triliun.

Data produksi mainan lokal yang beredar di pasar dalam negeri juga masih tumbuh. Pada tahun yang sama, volume produksi industri mainan lokal 51,17 juta pieces. Nilai produksi dalam rupiah Rp 2,9 triliun atau masih tumbuh tipis 1,81% dibanding dengan 2011.

Namun tunggu dulu. Meski produksi mainan untuk kebutuhan dalam negeri belum berhenti dan nilai ekspor lebih besar daripada impor, produk mainan lokal tidak menjadi raja di negeri sendiri.

Ketua Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI), Danang Sasongko, bilang, perbandingan antara mainan bikinan lokal dan mainan impor di pasaran adalah 1:3.

Tengoklah, produsen mainan yang tergabung dalam APMETI saja. Saat ini, ada 40–60 anggota. Omzet dari masing-masing perusahaan per tahun Rp 600 juta. Atau, total omzet seluruh anggota Rp 24 miliar–Rp 36 miliar setahun.

Sudarman Wijaya, Wakil Ketua Bidang Pemasaran Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI), malah berpendapat lebih ekstrem. Menurut dia, nilai penjualan mainan, termasuk untuk kebutuhan media belajar taman kanak-kanak (TK) dan pendidikan anak usia dini (PAUD), berkisar Rp 1,5 triliun sampai Rp 2 triliun per bulan. Dari jumlah itu, sekitar 70%– 80% merupakan mainan impor.

Ada tiga kendala yang dihadapi para produsen lokal khususnya mereka yang kelas usahanya kecil menengah alias UKM. Pertama, teknologi yang minim menyebabkan produk yang dihasilkan lemah dari sisi desain dan kemasan.

Kedua, kapasitas produksi. Untuk produk-produk tertentu yang masih lebih banyak mengandalkan tenaga manusia, menghadapi kendala kemampuan menyediakan stok. Ketiga, permodalan.

Selain kendala di kalangan produsen lokal, produk mainan impor yang notabene banyak berasal dari China memiliki daya tarik, berupa harga yang lebih terjangkau. Meski, Danang bilang, APMETI pernah meriset 80% mainan China yang beredar mengandung racun.

Sekarang mari kita coba bikin asumsi kasar tentang perbandingan harga produk, berangkat dari volume dan nilai antara ekspor dan impor besutan Kemperin 2012 tadi. Hasilnya, harga rata-rata mainan yang diekspor adalah Rp 119.798,23 per kg. Sementara, harga rata-rata mainan impor cuma Rp 38.259,21 per kg. Atau, harga mainan lokal kurang lebih tiga kali lebih mahal daripada harga mainan impor.

Neraca Dagang Mainan Anak Berdasarkan Nilai (dalam US$ ribu)
  2008 2009 2010 2011 2012
Nilai Ekspor 201.86 206.85 303.536 286.197 326.485
Nilai Impor 122.159 73.751 100.011 147.344 138.114
Neraca Dagang Mainan Anak Berdasarkan Volume (dalam kg)
  2008 2009 2010 2011 2012
Volume Ekspor 24,026,386 25,493,205 31,486,552 30,080,761 31,724,678
Volume Impor 39,615,264 26,911,327 32,468,888 52,687,129 41,820,493
Sumber: Kementerian Perindustrian
10 Negara Tujuan Ekspor Produk Mainan (dalam US$ ribu)  
             
No Negara 2008 2009 2010 2011 2012
1 Amerika Serikat 91418 85849 148983 136086 165605
2 Inggris 20335 22743 29036 28589 36720
3 Jepang 23879 19635 24151 27678 29591
4 Prancis 11655 13305 17882 18739 26723
5 Belanda 9019 8752 13337 13964 19937
6 Jerman 14979 19026 20479 21650 19678
7 Australia 5900 8214 9756 11058 16565
8 Brazil 7923 5464 11186 9778 13102
9 Italia 6863 4612 7833 10441 12661
10 Lain-lain 85859 63949 85568 82018 110582
  Total Ekspor 201860 206850 303536 286197 326485
Sumber: Kementerian Perindustrian    

Perpanjang sertifikasi tiap 6 bulan

Namun niatan mulia pemerintah yang mengaku menerapkan aturan wajib standar nasional Indonesia (SNI) untuk melindungi para pemain lokal ternyata juga menuai kritik dan kekhawatiran dari para pelaku usaha di dalam negeri. Penyebabnya, biaya untuk mengantongi label SNI tidak murah.

Secara sederhana, proses untuk mendapatkan label SNI diawali dengan pengujian oleh laboratorium. Setelah lolos tahap itu, baru lembaga sertifi kasi produk (LSPro) mengeluarkan sertifikat SNI dengan masa berlaku enam bulan.

Tujuh laboratorium uji yang ditunjuk meliputi PT Sucofindo, Balai Pengujian Mutu Barang Kementerian Perdagangan (BPMB Kemdag), PT SGS Indonesia, PT Intertek Utama Services, Balai Besar Tekstil Kementerian Perindustrian (BBT Kemperin). Ada pula Balai Besar Bahan dan Barang (B4T) Kemperin serta Balai Riset dan Standardisasi Industri Surabaya Kemperin sebagai penguji.

Sementara delapan lembaga LSPro terdiri dari Chempack, PT Sucofi ndo, PPMB Kemdag, Pustan Kemperin dan TEXPA Kemperin. Ada juga PT TUV Nord Indonesia, Baristand Industri Medan Kemperin, dan TOEGOE Kemperin.

Ramon Bangun, Direktur Industri Tekstil dan Aneka Kemperin menilai, biaya mendapatkan label SNI tidak akan membebani pelaku usaha. “Biayanya tidak signifikan, hanya mengurangi margin sekitar 1%, tidak akan membikin rugi, kok,” kata Ramon.

Mangajana Tambunan, Kepala Bagian Sertifikasi Produk Sucofindo, menuturkan bahwa tidak semua jenis produk perlu mendapatkan sertifikat. Ia mengingatkan sertifikat bisa berlaku untuk produk dengan materi dan fungsi, yang mirip, atau satu keluarga. Selama produk masih dalam satu keluarga, satu sertifikat SNI saja sudah cukup.

Meski begitu, tetap saja setiap enam bulan sekali, label SNI akan kedaluwarsa.

Sudarman, dalam konteks sebagai pemilik PT Royal Puspita, produsen mainan, pernah mencoba menjajal pengujian di salah satu laboratorium uji dan sebuah LSPro. Menurut dia ada tiga biaya yang harus dikeluarkan pengaju sertifikat SNI.

Pertama, biaya pengujian Rp 2,5 juta–Rp 3 juta per merek per jenis. Kedua, biaya untuk petugas pengambil contoh (PPC). Biaya PPC meliputi biaya transportasi dan akomodasi. Besarnya tergantung jarak dan lokasi dari domisili kantor PPC hingga ke lokasi pengaju sertifikasi.

Ketiga, biaya sertifikat produk penggunaan tanda (SPPT) SNI. Ongkosnya Rp 5 juta–Rp 7 juta per merek per jenis berlaku enam bulan.

Berangkat dari perincian tersebut dan tanpa memasukkan biaya PPC, pemohon sertifikasi harus merogoh kocek sekitar Rp 7,5 juta–Rp 10 juta setiap enam bulan sekali. Semisal seorang produsen mainan memiliki dua merek, maka biaya yang harus dia keluarkan menjadi Rp 15 juta–Rp 20 juta.

Biaya sebesar itu mungkin tidak masalah bagi produsen yang punya skala bisnis besar. Namun bisa menjadi cerita berbeda bagi produsen kelas UKM. Karena itu, Sudarman malah berkeyakinan pemberlakuan wajib SNI bisa menghambat laju perkembangan produsen mainan lokal kelas UKM.

Mestinya, menurut Sudarman, pemerintah bisa membikin peraturan sertifikasi seperti yang diterapkan untuk produk makanan. “Para produsen kelas UKM itu diperlakukan SPP-IRT saja asal dibatasi wilayah edarnya,” kata dia.

Jika Anda belum tahu, di produk makanan, ada dua izin edar. Pertama, izin yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yaitu POM MD untuk produksi pangan dalam negeri dan POM ML untuk produksi pangan luar negeri atau impor. Kedua, izin yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, yaitu Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT). SPP-IRT ini wilayah edarnya lebih terbatas ketimbang POM MD dan POM ML.

Kinerja Industri Mainan Lokal      
               
Mainan Satuan 2008 2009 2010 2011 2012 ? 2011 - 2012
Investasi Rp. Juta 996.396 1.028.964 1.101.309 1.188.709 1.211.056 1,88
Tenaga Kerja Orang 59.368 60.068 62.232 65.817 66.219 0,61
Kapasitas Produksi Ribu Pcs 66.99 68.49 73.515 74.614 77.052 3,27
Volume Produksi Ribu Pcs 42.458 42.968 48.276 49.058 51.17 4,31
Perkembangan Utilitas % 63,38% 62,74% 65,67% 65,75% 66,41% 1,01
Nilai Produksi Rp Miliar 2658 2690 2781 2849 2901 1,81
Sumber: Kementerian Perindustrian              

Menaikkan harga

Danang memberi masukan lain. Mayoritas lembaga laboratorium uji dan LSPro yang tak lain milik pemerintah, seharusnya, bisa lebih fleksibel dalam membanderol harga bagi produsen UKM.

Kalaupun tak bisa memberikan subsidi atau potongan harga, pembentukan plasma pengaju sertifikasi SNI mestinya bisa dipikirkan pemerintah. “Jadi dibikin seperti payung perusahaan besar yang di dalamnya beranggotakan produsen UKM yang saling patungan untuk mendapat sertifikasi SNI,” beber Danang.

Suara di kalangan produsen kelas UKM setali tiga uang dengan asosiasi. Yuni Yoyok, pemilik CV Omocha Toys, bilang, dari hasil penjajakannya di LSPro TUV Nord Indonesia, dia mesti mengeluarkan Rp 16 juta untuk mengantongi label SNI bagi tiga mainan edukatif. Meliputi produk puzzle, balok, dan kendaraan bongkar pasang.

Sejauh ini Yuni baru bertanya di satu LSPro. Gambaran harga sebesar itu, yang mesti dibayar setiap setengah tahun, cukup memberatkan buat dia. “Seharusnya tidak keluar dana, malah jadi keluar dana tambahan,” kaya Yuni.

Produsen mainan kelas UKM lain, Lingkan Pantow, pemilik Jilsi Toys, mengatakan, sebenarnya dia tak keberatan mengurangi margin untuk membayar label SNI. Namun yang membikin dia keberatan adalah soal masa kedaluwarsa SNI yang terlampau singkat.

Para produsen pun tidak menutup kemungkinan bakal mengatrol harga untuk menutup tambahan dana membayar label SNI. Yuni sudah menghitung bakal bakal menaikkan harga jual 5%–10%.

Sementara, Lingkan masih menghitung kenaikan yang bisa mengompensasi tambahan biaya dan bisa diterima pasar. “Kenaikan harga atau penambahan volume penjualan merupakan opsi yang terbuka untuk mengompensasi biaya sertifikasi yang tinggi,” tutur Lingkan.

Reza Qalbudin, pemilik Beringin Puzzle, juga sudah memberikan sinyal senada. Pasca pemberlakuan label SNI serentak secara nasional Mei depan, produsen dan penjual yang membuka lapak di Pasar Gembrong, Jakarta Timur, ini siap mengganti semua label harga produk. Cuma, sama seperti Lingkan, pria yang sudah berbisnis mainan anak selama 17 tahun ini belum menakar harga jual mainan dia nanti.

Ketiga produsen mainan itu hanya berpegang pada optimisme akan karakter produk yang kuat, yakni mainan yang tak hanya menawarkan kesenangan, tetapi juga pengetahuan. Mereka juga percaya kualitas produk mereka jauh di atas mainan buatan Negeri Panda.

Neraca Dagang Mainan Anak Berdasarkan Nilai (dalam US$ ribu)  
  2008 2009 2010 2011 2012
Nilai Ekspor 201.86 206.85 303.536 286.197 326.485
Nilai Impor 122.159 73.751 100.011 147.344 138.114
           

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×