Reporter: Rika Theo |
JAKARTA. Krisis belum lagi usai, kepercayaan terhadap industri finansial dunia yang tercoreng masalah subprime mortgage di Amerika Serikat pun belum sepenuhnya kembali. Namun rapuhnya kepercayaan itu dirusak lagi oleh sebuah skandal besar perbankan global.
Kali ini kejadiannya bertempat di kota yang sepanjang sejarahnya sudah menjadi pusat finansial dunia, London. Pesakitan utama yang sudah mengaku salah dan menerima denda sebesar US$ 455 juta bernama Barclays Plc. Modusnya: manipulasi bunga acuan London interbank offered rate (Libor). Rekam waktu peristiwanya bisa dicek di sini.
Libor merupakan suku bunga yang digunakan sebagai acuan bunga pinjam-meminjam di antara bank. Artinya,Libor dapat mempengaruhi bunga berbagai macam kredit dan instrumen finansial lainnya di dunia (lihat infoboks).
Libor dipakai sebagai benchmark bunga pinjaman global karena alasan historis sekaligus geografis. London sudah lama menjadi kota pusat transaksi keuangan dunia. Letaknya juga menjadikan waktu perdagangan London beririsan dengan waktu perdagangan dari berbagai belahan dunia. Contohnya, mereka yang berada di Asia bakal sulit bertransaksi di AS karena ketika pasar AS buka, pasar Asia sudah tutup. Tapi mereka sempat bertransaksi dengan pelaku pasar London di sore hari.
Kembali ke mega skandal ini, Barclays ditengarai bukan pelaku tunggal. Saat ini, regulator Inggris dan Amerika Serikat sedang menyelidiki setidaknya 11 bank lagi. Di antaranya terdapat nama-nama besar di kancah perbankan dunia, seperti Deutsche Bank, Royal Bank of Scotland, Credit Suisse, Citigroup, UBS, and JPMorgan Chase.
Berbagai media Barat menyebut skandal Libor ini sebagai ulah para bankster. Mereka yang berjabatan bankir tapi berkelakuan gangster. Gangster beroperasi dalam kelompok solid untuk menghalalkan segala cara demi mencapai keuntungannya sendiri.
Apa yang terjadi?
Bagi yang baru pertama kali mengikuti kisah Libor, semua bermula pada temuan email para trader dan karyawan yang bertugas memasukkan data bunga Libor (submitter) di Barclays. Email-email yang diperoleh regulator Financial Services Authority itu menyingkap bagaimana rekayasa bunga terjadi selama tahun 2005-2009.
Memo-memo yang berisi percakapan sederhana dan candaan cukup telak memperlihatkan kolusi di antara mereka. Contohnya, email seorang trader dari luar yang meminta trader Barclays untuk memasukkan Libor yang lebih rendah. Tak berapa lama kemudian dia mengirim email lagi, berkata, “Dude, aku berutang besar padamu! Datanglah ke sini kapan-kapan sepulang kerja dan aku akan membuka sebotol Bollinger.”
Seorang trader lain menulis, “Kopi akan meluncur ke tempatmu, hanya sebagai ucapan terima kasih atas bantuanmu beberapa minggu terakhir.”
Rekayasa ini terkait dengan bagaimana Libor diformulasikan. Singkatnya begini, sejumlah bank menentukan berapa biaya bunga yang ia bayarkan untuk meminjam ke bank lain. Jadi misalnya Barclays memasukkan Libor dollar AS berjangka tiga bulan sebesar 2% artinya Barclays memutuskan bunga yang layak ia bayar ke bank lain untuk meminjam dollar AS berjangka tiga bulan adalah sebesar 2%.
Barclays dan belasan bank yang sudah ditentukan mesti mengirim keputusan bunga tersebut setiap hari sebelum pukul 11 pagi waktu London. Kemudian, besaran bunga itu diurutkan. Empat bank dengan bunga tertinggi dan empat bank terbawah dikeluarkan dari daftar. Kemudian sisanya dirata-rata sehingga keluarlah angka Libor yang tetap yang kemudian dipublikasikan.
Masalahnya, yakinkah kita bahwa masing-masing bank ini memasukkan bunga Libor yang realistis? “Libor itu indikasi bunga yang ditentukan berdasarkan estimasi bank, bukan harga riil terakhir bunga kredit yang diperoleh bank,” jelas Head of Treasury BCA Branko Windoe.
Maka dari itu, Libor mencerminkan penilaian bank itu atas kondisinya sendiri, termasuk risiko dan likuiditasnya. Teorinya, jika likuiditas seret akibat krisis, bank sulit mencari pinjaman, dan risiko di pasar keuangan tinggi, bunga Libor bisa melonjak.
Keganjilan pun terlihat dari data Libor Barclays. Barclays, dan banyak bank lain, malah memasukkan bunga rendah saat krisis berjangkit, terutama tahun 2008. Akhirnya, bunga Libor di tengah krisis malah melandai.
Bunga rendah itu menjadi topeng Barclays bahwa kondisi keuangannya masih sehat. Namun, logikanya, dengan bunga yang rendah tentunya Barclays juga bisa mendapat kredit murah.
Soal ini, Chief Executive Barclays Bob Diamond mengungkapkan bahwa sebelumnya Barclays masih memasukkan bunga tinggi dibandingkan rekan-rekannya yang mulai memberi bunga rendah. Dari grafik di bawah memang terlihat bahwa bunga Libor Barclays di September masih di atas bunga acuan Libor.
Kepada FSA dan parlemen, Diamond membuka jejak kontaknya dengan Deputi Bank of England Paul Tucker pada 25 Oktober 2008. Dalam memo Diamond ke direksinya untuk menindaklanjuti pembicaraan telepon itu, ia menulis perkataan Tucker bahwa, ia menerima telepon dari ‘Whitehall’ alias pejabat pemerintah Inggris yang bertanya kenapa Libor Barclays selalu berada di atas. Di memo itu, Diamond memberi alasan bahwa bank-bank lain di pasar justru memasukkan bunga yang tak mencerminkan realitasnya.
Lantas Tucker berseloroh bahwa Libor Barclays tak perlu selalu setinggi biasanya. Menurut Diamond, pernyataan ini disalahartikan oleh direksinya sebagai sinyal untuk menurunkan Libor. Maka sejak saat itu, Libor Barclays mulai menurun.
Diamond boleh membela diri dengan melempar fokus ke campur tangan pemerintah dan kartel perbankan, tapi ia juga mesti menjelaskan apa yang terjadi di tahun 2005. Para trader derivatif di Barclays dan sejumlah bank yang belum diungkap namanya berusaha mempengaruhi Libor agar sesuai dengan posisi mereka dalam transaksi derivatif. Sedikit saja pergerakan Libor bisa memberi mereka untung atau rugi jutaan dollar.
Barclays mengakui bahwa para trader ini sudah memanipulasi bunga ratusan kali. Diamond berkata membaca email-email para trader itu membuatnya sakit secara fisik.
Sudah ketahuan sejak lama
Bau busuk skandal Libor bukannya tak pernah terendus. Sejak tahun 2008, setidaknya dua media sudah mengangkatnya.
Tim Bond, analis Barclays Capital, pernah mengungkap manipulasi Libor kepada Bloomberg television. “Bunga yang dimasukkan bank-bank menjadi berbeda dari kenyataan,” tuturnya.
Di waktu bersamaan, Wall Street Journal juga melaporkan di halaman mukanya sejumlah bank yang memasukkan bunga yang sangat rendah untuk Libor ketimbang ukuran pasar yang seharusnya.
Jika media saja sudah menyadarinya, bukan tak mungkin pemerintah dan regulator sebenarnya sudah tahu. Dan benar saja, pada Juni 2008, Menteri Keuangan AS Timothy Geithner yang saat itu menjabat Presiden Federal Reserves of New York, telah mengirim memo kepada Gubernur Bank of England (BOE) Mervyn King.
Dalam memo pribadi itu, Geithner menyarankan King melakukan enam langkah perubahan yang dapat memperbaiki kredibilitas dan integritas Libor. Salah satunya, menghilangkan insentif yang membuat bank salah melaporkan.
Bagaimana selanjutnya?
Efek domino skandal ini bisa luar biasa. Tak hanya politik di Inggris, tapi juga ke Wall Street, dan industri perbankan global.
Kita masih menanti hasil investigasi bank-bank lainnya. Sementara itu, parlemen Inggris dan regulator sedang sibuk berdebat tentang kemungkinan membawa kasus ini ke ranah pidana. Mencuat juga perdebatan soal perbaikan formulasi Libor ke depannya.
Gubernur BOE Mervyn King punya pikiran lebih besar yaitu mengubah arsitektur industri perbankan Inggris. Ia kembali pada ide pemisahan penuh antara bank investasi dan bank ritel.
Sementara itu, industri perbankan dunia tengah dag dig dug. Siapa lagi yang bakal kena setelah Barclays?
Morgan Stanley melakukan analisis untuk menghitung kemungkinan kerugian 16 bank dalam skandal Libor. Menurut hitungannya, 16 bank itu menghadapi total potensi sanksi dan penalti senilai US$ 22 miliar. Royal Bank of Scotland Group Plc dan Deutsche Bank AG diperkirakan menerima denda terbesar.
Berikut adalah 15 bank lain yang berpotensi terseret skandal Libor:
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News