kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Sudah siap kartu kredit Anda diintip Pajak?


Kamis, 26 Mei 2016 / 16:29 WIB
Sudah siap kartu kredit Anda diintip Pajak?


Reporter: Adinda Ade Mustami, Asep Munazat Zatnika, Nina Dwiantika, Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Akhir bulan ini akan menjadi gelombang pertama bagi perbankan dan lembaga penerbit kartu kredit Tanah Air melaporkan data transaksi kartu kredit nasabahnya pada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Wacana yang dikumandangkan sejak April ini tak pelak menyebar keresahan bagi nasabah, yang berujung aksi penutupan kartu kredit di perbankan.

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan, ada 23 instansi, bank dan penerbit kartu kredit yang wajib melapor setiap bulan.

Mereka adalah Pan Indonesia Bank Ltd Tbk (Bank Panin), PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank MNC Internasional, PT Bank ICBC Indonesia, PT Bank Maybank Indonesia Tbk.

Ada juga  PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Mega Tbk, PT Bank Negara Indonesia 1946 (Persero) Tbk (Bank BNI), PT Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah), PT Bank OCBC NISP Tbk, PT Bank Permata Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI).

Selain itu, PT Bank Sinarmas, PT Bank UOB Indonesia, Standard Chartered Bank, The Hongkong & Shanghai Banking Corp., PT Bank QNB Indonesia, Citibank N.A, PT AEON Credit Services, PT Bank ANZ Indonesia.

Kartu kredit Anda diterbitkan salah satu bank tersebut? Sudah mulai khawatir? Yuk, simak lebih lanjut mengenai aturan ini.

Penutupan kartu kredit

Tidak sedikit pemilik kartu kredit yang panik dengan peraturan ini. Ditakutkan, data kartu kredit semata dijadikan celah bagi petugas pajak untuk mencari-cari kesalahan. Hal ini menggambarkan, kepercayaan masyarakat pada kantor pajak tidaklah sebesar pada bank.

Gue punya kartu kredit limit 100 juta, tapi ga pernah gue pake lebih dari 10 juta, trus gue (nanti) dicurigai? Mending gue tutup aja itu kartu,” tulis curhatan akun g.sorros di forum Kaskus, yang mungkin menggambarkan kekhawatiran banyak orang juga.  

Dampaknya, perbankan harus melihat ramainya permintaan penutupan kartu kredit sejak wacana ini dikumandangkan April lalu.

Selasa lalu (17/5), Head of Consumer Card PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Santoso menyebutkan, setelah adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor  39/ PMK.03/2016 tersebut, kenaikan penutupan kartu kredit melonjak dua hingga tiga kali lipat dari biasanya

Dia bilang, telah menutup 2.000 kartu kredit sejak April hingga pertengahan Mei itu. Nasabah menutup kartu kredit lantaran khawatir transaksinya terlihat oleh aparat perpajakan. "Mayoritas nasabah yang menutup kartu kredit adalah para pekerja atau orang bisnis," terang Santoso kepada KONTAN.

Vice President Card Acquisition Management PT Bank Mandiri Tbk, Tri S. Prayitno juga mengaku kehilangan nasabah kartu kredit, meski tak menyampaikan jumlah penutupan kartu kredit tersebut. "Ada kartu kredit yang ditutup tapi jumlahnya tidak besar," kata Prayitno.

Direktur kartu kredit PT Bank Mega Tbk Dodit W. Probojakti mengungkapkan, pihaknya telah menutup 10.000 kartu kredit per bulan karena berbagai alasan, termasuk khawatir dengan beleid pajak tersebut. Tapi dia mengatakan, permintaan kartu kredit baru pun masih tinggi, sekitar 20.000 kartu baru per bulan.

Alhasil, perbankan putar otak untuk tetap mengejar target bisnis kartu utang ini. "Kami akan meningkatkan program merchant dan menambah partner terutama untuk jenis kartu kredit Citi Prestige," kata Batara Sianturi, Chief Executive Officer Citibank Indonesia, pekan lalu. BCA juga yakin, transaksi kartu kredit akan naik karena ada momen Ramadan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.

Sebenarnya, apa sih niatan pemerintah sampai membuat pusing nasabah dan bank?

Tiket emas data perbankan

Reformasi perpajakan, ini alasan pemerintah menelurkan kebijakan ini. Kasubdit Analisis Dampak Kebijakan Ditjen Pajak M. Hanif Arkani mengklaim, kebijakan ini akan berdampak pada perbaikan data perpajakan yang lebih baik. Dengan data perpajakan yang lebih baik, maka base line penyusunan target penerimaan pajak akan lebih tepat.  

Berdasarkan peraturan yang ditandatangani Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro Maret lalu itu, data yang perlu dijabarkan antara lain: nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant dan nama merchant, nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu, NIK atau nomor paspor pemilik kartu, serta NPWP pemilik kartu.

Bank juga harus melengkapi data tersebut dengan tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi, tagihan bulanan dan pagu kreditnya.

Hanif bilang, data transaksi yang dilaporkan hanya dijadikan dasar untuk membandingkan nilai aset antara yang dilaporkan dengan yang sebenarnya. Dia juga berjanji, akan terus mengevaluasi peraturan ini dan merombak jika diperlukan.

“Ini tidak melanggar kerahasiaan bank,” kilah Menkeu akhir pekan lalu (20/5). Dia tidak menampik, beleid ini membuat resah nasabah dan berdampak pada penutupan kartu kredit. Tapi dia yakin, ini hanya terjadi sementara, dan nantinya pertumbuhan kartu kredit kembali meningkat.

Mengenai kerahasiaan nasabah bank, berikut aturan bank yang mengatur posisi nasabah dan Ditjen Pajak:

Kerahasiaan nasabah bank tercantum di UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Pada pasal 40 dicantumkan, bank hanya wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Ayat (1) pasal tersebut mempertegas, yang dirahasiakan bank adalah nasabah sebagai penyimpan, bukan debitur.

Apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan.

Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank,” begitu tertulis.

Tapi, sejatinya, selama ini pun Direktorat Jenderal Pajak sudah punya tiket emas ke data simpanan nasabah, dengan syarat khusus. Hal itu tercantum di pasal selanjutnya, 41 yang berbunyi,

Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.”   

Hanif meminta masyarakat, tidak takut menggunakan kartu kredit. Pada prinsipnya otoritas pajak mengakui, penggunaan data tidak bisa sembarangan.

Oleh karenanya, DJP akan memastikan seluruh data yang masuk aman. Ia menegaskan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kebijakan sharing data ini.

Sebagai salah satu langkah meningkatkan kualitas, Ditjen Pajak merombak 24 pejabatnya pekan lalu. Mereka yang dirotasi mulai dari Direktur Peraturan Perpajakan sampai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Harapannya, ini jadi momentum pembenahan di Ditjen Pajak. 

Ditentang kubu pemerintah sendiri

Ditjen Pajak masih harus kerja keras melakukan sosialisasi pada masyarakat mengenai kebijakan pembukaan data transaksi kartu kredit ini.

Tapi, itu tidak cukup. Pasalnya, unit yang di bawah Kementerian Keuangan itu mendapat pertentangan dari internal pemerintah, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).

Menurut Kemkominfo, kebijakan tadi bertentangan hak asasi manusia, karena memungkinkan data pribadi bisa diakses oleh pihak lain tanpa persetujuan. Data kartu kredit dianggap sebagai informasi pribadi, di mana tidak sembarang pihak memilikinya, termasuk pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak.

Untuk memastikan data kartu kredit tetap milik pribadi, Kemkominfo saat ini tengah menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pribadi. "Kami tengah menyusun drafnya," Ujar Kepala Biro Hukum Kemkominfo Bertiana Sari, Rabu (25/5) di Jakarta.

Beleid itu nantinya membatasi data-data apa saja yang tidak boleh diakses oleh lembaga lain. Tujuannya, agar masyarakat bisa merasa aman atas informasi pribadi yang selama ini tersimpan di berbagai tempat, seperti alamat surat elektronik atau e-mail, dan data perbankan termasuk kartu kredit.

Tapi, RUU tentunya tidak mudah jebol menjadi peraturan yang berlaku. Makanya, sampai pertentangan dari Kemkominfo berbuah jadi undang-undang, Ditjen Pajak harus injak gas berbenah dan meyakinkan masyarakat telah terjadi perubahan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×