Reporter: Margareta Engge Kharismawati, Uji Agung Santosa, Widyasari Ginting | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Sangat dibutuhkan rakyat namun membebani anggaran negara, itulah dilema yang dihadapi pemerintah dalam penyaluran bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Nilai subsidi yang terus membengkak tiap tahun membani anggaran yang terbatas, menjadi alasan mengapa pemerintah terus mewacanakan pembatasan ataupun kenaikan harga BBM subsidi.
Segala cara dipikirkan, mulai dari aturan larangan mobil menggunakan BBM subsidi untuk mobil pribadi jenis tertentu, larangan penggunaan BBM subsidi di hari libur, sampai pemberian kuota konsumsi BBM subsidi per hari dengan sistem Radio Frequency Identification (RFID).
Walau masih wacana, namun upaya-upaya itu tujuannya satu, yaitu menurunkan konsumsi BBM subsidi berupa solar dan premium yang terus naik tiap tahun. Selain dari sisi demand atau permintaan, pemerintah juga mewacanakan pelaksanaan subsidi tetap untuk penyaluran BBM.
Dengan skema subsidi tetap maka pemerintah hanya akan menanggung subsidi per liter solar atau bensin dengan jumlah tertentu misalnya Rp 2.000 per liter, sehingga kenaikan harga minyak berapa pun, nilai subsidi yang ditanggung pemerintah akan tetap. Tentu saja yang akan menanggung kenaikan harga adalah masyarakat.
Dari sejumlah wacana tersebut, pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya konversi BBM subsidi ke gas. Hanya saja pelaksanaannya belum maksimal karena masih terkendala pasokan gas dan kurangnya stasiun pengisian BBG.
Rencana di atas terus menjadi wacana yang tak kunjung terealisasi. Maklum selain menjadi komoditas ekonomi, subsidi BBM juga menjadi komoditas politik yang sangat seksi untuk dimainkan di tengah tahun politik seperti saat-saat kemarin. Itulah sebabnya walau pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) telah usai, namun beban subsidi yang harus di tanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum nampak ujungnya dan tidak terbendung.
Data PT Pertamina menunjukkan, realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga akhir Juni 2014 mencapai 22,9 juta kiloliter dari kuota yang sebanyak 46 juta kiloliter. Realisasi itu naik 1,3% dibanding periode sama tahun lalu.
Dalam APBN-P 2014 anggaran subsidi BBM dipatok sebesar Rp 246,49 triliun, naik dari alokasi sebelumnya dalam APBN 2014 yang sebesar Rp 210,6 triliun. Hingga bulan Juni 2014, realisasi subsidi BBM sudah mencapai Rp 120,70 triliun.
Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani, pemerintah tidak akan menambah alokasi anggaran subsidi BBM. Dia menegaskan anggaran subsidi BBM hanya bisa bertambah apabila nilai tukar rupiah melemah dan harga minyak dunia (ICP) tinggi. "Untuk volume tidak. Itu yang sudah disepakati di undang-undang," katanya.
Inilah yang kemudian membuat pemerintah dan PT Pertamina mengambil langkah pembatasan pasokan dan penyaluran BBM subsidi berjenis solar usai Lebaran, tepatnya pada 1 Agustus 2014. Awalnya pembatasan penjualan solar subsidi hanya dilakukan di wilayah Jakarta Pusat.
Pembatasan penjualan ini diatur dalam Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014. "Tujuannya untuk menghemat konsumsi BBM bersubsidi. Sebab kuota yang sebelumnya 48 juta kiloliter turun menjadi 46 juta kiloliter," ujar Anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim.
Pembatasan perlu dilakukan karena berapa pun pasokan solar subsidi yang diberikan Pertamina ke stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) di daerah Jakarta Pusat, selalu habis. Padahal jumlah pengguna BBM subsidi jenis solar di Jakarta Pusat dinilai tidak terlalu banyak. Dengan pengguna yang sedikit, menurut Ibrahim, tidak diperlukan sosialisasi secara massal.
Setelah Jakarta Pusat, konsumsi untuk daerah lain juga mulai dikurangi, terutama di Provinsi Kalimantan dan Sulawesi yang memiliki banyak usaha perkebunan dan pertambangan. Jika berhasil, tak menutup kemungkinan sistem ini akan diberlakukan di daerah lainnya. Pembatasan ini akan di uji coba selama tiga bulan untuk kemudian di evaluasi.
Merujuk pada upaya yang dilakukan di Batam, menurut Ibrahim, pembatasan itu mampu menurunkan konsumsi BBM subsidi hingga 30%. Di wilayah tertentu, penjualan solar bersubsidi juga dibatasi hanya bisa dilakukan sejak pukul 6 pagi sampai 6 sore saja. Sementara itu pada malam hari solar bersubsidi dilarang untuk dijual
Tidak hanya menarik penjualan solar subsidi dari Jakarta Pusat, Pertamina juga akan mengurangi 20% pasokan solar dan 10% bensin di setiap SPBU. Pertamina juga menghentikan penjualan BBM subsidi di SPBU jalan tol mulai 6 Agustus kemarin.
Menurut Direktur Pemasaran Pertamina Hanung Budya, pihaknya perlu memastikan konsumsi BBM subsidi tahun ini tidak melampaui kuota pemerintah sebesar 45,35 juta kiloliter. Jika tidak mengurangi pasokan, maka kuota solar akan habis pada 30 November 2014, sementara bensin premium akan ludes pada 19 Desember 2014.
Kuota solar bersubsidi sebanyak 15,16 juta kiloliter pada tahun ini jika tidak dikendalikan tentu akan jebol. Jumlah kuota itu selain digunakan untuk mencukupi kebutuhan transportasi, ditenggarai juga banyak bocor untuk penggunaan industri, baik perkebunan maupun pertambangan. "Barang yang sama tetapi harga berbeda, maka patut diduga ada aliran barang dari harga murah ke harga tinggi (Industri)," kata Vice President Pertamina Suhartoko. Apalagi tahun ini kuota penyaluran solar bersubsidi lebih rendah 11% dibanding tahun lalu.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo juga mengakui adanya penyalahgunaan dan penyelundupan solar subsidi sehingga kuota cepat habis. "Saya tanya ke Pertamina daerah mana saja yang rawan penyelundupan? Katanya Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jambi dan Riau," ujarnya. Wilayah-wilayah yang rawan penyelundupan merupakan daerah yang dekat dengan wilayah pertambangan.
Penentuan wilayah yang dibatasi pasokan solar besubsidi fokus pada kawasan industri, pertambangan, perkebunan dan wilayah-wilayah yang dekat dengan pelabuhan dimana rawan penyalahgunaan. Sementara itu SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik, tidak ada pembatasan waktu penjualan solar.
Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung serta sebagian besar wilayah Kalimantan tetap akan menerapkan aturan sesuai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Pembatasan dilakukan terhadap 12% dari total SPBU yang mencapai 4.570 unit. Untuk wilayah Jawa dan Bali hanya 5% yang terkena aturan pembatasan. Selain pembatasan jam penjualan, pemerintah juga akan fokus pada pemasangan RFID untuk truk-truk yang berada di daerah rawan kebocoran solar bersubsidi.
Berdampak besar
Efek pembatasan penjualan solar bersubsidi dan pengurangan pasokan berimbas langsung ke tarif angkutan. Bahkan Kementerian Perhubungan (Kemhub) berencana mengevaluasi tarif angkutan umum. Menteri Perhubungan EE Mangindaan mengatakan, untuk mengevaluasi tarif, pihaknya akan mengumpulkan sejumlah organisasi angkutan untuk membicarakan tarif yang berlaku. “Kalau ada kenaikan diharapkan tidak terlalu tinggi dan membebani masyarakat,” katanya.
Organisasi Angkutan Darat (Organda) sendiri keberatan dengan pembatasan dan pencabutan penjualan solar bersubsidi. Sekjen DPP Organda Andriansyah mengatakan, solar bersubsidi memiliki konsumen terbesar angkutan umum. "Kalau mau batasi seharusnya premium, bukan solar," ujarnya. Pembatasan itu akan sangat merepotkan angkutan umum karena karakter angkutan umum memiliki rute tetap, sehingga tidak fleksibel berpindah rute. Jika keluar rute hanya hanya untuk mengisi BBM subsidi maka bisa ditilang polisi atau Dishub. Atas penolakan itu, Andri bilang pihaknya sudah menyurati Kepala BP Migas agar pembatasan dicabut.
Pelarangan penjualan solar subsidi telah memaksa pengusaha angkutan untuk menggunakan solar non subsidi yang selisih harganya mencapai Rp 7.300 per liter. Dan kalau kondisi ini terus dibiarkan, dikhawatirkan biaya operasional pengusaha angkutan bisa membengkak dan memicu kenaikan tarif.
Dalam hitungan Organda, besaran kenaikan tarif bisa mencapai 60%. Angka tersebut diperoleh dari kontribusi BBM terhadap biaya operasional angkutan yang mencapai 45% dikalikan dengan prosentase selisih harga antara solar bersubsidi dengan non subsidi yang mencapai 130 %. “Kenaikan tarif belum kami usulkan. Kenaikan tarif bisa bisa menggerus daya beli masyarakat,” kata Ardiansyah.
Tidak hanya solar di sektor transportasi, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20%. Penyalurannya juga akan mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 gross ton (GT).
Pembatasan itu berpotensi membuat harga produk perikanan naik karena waktu nelayan melaut menjadi berkurang dan hasil tangkapan menyusut. Sharif Cicip Sutardjo Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan, meski mendukung namun dia meminta agar pasokan solar bersubsidi untuk para nelayan dengan berat 30 GT dijamin.
KKP menurutnya akan menginventarisasi sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) yang ada di tanah air dan memberikan surat ke Pertamina agar menjamin pasokannya. Dia berharap dengan kebijakan tersebut harga ikan antara nelayan kecil dengan nelayan besar akan kompetitif. Sebab, "Kapal 30 GT tidak tidak dapat subsidi lagi, sehingga akan naikkan harga," ujarnya.
Tidak hanya produk perikanan saja yang akan naik, harga jual makanan dan minuman juga berpotensi naik. Selain disebabkan karena dampak pembatasan pasokan solar subsidi, kenaikan harga bahan makanan juga disebabkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% terhadap bahan baku pertanian untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi Lukman bilang, kebijakan pembatasan solar bersubsidi bakal meningkatkan biaya distribusi. Dia mengasumsikan, rata-rata biaya distribusi mencuil 5%-8% dari total beban usaha. Nah, di dalam porsi biaya distribusi tersebut sebanyak 50% berupa ongkos bahan bakar minyak (BBM). Atas kenaikan biaya distribusi tersebut, pelaku usaha makanan dan minuman akan mengompensasinya dengan cara mengerek harga jual produk ke konsumen. "Saya kira akan menyebabkan kenaikan. Kita masih memantau," ujarnya.
Atas daskar itulah kemudian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah segera mencabut larangan penjualan solar bersubsidi di beberapa wilayah di Indonesia sejak awal Agustus lalu. Permintaan itu sudah resmi mereka sampaikan kepada Kementerian Perhubungan, dan minta diteruskan pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Kadin Natsir Mansyur, dasar usulan pencabutan disebabkan karena pemberlakuan aturan larangan penjualan solar bersubsidi yang dilakukan secara tiba-tiba, tanpa berkoordinasi dengan pelaku usaha. "Multiplier effect-nya besar bagi dunia usaha, bukan hanya angkutan, tapi juga ke harga barang, dan bahkan investasi," katanya.
Dia berharap setelah mencabut aturan larangan penjualan solar bersubsidi tersebut, pemerintah bisa segera duduk bersama dengan dunia usaha untuk mencari solusi atas kuota BBM subsidi yang dikhawatirkan akan jebol sebelum akhir tahun 2014.
Sejumlah pengamat menilai pembatasan ini tidak akan efektif menurunkan beban subsidi BBM. Pengamat Energi Kurtubi mengatakan, larangan penjualan solar dan premium bersubsidi bisa sia-sia belaka. Misalnya, larangan penjualan premium di jalan tol. "Para pengemudi kendaraan roda empat yang melalui jalan tol akan mengisi bahan bakar terlebih dulu sebelum masuk tol," ujarnya.
Dia melihat kebijakan tersebut hanya membuat sistem penjualan BBM di daerah berantakan. Sebab masih banyak angkutan umum yang menggunakan bahan bakar BBM bersubsidi, sehingga kemungkinan besar jumlah konsumsi BBM bersubsidi di tahun ini tetap akan melampaui kuota. "Jadi lebih baik pemerintah langsung menaikkan harga BBM bersubsidi untuk menghemat anggaran subsidi BBM," saran Kurtubi.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati sependapat dengan Kurtubi. Dia bilang jika ada larangan menjual premium bersubsidi di jalan tol, masyarakat akan mengisi BBM sebelum masuk atau setelah keluar pintu tol. Bila pemerintah ingin volume BBM tidak melampaui target, maka pemerintah harus mengoptimalkan penggunaan BBM bersubsidi agar tepat sasaran.
Penyaluran subsidi BBM jangan sampai bocor ke sektor perkebunan atau industri. Termasuuk dengan membangun transportasi publik yang memadai sehingga masyarakat memilih menggunakan transportasi umum dibanding milik pribadi. Jika tidak dilakukan maka kejadian yang sama akan terus berulang tiap tahun.
Kuota dan realisasi BBM subsidi
Kuota (Juta Kl) | Realisasi (Juta Kl) | Nilai subsidi, termasuk minyak tanah | ||||
---|---|---|---|---|---|---|
Tahun | Premium | Solar | Premium | Solar | Pagu | Realisasi |
2007 | 16,58 | 9,87 | 17,92 | 10,88 | Rp 54,10 triliun | Rp 83,79 triliun |
2008 | 16,97 | 11,00 | 17,94 | 11,75 | Rp 126,80 triliun | Rp 139,11 triliun |
2009 | 20,94 | 11,81 | 21,18 | 12,06 | Rp 52,30 triliun | Rp 45,04 triliun |
2010 | 21,45 | 11,20 | 22,93 | 12,94 | Rp 89,29 triliun | Rp 82,35 triliun |
2011 | 24,50 | 14,06 | 25,50 | 14,50 | Rp 129,70 triliun | Rp 165,16 triliun |
2012 | 27,84 | 15,00 | 28,24 | 15,56 | Rp 137,40 triliun | Rp 219,90 triliun |
2013 | 29,03 | 14,28 | 29,26 | 15,88 | Rp 199,90 triliun | Rp 210,00 triliun |
2014* | 29,29 | 15,16 | 17,08 | 9,12 | Rp 246,49 triliun | Rp 120,70 triliun |
Keterangan: * Realisasi sampai 31 Juli 2014 dan realisasi anggaran periode Januari-Juni 2014.
Sumber: BPH Migas, Pertamina, APBN-P
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News