kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.948.000   47.000   2,47%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%
FOKUS /

Soal jaminan hari tua, pekerja tak puas


Jumat, 10 Juli 2015 / 23:00 WIB
Soal jaminan hari tua, pekerja tak puas


Reporter: Asep Munazat Zatnika, Dina Farisah, Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Masa penantian para pekerja terhadap aturan Jaminan Hari Tua yang tercantum di Peraturan Presiden (PP) Nomor 46 Tahun 2015 ternyata sia-sia. Pasalnya, aturan yang merupakan revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan dijabarkan dalam PP nomor 1 tahun 2009 itu, tak seusai harapan.

Dalam aturan baru, pekerja baru bisa mencairkan dana pensiun setelah 10 tahun kepesertaan. Itu pun dibagi-bagi lagi, yakni 10% untuk pensiun dan 30% untuk membantu biaya perumahan. Di luar porsi dan keperluan itu, pekerja tidak bisa mengambil dananya yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Padahal di aturan sebelumnya pekerja diperbolehkan mengambil dana pensiun setelah masa kepesertaan 5 tahun. Dan besaran dana yang diambil pun boleh hingga 100%. Dan di usia 55 tahun  pekerja sudah bisa mengambil seluruh dana. Sedangkan di aturan baru usia pensiun mencapai 56 tahun.

Aturan yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi dan berlaku 1 Juli 2015 itu sontak saja membuat para pekerja ‘marah’. Mereka turun ke jalan dan berdemo.

Para pekerja ini meminta pemerintah untuk mengembalikan aturan JHT ke aturan lama dan membatalkan aturan baru. Selain menolak PP tersebut, mereka menolak iuran jaminan pensiun dengan manfaat hanya 15%–40% dari gaji terakhir.

Pasalnya, aturan tersebut dinilai akan memiskinkan mereka saat pensiun. Mereka lantas meminta manfaat pensiun harus 60% dari gaji terakhir, sama seperti pegawai negeri.

Kisruh mengenai PP ini pun lantas membuat Presiden Jokowi memanggil Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya.

Usai menghadap Jokowi, Hanif mengaku jika Jokowi memintanya untuk merivisi kembali aturan tersebut. Hanif mengatakan, dalam revisi yang akan dilakukannya, akan diberikan pengecualian bagi peserta yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berhenti bekerja. "Kalau ada PHK bisa mengambil jatah JTH-nya," ujar Hanif.

Namun, pencairan itu baru bisa dilakukan satu bulan setelah mereka terkena PHK dan berhenti bekerja. Hanif berjanji, revisi PP ini akan diselesaikan dalam waktu sesegera mungkin.

Menteri koordinator bidang perekonomian Sofyan Djalil mengatakan bahwa pemerintah mendengar aspirasi masyarakat. Oleh karenanya, aturan tersebut akan diubah disesuaikan dengan harapan masyarakat.

Dalam revisi nantinya, pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mencairkan dana pensiun. Dalam aturan yang sekarang berlaku, pemerintah memang tidak mengakomodir pegawai yang terkena PHK.

"Bagi yang terkena PHK uang itu lebih penting sekarang dari pada hari tua," ujar Sofyan.

Sementara itu Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Massasya mengatakan bakal mengakomodir permintaan pemerintah tersebut. Namun kata dia, peserta yang sudah mencairkan dana JHT melanjutkan kerja kembali, bisa melanjutkan kepesertaannya. Namun, harus mendaftar lagi dari awal, atau mulai dari nol lagi.

Menurut Elvyn sejatinya akibat revisi ini, rencana pengelolaan keuangan BPJS Ketenagakerjaan sedikit terganggu. Karena tenaga kerja akan mengambil uang mereka saat terkena PHK atau berhenti bekerja.

Meksi begitu dana BPJS Ketenagakerjaan cukup tebal untuk mengakomodir penarikan dana tersebut.

Hingga Mei 2015 kemarin, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 197,16 triliun.

Dana tersebut ditempatkan di sejumlah instrumen investasi. Sebanyak 24,16% dana di investasikan di deposito, lalu sebesar 21,49% di masukan ke bursa saham dan reksadana 7,98%. Porsi penempatan paling banyak yakni di surat utang atau obligasi yang porsinya mencapai 45,78% dari total dana kelolaan. Sedangkan sekitar 0,59% di investasikan di instrumen lainnya, termasuk properti.

Dana pensiun bukan milik negara

Tak hanya para pekerja, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga meminta pemerintah untuk kembali merevisi aturan tersebut karena dinilai memberatkan.

JHT sebagai jaring pengaman sosial dan tabungan harus bisa diambil kapan pun saat dibutuhkan. Dana JHT bukanlah dana milik negara, tapi sepenuhnya milik pekerja yang dikumpulkan dari upah mereka bekerja, karena itu pekerja memiliki hak penuh atas dana JHT.

"Jadi kalau sudah 10 tahun hanya bisa menarik 10% saja atau 30% untuk pembiayaan rumah. Hal ini tentu sangat memberatkan," ujar anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani.

Jadi kata dia, sebelum di teken, sebaiknya disosialisasikan terlebih dahulu. Selanjutnya baru dilaksanakan. "Jangan sampai peraturan yang dibuat justru melahirkan kontroversi," tambahnya.

Tak cukup sampai di situ, rencananya, Komisi IX DPR RI akan membentuk Panitia Kerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk merespons polemik ini.

Anggota Komisi IX DPR RI Risky Sadig seperti dikutip dari Kompas.com mengatakan, panja tersebut akan mendorong adanya perubahan dalam pelaksanaan BPJS. Terbuka kemungkinan akan diusulkan juga perubahan pelaksanaan pada BPJS kesehatan.

Ada juga kemungkinan panja akan merekomendasikan revisi pada pasal 37 ayat 3 Undang-Undang SJSN yang mengatur pencairan dana JHT baru dapat dilakukan setelah 10 tahun kepesertaan. Rekomendasi untuk revisi bisa terjadi jika panja meyakini aturan tersebut memberatkan tenaga kerja.

Sebelumnya Menaker mengatakan, terbitnya PP tersebut juga bukan karena pemerintah tergesa-gesa dan melupakan proses sosialisasi. Melainkan, UU No.24/2011 tentang BPJS memerintahkan pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan berlaku mulai 1 Juli 2015.

Selain JHT sejumlah program yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan mengalami perubahan.

Misalnya saja program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Jika di JKM sebelumnya santunan yang diberikan Rp 21 juta, sedangkan sekarang ini Rp 24 juta.

Selain itu, jika peserta program JKM yang sudah mengikuti program minimal 5 tahun dan meninggal dunia, BPJS Ketenagakerjaan akan memberikan santunan berupa beasiswa kepada satu orang anak sebesar Rp 12 juta.

Sedangkan untuk JKK, jika sebelumnya plafonnya Rp 20 juta, dengan perubahan ini maka biayanya ditanggung sampai sembuh.

Dengan berbagai program tersebut setiap pekerja akan dipotong gajinya sampai dengan 9,24% per bulan. Potongan tersebut ditanggung oleh pekerja sebesar 3%, dan kantor sebesar 6,24%.

Rincian potongan tersebut yakni JKM 0,3%, JKK 0,24% hingga 1,74% tergantung kelompok risiko pekerjaan. Sedangkan untuk JHT adalah sebesar 5,7% dan jaminan pensiun 3%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×