Reporter: Adinda Ade Mustami, Galvan Yudistira, Ghina Ghaliya Quddus, Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang, Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Alasan Bank Indonesia (BI) menaikkan bunga acuan makin banyak. Salah satunya yang tengah membuat resah pasar, yaitu pelemahan rupiah.
Mengutip Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dipublikasikan BI, rupiah Kamis (3/5) ini berada di posisi Rp 13.965 per dollar AS. Ini merupakan level terlemah rupiah sejak tahun 2015 lalu.
Alasan lainnya, bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve masih akan mengerek bunga acuannya. Langkah Paman Sam ini mendorong dollar AS kembali pulang kampung ke AS dan memacu bank sentral global ikut melakukan pengetatan moneter.
Tak dipungkiri, Indonesia juga terkena imbas. Arus dana asing keluar melemahkan kurs rupiah. Bulan April lalu, arus dana asing keluar dari pasar saham saja lebih dari Rp 10 triliun, dan dilanjutkan bulan Mei ini sudah sekitar Rp 1,2 triliun.
Tekanan dari The Fed belum akan berhenti karena bunga AS masih akan naik dua kali, bahkan ada yang memperkirakan tiga kali lagi di tahun ini.
Sebagai perbandingan tren pergerakan bunga bank sentral kita dan AS, BI menahan bunga acuan 7-day (Reverse) Repo Rate di posisi 4,25% sejak September 2017. Dalam rentang waktu yang sama, The Fed sudah dua kali menaikkan bunga, yaitu Desember 2017 dan Maret 2018 ke posisi 1,5%-1,75%.
The Fed diperkirakan pasar akan mengerek bunga lagi pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) 13 Juni mendatang. Mengutip tools CME Group, ada kesempatan 95% bagi The Fed menaikkan bunganya Juni mendatang ke level 1,75%-2%.
Alhasil, kenaikan bunga, salah satu obat untuk menahan dana asing tetap betah di dalam negeri, disebut-sebut agar segera ditenggak oleh BI.
"Kenaikan tingkat bunga acuan perlu dilaksanakan karena bisa mengurangi ketidakpastian," kata Febrio N. Kacaribu, Kepala Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI). Dia bilang, BI butuh kebijakan lain selain intervensi pasar untuk menahan rupiah. Aktivitas ekspor, impor, pembayaran dengan valuta asing pun membutuhkan kurs yang relatif bisa diprediksi.
Sinyal BI
Bank Indonesia pun akhirnya memberi jawaban terkait bunga, selain janjinya menjaga pasar dengan cara intervensi. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan pada akhir April lalu, BI tidak akan ragu untuk melakukan penyesuaian suku bunga, jika pergerakan nilai tukar mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Pernyataan Agus ini melegakan pasar sejenak.
Tapi, BI mengingatkan, akan mengambil langkah kebijakan penyesuaian bunga dengan hati-hati dan terukur. Apalagi, indikator ekonomi yang menjadi acuan BI juga masih dalam rentang aman. Inflasi masih sesuai dengan target pada kisaran 3,5% plus minus 1%. Defisit transaksi berjalan juga di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
BI pada umumnya akan menaikkan BI rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan. Sebaliknya, Bank Indonesia akan menurunkan BI rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
Pelemahan rupiah hari ini yang hampir menembus Rp 14.000 per dollar AS, menurut BI juga ikut disebabkan kewajiban pembayaran luar negeri yang cukup besar. BI mengindikasikan, tren pembayaran ini wajar. "Di kuartal kedua setiap tahun ada kewajiban membayar ke luar negeri yang cukup besar, baik itu bunga, dividen, ataupun bentuk bentuk kewajiban dunia usaha lainnya," kata Agus di Gedung BI, Kamis (3/5).
Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat, BI menunjukkan bahwa pelemahan rupiah saat ini bersifat sementara. Dia memperkirakan, BI belum akan melakukan penyesuaian kebijakan suku bunga hingga akhir tahun 2018.
"Paling cepat, BI lakukan penyesuaian di semester pertama tahun depan," tambah Josua. Di semester II nanti, menurut dia, gejolak arus dana keluar sudah tidak banyak karena sudah semakin jelasnya arah kebijakan suku bunga The Fed.
Apalagi, inflasi juga masih diperkirakan rendah di tahun ini. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, angka inflasi bulanan tahun ini (Januari-April) yang selalu lebih rendah ketimbang tahun lalu adalah pertanda dorongan harga dari sisi permintaan masyarakat masih lemah.
Mei ini, dia memperkirakan, inflasi inti di posisi 0,19%, naik tipis ketimbang bulan April yang sebesar 0,15%.
Baca selanjutnya: Andai bunga BI naik, apakah bank segera menaikkan bunga kredit?
Bunga kredit yang kurang rendah
Salah satu alasan BI selama ini enggan mengerek bunga acuan adalah untuk menekan bunga kredit dan pinjaman, sehingga mendorong ekonomi. Mengutip data BI, rata-rata suku bunga kredit bank pada Maret 2018 masih di posisi 11,18%.
BI pun tak ingin menghilangkan momentum bank mengejar penguatan kredit di periode kuartal II, setelah penyaluran kredit lesu di bulan Januari-Maret lalu. Apalagi, di pertengahan tahun ini ada momen Lebaran yang memicu konsumsi masyarakat.
Berdasarkan survei perbankan, BI menyebut, bank akan menjaga kebijakannya longgar untuk menggaet kredit baru, meski tak selonggar pada kuartal I lalu.
"Pada triwulan II 2018, responden (perbankan) berencana untuk menurunkan suku bunga kredit dan mengurangi biaya persetujuan kredit. Namun di sisi lain, responden juga akan mengurangi plafon kredit dan menambah premi pada kredit yang berisiko," tulis bank sentral, dalam survei perbankan yang dirilis April lalu.
Masih dari survei tersebut, rata-rata suku bunga kredit modal kerja bank akan turun 3 basis poin (bps) menjadi 11,78%, dan suku bunga kredit konsumsi masih punya ruang untuk turun sebesar 8 bps menjadi 14,5%, sedangkan untuk kredit investasi diproyeksi naik 6 bps menjadi 12,18%.
Pengusaha sejatinya tak ingin ada pengetatan moneter. Pasalnya, kenaikan bunga acuan pasti direspons cepat oleh bank. Ujungnya, bunga kredit naik lagi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan, bunga kredit perbankan baru turun tipis, setelah BI menahan bunga acuan cukup lama.
Andai bunga acuan BI naik, dia berharap, bank tak buru-buru menaikkan bunga kredit. Dalam kondisi tekanan, Benny berharap, semua pihak termasuk bank ikut berkorban. Apalagi, margin keuntungan bank yang sekitar 5% masih dianggap cukup.
Bank menghitung ongkos dana
Bank saat ini tak bisa menjanjikan banyak penurunan bunga. Ada, tapi tak banyak. Mereka beralasan selama ini pun sudah memangkas bunga.
Direktur Resiko, Strategi dan Kepatuhan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Mahelan Prabantarikso menilai, masih ada ruang penurunan bunga kredit masih ada di kuartal II, bahkan sampai kuartal IV tahun ini. Hanya saja, hal tersebut sangat bergantung pada bunga BI.
Di tengah tekanan ini, bank hanya bisa berjanji, tak grusukan menaikkan bunga kredit, andai BI jadi menaikkan bunganya. Tapi, ada beberapa produk yang mengalami kenaikan bunga, demi menjaga cost of fund atau biaya dana agar tak terlalu melukai margin.
"Kami tidak akan selalu naik (jika bunga naik), tergantung komposisi cost of fund kami untuk jadi lebih baik. Masih ada kemungkinan untuk turun, minimal satu dua produk turun khususnya di kredit modal kerja dan kredit investasi," ujarnya.
Handayani, Direktur Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengakui, kenaikan bunga BI akan berdampak pada bank. “Mungkin akan naik di segmen kredit tertentu. Tentu akan ada yang naik,” katanya.
Menurutnya, hal ini akan tergantung kepada risiko dari setiap segmen bisnis, cost of fund, performance serta cost of credit. BRI akan melakukan efisiensi agar tingkat suku bunga dapat dijaga di level terbaik.
Sedangkan Frenky Tirtowijoyo, Direktur Utama Bank Sinarmas mengatakan, secara umum, kondisi likuiditas akan menentukan tingkat suku bunga perbankan. Jika nanti BI menaikkan bunga acuan 7DRR rate, Frenky bilang tidak serta merta bank akan menaikkan bunga deposito atau kredit. "Saat ini kondisi likuiditas cukup tersedia atau likuid," kata Frenky, Rabu (2/5).
Direktur Treasuri PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Darmawan Junaidi menilai kenaikan tersebut tidak serta-merta akan membuat bank menaikkan bunga kreditnya. Suku bunga kredit masih berpotensi untuk ditahan lantaran dalam pemberian fasilitas kredit bank kepada nasabah, pihak perbankan telah lebih dulu meneliti faktor-faktor pendukungnya.
Bank Mandiri juga akan menjaga kualitas kredit agar risiko tak sensitif begitu terjadi kenaikan bunga. "Risiko kredit sangat kecil dampaknya dari tingkat bunga apabila proses pemberian kredit dilakukan secara prudent dan dievaluasi dengan cermat. Baik dari sisi bisnis maupun pertimbangan risikonya," kata Darmawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News