kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,12   2,37   0.26%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Siapkah rupiah kembali menghadapi pukulan ?


Senin, 17 Agustus 2015 / 12:32 WIB
Siapkah rupiah kembali menghadapi pukulan ?


Reporter: Asep Munazat Zatnika, Muhammad Nauval, Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Dalam sepekan kemarin, rupiah benar-benar diuji. Mata uang Garuda masuk dalam mata uang terlemah di Asia bersama ringgit Malaysia. 

Di pasar spot Jumat (14/8), nilai tukar rupiah terhadap USD merosot 0,13% ke 13.787 dibanding hari sebelumnya, atau terkikis 1,81% dalam sepekan. Serupa, kurs tengah rupiah di Bank Indonesia juga melemah 0,11% menjadi 13.763 atau koreksi 1,67% sepekan lalu.

Kebijakan People’s Bank of China (bank central China) yang mendevaluasi mata uang yuan sebesar 1,9% menjadi biang keroknya. Langkah China yang bermaksud mendongkrak perekonomian menyusul negatifnya angka ekspor, memicu dollar AS naik lebih tinggi, bahkan sempat menembus level Rp 13.800. 

Dan tidak cukup di sini, tekanan pun juga masih akan datang dari negeri Paman Sam. The Federal Reserve (The Fed) alias bank sentral AS berencana menaikkan suku bunganya, spekulasi santer di September mendatang. 

Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian yang baru saja diangkat Presiden Joko Widodo (Jokowi) sadar betul hal ini. Rupiah masih akan menghadapi beberapa kali pukulan dalam beberapa waktu ke depan. 

"Ada masalah (ekonomi internasional, ada juga (masalah ekonomi) regional dan domestik. Karena gabungan dari ketiga faktor yang terjadi itu, mau tidak mau membuat tekanan (dollar AS) pada (nilai tukar) rupiah tetap berlanjut," katanya.

Sejak akhir tahun 2013, nilai tukar rupiah terus melemah. Tidak bisa dipungkiri, rupiah memang salah satu mata uang terlemah, mudah nilainya mudah ditekan oleh perubahan kondisi ekonomi, baik dalam mau pun luar negeri. 

Setidaknya ada tiga faktor secara sederhana yang menjelaskan otot rupiah mudah sekali loyo. Pertama, perekonomian yang kurang mapan. Rupiah termasuk dalam soft currency, yakni mata uang yang mudah berfluktuasi karena perekonomian negara asalnya relatif kurang mapan. 

Umumnya, mata uang negara-negara berkembang. Berbeda dengan mata uang negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang disebut hard currency, karena kemampuannya mempengaruhi nilai mata uang yang lebih lemah. 

Karakteristik khusus mata uang soft currency adalah sensitif terhadap kondisi ekonomi global. Contohnya, kondisi yang terjadi saat ini di mana rupiah tertekan kebijakan PBoC dan The Fed. 

Kedua, pelarian modal. Tidak bisa dipungkiri, modal yang beredar di Indonesia terutama di pasar finansial sebagian besar adalah modal asing. Ini yang akhirnya membuat nilai rupiah sedikit banyak tergantung pada kepercayaan investor asing terhadap prospek bisnis di Indonesia. 

Sederhananya, semakin baik iklim bisnis di Indonesia, maka akan semakin banyak investasi asing di Indonesia. Dengan demikian rupiah akan semakin menguat. Sebaliknya, semakin negatif pandangan investor terhadap Indonesia, rupiah pun akan melemah. 

Ketiga, ketidakstabilan politik-ekonomi. Di awal pemerintahan Presiden Jokowi ini, kondisi politik-ekonomi tidak terlalu stabil. 

Sejumlah kasus hukum misalnya, cukup mengganggu kinerja kabinet kerja Jokowi. Kini ditambah belum maksimalnya penyerapan anggaran paruh pertama 2015.   

Awal bulan ini, Rabu (5/8), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan GDP Indonesia kuartal kedua tahun 2015 hanya mencapai 4,6% (yoy), lebih rendah dibandingkan angka terevisi 4,72% di kuartal sebelumnya sekaligus menjadi laju pertumbuhan terlambat dalam enam tahun terakhir. 

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) melaporkan Cadangan Devisa Indonesia kembali menipis. Dari posisi akhir Juni sebesar 108 miliar dollar AS, Cadangan Devisa Indonesia di akhir Juli tersisa 107.6 miliar dollar AS. Menurut BI, perkembangan tersebut disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri Pemerintah serta penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya, guna mendukung terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Janji Jokowi

Dengan pertimbangan kondisi saat sekarang ini, pemerintahan Presiden Jokowi terpaksa mengubur target pertumbuhan 7%. Dalam nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 yang disampaikan Jokowi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jumat (14/8) kemarin, pemerintah hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 5,5%, sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan tahun ini yang diproyeksi 5,2%. 

Target pertumbuhan itu, kata Jokowi, karena pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi global. Makanya, patokan rupiah pun dipasang di level Rp 13.400 per dollar Amerika Serikat. "Perlambatan ekonomi Tiongkok dan depresiasi yuan akan berpengaruh pada nilai tukar rupiah di tahun mendatang," ujarnya.

Agar target tak meleset, pemerintah berjanji memperkuat fundamental dalam negeri. Yakni dengan memperbesar belanja pemerintah, mengaktifkan peran perusahaan negara serta memberikan insentif bagi industri dan masyarakat.

Jokowi pun terus menyerukan keoptimisan, guncangan perekonomian saat sekarang bukan yang pertama kali dihadapi bangsa ini.

"Selama ini kita terjebak pada pemahaman bahwa melambannya perekonomian global, yang berdampak pada perekonomian nasional adalah masalah paling utama. Padahal, kalau kita cermati lebih seksama, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, sekali lagi, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, juga berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa," ujarnya.

Nah, kini tinggal menanti langkah konkrit dari pemerintah. Merespon asumsi nilai tukar rupiah dalam RAPBN 2016 sebesar Rp13.400 per dollar AS.

"Asumsi rupiah Rp13.400 bukan lagi soal realistis atau tidak, tapi bagaimana 'policy response" dari pemerintah untuk mencapainya pada tahun depan," ujar Enny.

Enny mencontohkan seperti China yang melakukan kebijakan devaluasi Yuan untuk meningkatkan kinerja ekspor negara tersebut.

Pemerintah seharusnya sudah mulai mempersiapkan berbagai kebijakan untuk mendorong ekspor memanfaatkan depresiasi nilai tukar rupiah.

"Pemerintah harus mempercepat industri substitusi impor dan mempercepat hilirisasi industri untuk ekspor," kata Enny.

Menurut Enny, pada semester II 2015 pemerintah harus sudah mempersiapkan 'ancang-ancang' dan fokus melakukan dua hal tersebut. Terkait ekspor, Indonesia diharapkan tidak lagi terus mengandalkan ekspor komoditas yang hingga kini harganya masih relatif menurun.

Masih tertekan

Sepekan ini, pelemahan rupiah masih akan berlanjut. Trian Fathria, Research and Analyst Divisi Tresuri Bank BNI mengatakan rupiah akan berada di rentan Rp 13.700 sampai Rp 13.850 per dollar.

“Memang pelemahannya tidak terlampau besar lagi karena Bank Indonesia diharapkan semakin aktif intervensi,” ujarnya.

Adanya, rilis BI rate melalui Rapat Dewan Gubernur BI dan laporan neraca perdagangan dari BPS diharapkan cukup menahan posisi rupiah.

Sebaliknya, Research and Analyst PT Fortis Asia Futures Sri Wahyudi menduga, rupiah bisa menguat terbatas. Mengekor pengumumn data neraca perdagangan Indonesia dan BI rate yang diprediksi memuaskan pasar.

Dirinya juga berharap, pidato Jokowi di sidang MPR/DPR, Jumat (14/8) lalu bisa menopang rupiah. Rupiah diprediksi menguat Rp 13.700 - Rp 13.680.

Nah, layaknya tubuh. Rupiah pun butuh obat kuat demi menjaga staminan menghadapi gempuran dari luar mau pun dalam. Agar, rupiah semakin siap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×