Reporter: Raymond Reynaldi, Epung Saepudin, Hendra Gunawan, Dian Pitaloka Saraswati, Arief Ardiansyah | Editor: Edy Can
Dalam pertemuan G20 yang beranggotakan 20 negara, medio tahun 2011, shadow banking sempat menjadi pembahasan. Isu shadow banking ini mencuat dengan mengambil contoh kolapsnya Lehmann Brothers, institusi keuangan internasional di Amerika Serikat (AS) pada pengujung tahun 2008.
Kehancuran Lehmann menjadi puncak krisis kredit perumahan murah atau subprime mortgage di AS, yang merembet ke krisis keuangan global sampai sekarang. Nah, para pemimpin G20 tak ingin kejadian tersebut terulang kembali. Karena itu, mereka menyiapkan satuan tugas yang menggodok pengetatan peraturan praktik shadow banking.
Situs Investopedia mendefinisikan shadow banking sebagai lembaga intermediasi keuangan yang memfasilitasi pembentukan kredit di sistem keuangan. Bisa juga diartikan sebagai aktivitas lembaga keuangan yang belum terpayungi regulator. Sementara Bank Indonesia (BI) mendefinisikan shadow banking adalah institusi keuangan yang menjalankan fungsi layaknya perbankan, seperti perusahaan sekuritas, private equity, dana pensiun, asuransi, lembaga pembiayaan, hingga lembaga keuangan mikro (LKM).
Semula, BI melihat pengetatan aturan shadow banking ini lebih mendesak buat negara-negara maju. Sebab, praktik itu di Indonesia masih bisa dalam kendali BI dan pemerintah.
Namun, sikap BI mulai berubah di ujung tahun lalu. Gubernur BI Darmin Nasution mengkhawatirkan dampak penetrasi shadow banking terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia. Khususnya, dia menyoroti pertumbuhan pesat kredit otomotif yang disalurkan perusahaan pembiayaan.
Saat kredit suatu sektor tumbuh terlalu cepat, bank sentral mencari tahu faktor penyebabnya. Terkait dengan kredit otomotif, BI melihat penyebabnya adalah uang muka kredit otomotif di multifinance yang lebih rendah dari kredit serupa di perbankan. Makanya, BI ingin rasio setoran uang muka dari nasabah untuk mendapat kredit otomotif bisa ditingkatkan.
Darmin menyebut pengetatan aturan shadow banking ini untuk mengurangi risiko sistemik terhadap sektor keuangan. “Syukur-syukur bisa menghindari risiko,” imbuhnya.
Masalahnya, paparan shadow banking di Indonesia kebanyakan di bawah pantauan Kementerian Keuangan, tepatnya Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Lalu, Kementerian Koperasi yang menjadi regulator koperasi. Satu lagi, ada juga institusi keuangan yang tidak memiliki regulator yang jelas.
Ke depan, kecuali koperasi, fungsi regulasi dan pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun nonbank berada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perpindahan fungsi ini terkait mulai berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sejak 21 November 2011.
Saat ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menyiapkan pembentukan OJK. Yang jelas, baru awal tahun depan OJK mulai menjadi regulator lembaga keuangan nonbank. Setahun kemudian, barulah OJK mengurusi perbankan nasional.
Harus hati-hati
Namun, sepertinya BI gemas bila wilayah abu-abu dan standardisasi antarlembaga keuangan yang berbeda ini terlalu lama dalam status quo. Sebagai amanat pertemuan G20 dan menunggu OJK efektif beroperasi, Darmin berharap ada pengaturan dan pengawasan lebih baik ihwal shadow banking.
Dia sudah merintis upaya ke sana, yakni melakukan pembicaraan dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Pak Menteri pun setuju karena aturan ini bisa melindungi masyarakat dari aneka macam risiko. “Proses pembahasan kebijakan bersama tentang shadow banking sedang digodok,” katanya.
Kepala Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menilai keseriusan BI memelototi shadow banking karena ada praktik lembaga keuangan bukan bank yang mengganggu mereka. Upaya ini wajar karena banyak perusahaan yang memanfaatkan loop hole dari transaksi keuangan yang tidak diawasi oleh bank sentral.
Dalam kacamata Purbaya, upaya bank sentral meminta multifinance meningkatkan syarat uang muka untuk kredit otomotif cukup masuk akal. Uang muka yang terlalu rendah bisa menimbulkan kredit macet dan ujungnya mengganggu kinerja perbankan. “Jangan sampai kasus subprime di AS terulang di sini,” katanya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mendukung rencana BI dan pemerintah membuat kebijakan bersama tentang shadow banking. Yang penting, ada regulasi yang tegas mengklasifikasikan suatu produk keuangan itu dalam kategori produk bank atau nonbank.
Klasifikasi yang tegas ini agar masyarakat tidak diliputi kebingungan. Dia memisalkan, masyarakat masih belum mengerti betul apakah produk asuransi yang dijual lewat bank itu tergolong produk bank atau bukan. “Kalau perlu sampai mengatur kejelasan manajemen pengelolaan suatu produk dan kerjasama antar lembaga keuangan,” tukas Harry.
Anggota Komisi XI DPR Kemal Azis Stamboel mengatakan supervisi shadow banking harus dilakukan dengan ketat. Dia melihat perlu ada lembaga yang mengatur, mengelola, dan mengantisipasi perkembangan pesat kredit multifinance, inovasi produk dari perusahaan sekuritas, dan LKM. “Adanya regulasi dan supervisi ini untuk mengurangi risiko krisis akibat kelemahan dan potensi kejahatan keuangan dari praktik shadow banking,” tandasnya.
Ke depan, Kemal yakin kehadiran OJK bisa menekan praktik shadow banking di Indonesia. Sambil menunggu kelahiran OJK, dia berpendapat, Kementerian Keuangan harus memaksimalkan peran Bapepam-LK dalam mengatur dan mengawasi praktik bank bayangan itu. Bapepam-LK harus memastikan pertumbuhan kredit di multifinance itu tetap sehat dan mencermati inovasi produk dari perusahaan sekuritas.
Dari sisi perbankan, Direktur Keuangan dan Perencanaan PT Bank Bukopin Tbk. Tri Joko Prihanto meminta regulator menyikapi shadow banking dengan hati-hati. Sebab, pengaturan yang terlalu ketat terhadap lembaga keuangan nonbank dapat mengganggu kinerja mitra perbankan, seperti koperasi atau LKM lainnya.
Dalam menjalankan fungsi intermediasi, bank tak bisa bekerja sendirian. Mitra perbankan, seperti koperasi simpan pinjam dan LKM, bertugas menjangkau debitur yang memiliki keunikan dan risiko yang sulit terbaca oleh bank.
Kerjasama ini dapat menurunkan biaya akun kredit, seperti jasa appraisal. Sebab, koperasi dan LKM telah mengenal calon debitur yang akan mendapat pembiayaan dari mereka. “Selama ini, mereka menjadi kepanjangan tangan perbankan,” papar Tri Joko.
Kerjasama dengan bank membuat lembaga pembiayaan, koperasi, dan LKM bisa mengatasi masalah kelangkaan modal. Selama ini, perkembangan bisnis mereka terhambat karena ketiadaan modal.
Fungsi perbankan dalam kerjasama ini tak cuma menyetor modal. Tri Joko menyebut, perbankan juga mendukung mereka dalam bentuk penyempurnaan dan modernisasi usaha melalui pemanfaatan jaringan teknologi dan sistem manajemen. “Kami tak hanya menyalurkan indirect loan kepada mereka,” imbuh dia.
Saat ini, porsi pinjaman tidak langsung (indirect loan) Bukopin mencapai 80% dari total kredit mikro. Hingga kini, pasar mikro dan UKM adalah potensi pasar yang masih luas dan belum tergarap sepenuhnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Edi Setiadi, Direktur Kredit, Bank Perkreditan Rakyat dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Bank Indonesia (BI). Menurut Edi, kredit kepada segmen mikro sebaiknya dijalankan oleh lembaga yang memang mengerti risiko dan kondisi bisnis tersebut, seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR), koperasi, serta LKM.
Bank dapat memanfaatkan jalur bisnis penerusan kredit (channeling) kepada mitra yang mereka anggap berkompetensi. Dengan begitu, lanjut Edi, distribusi kue pasar perkreditan akan terbagi dengan adil kepada seluruh pelaku pasarnya. “Jadi akan terjadi sinergi yang baik antara pemain yang besar dengan mereka yang kecil,” terang Edi.
Sementara Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Wiwie Kurnia belum bisa berkomentar ihwal tudingan ke multifinance. “Saya belum tahu apa saja yang menjadi bahasan dalam aturan shadow banking,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News