Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Amerika Serikat (AS) dan China berniat menutup tahun ini dengan perbaikan hubungan dagang. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan bertemu setelah pertemuan G20 di Argentina pada 29 November 2018. Kedua pemimpin ini terakhir bertemu pada akhir 2017.
Pasar keuangan berharap, pertemuan kedua negara ini akan membawa penyelesaian atas perang dagang. Sebelumnya, Trump mengungkapkan akan menerapkan tarif impor atas seluruh barang yang berasal dari China jika pertemuan ini tidak membuahkan hasil.
Hingga saat ini, kedua negara telah menerapkan tarif impor untuk total US$ 360 miliar barang. AS menerapkan tarif impor untuk US$ 250 miliar produk dari China dan sebaliknya China membalas US$ 110 miliar produk AS.
Dalam riset dan analisis Creative Disruption, Asia's Winners in The US-China Trade War, The Economist Intelligence Unit (EIU) menyebut, ada negara-negara Asia yang akan diuntungkan dan dirugikan pada perang dagang kedua raksasa ekonomi ini.
Riset ini menghitung negara yang bisa diuntungkan oleh pergeseran rantai pasok akibat perang dagang di tiga sektor penting, yakni sektor produk teknologi informasi dan komunikasi (ICT), otomotif dan suku cadang otomotif, serta sektor pakaian siap jadi atau readymade garments (RMG). Lalu, dimanakah posisi Indonesia?
Indonesia tidak menerima keuntungan besar dari perang dagang di ketiga sektor ini. Bahkan untuk sektor pakaian jadi, Indonesia bisa terkena tekanan.
Pakaian jadi
Beberapa tahun belakangan, produksi pakaian siap pakai telah menyebar di Asia, tak cuma China. Vietnam, Bangladesh, India dan Indonesia merupakan negara-negara yang terkenal sebagai produsen pakaian siap jadi.
Tapi, China masih mendominasi sektor ini. Ekspor tekstil dan pakaian China mencapai US$ 275 miliar tahun lalu. Dari total produksi ini, sebesar US$ 38,7 miliar diekspor ke AS. Data World Trade Organisation menunjukkan bahwa China mengontribusi 36,2% ekspor tekstil global dan 34,5% ekspor pakaian global.
Penerapan tarif impor pada China akan menciptakan peluang besar bagi produsen garmen lainnya. Menurut EIU, negara-negara yang akan diuntungkan oleh tarif impor China ini adalah Bangladesh, Vietnam, dan India.
Bangladesh memiliki industri pakaian siap jadi yang terbangun dengan baik. Negara ini pun merupakan eksportir pakaian siap jadi terbesar kedua setelah China. Pasar ekspor pakaian siap jadi Bangladesh adalah AS dan Uni Eropa.
Terlebih, ekspor RMG Bangladesh lebih tumbuh dengan biaya produksi murah karena rendahnya upah buruh. Beberapa merek ternama telah memiliki fasilitas produksi di Bangladesh antara lain H&M, GAP, Levi's dan Zara. Artinya, merek-merek ini akan lebih mudah memindahkan pesanan ke Bangladesh jika tarif impor China ke AS naik.
Produsen pakaian siap jadi terbesar ketiga dunia, yakni Vietnam akan menjadi negara yang diuntungkan selanjutnya. Apalagi, Vietnam memiliki kedekatan perdagangan kuat dengan AS. Tahun lalu, ekspor garmen Vietnam ke AS mencapai US$ 12,3 miliar atau hampir 50% dari total ekspor pakaian siap jadi Vietnam.
Meski berpotensi meraup untung, kedua negara ini akan perlu waktu untuk menambah kapasitas produksi. Alhasil, India menjadi satu-satunya negara yang bisa mencapai level output menggantikan China.
Meski sektor pakaian di Indonesia, Kamboja, dan Myanmar penting bagi ekonomi domestik, ketiganya sulit menancapkan ekspansi di pasar global dan malah bisa terganggu. "Di Indonesia, ini terutama karena teknologi yang kuno dan kurangnya investasi di sektor ini," ungkap EIA dalam laporan yang terbit Jumat (2/11). Efek perang dagang di dua sektor lain lebih baik bagi Indonesia meski bukan menjadi negara yang paling diuntungkan.
Benefit kuat | Benefit menengah | Disrupsi |
Bangladesh | Sri Lanka | Indonesia |
Vietnam | Pakistan | Kamboja |
India | Myanmar |
ICT
Sektor ini menjadi sorotan tajam AS terhadap China. Pasalnya, ICT menjadi kategori impor terbesar dari China ke AS. Impor komponen elektronik dan komponen terkait mencapai US$ 150 miliar dari total impor AS dari China tahun lalu yang mencapai US$ 526 miliar.
Menurut analisis EIU, Malaysia dan Vietnam akan menjadi dua negara paling diuntungkan pada sektor ini, terutama untuk produk manufaktur ICT low-end seperti komponen setengah jadi serta produk konsumen seperti ponsel dan laptop.
Produsen elektronik utama telah beroperasi di negara-negara ini. Dell, Sony, dan Panasonic memiliki pabrik di Malaysia. Sedangkan Samsung dan Intel membangun pabrik di Vietnam.
Keberadaan pabrik ini akan mempermudah perusahaan elektronik untuk menambah investasi atau ekspansi pabrik. Kedua negara memiliki infrastruktur jalan, kereta dan pelabuhan yang kuat serta memiliki kesepakatan perdagangan bebas seperti CPTPP dan ASEAN.
Indonesia, India, dan Thailand pun bisa mencuil keuntungan dari relokasi manufaktur ICT. Tapi, ketiga negara memiliki jaringan pasar yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan Malaysia dan Vietnam.
Dari ketiga negara, Thailand memiliki potensi terbesar. Ekspor elektronik Thailand mencapai sekitar US$ 35,6 miliar tahun lalu dan sebelumnya telah menggenjot sektor manufaktur. Sementara gangguan sektor ICT bisa terjadi di Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan untuk jangka pendek. Pasalnya, sebagian negara ini memproduksi banyak produk ICT setengah jadi untuk diekspor ke China.
Benefit kuat | Benefit menengah | Disrupsi |
Malaysia | India | Filipina |
Vietnam | Indonesia | Jepang |
Thailand | Singapura | |
Korea Selatan | ||
Taiwan |
Otomotif
Tekanan pada sektor ini akibat perang dagang akan terbatas. Rantai pasokan otomotif China merupakan produksi dalam negeri dan hampir seluruh produksi mobil pun dipasarkan di dalam negeri.
Ekspor mobil China hanya sebesar 0,3% dari total ekspor China tahun lalu. Nilainya mencapai US$ 7,2 miliar. Sementara efek perang dagang pada ekspor suku cadang akan lebih besar. Ekspor komponen otomotif mencapai US$ 31 miliar tahun lalu atau sebesar 1,4% dari total ekspor.
Porsi ekspor komponen otomotif China di pasar global mencapai 8% dengan AS sebagai pasar terbesar. Penerapan tarif China atas impor mobil dari AS akan menekan para produsen mobil yang merakit mobil di AS seperti BMW dan Mercedes-Benz. Sementara produsen mobil AS yang menyasar China seperti GM dan Ford telah membangun pabrik joint venture.
Dua negara yang akan diuntungkan oleh gangguan perdagangan ini adalah Thailand dan Malaysia. Thailand merupakan pusat manufaktur suku cadang dan otomotif penting di Asia.
Thailand mengekspor separuh produksi otomotif. Pasar ekspor Negeri Gajah Putih ini pun memiliki tujuah ekspor yang terdiversifikasi, seperti AS, Jepang, dan negara-negara ASEAN. Dengan catatan ini, Thailand bisa menangkap pasar yang ditinggalkan China di AS. Sedangkan Malaysia memiliki lebih dari 800 manufaktur komponen otomotif dan jaringan komponen yang terdiversifikasi.
India, Indonesia, Filipina, dan Vietnam akan mencicipi dampak yang lebih moderat. Saat ini, India memproduksi beberapa merek mobil, termasuk Marques. Tapi, ekspor mobil India saat ini masih mini. Sulitnya akuisisi lahan dan tantangan bisnis lain akan menghambat peluang India untuk menggeser pasokan komponen China.
Indonesia merupakan pasar mobil penumpang terbesar di ASEAN. Indonesia memiliki pasar ekspor komponen otomotif. "Tapi, infrastruktur dan kondisi bisnis secara umum akan menjadi hambatan investasi asing. Begitu pula kondisi di Filipina," ungkap EIU.
Produsen sektor otomotif Asia menghadapi kekhawatiran lebih besar daripada perang dagang AS-China, yakni tarif impor baja dan aluminium AS yang telah naik awal 2018 dan laporan Departemen Perdagangan AS Section 232 yang mengancam penerapan tarif untuk seluruh ekspor kendaraan dan suku cadangan ke AS karena kekhawatiran keamanan nasional.
Benefit kuat | Benefit menengah | Disrupsi |
Thailand | India | Jepang |
Malaysia | Indonesia | Korea Selatan |
Filipina | Taiwan | |
Vietnam | Singapura |
EIU menggarisbawahi, dampak perang dagang ini mungkin akan tampak pada dua hingga tiga tahun ke depan. Perusahaan-perusahaan multinasional perlu waktu untuk menyusun strategi global dan regional. Alhasil, efek negatif dan gangguan perang dagang akan lebih tampak pada jangka pendek dan keuntungan bagi kawasan Asian baru akan terlihat setelah tahun 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News