Reporter: Asnil Bambani Amri, Francisca Bertha Vistika | Editor: Mesti Sinaga
Agar Tak Terkapar saat Rupiah Menggelepar
Hendri menatap resah gawai di tangannya. Jari-jemari tangannya bagaikan tetikus yang bergeser ke kiri dan ke kanan, seakan memiliki mata sendiri untuk menentukan arah.
Pedagang toko emas di salah satu pasar tradisional itu belakangan rajin memantau pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Bagi Hendri, pergeseran kurs rupiah, sangat berdampak terhadap harga emas yang akan dia jual. Jika rupiah melemah, maka harga emas akan ikut naik. “Informasi nilai tukar rupiah itu sangat penting karena berkaitan dengan harga emas juga,” ujarnya.
Tak hanya pedagang seperti Hendri, ada banyak pengusaha berbagai lini belakangan ini juga rutin memantau pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Apalagi, dalam dua bulan terakhir, pergerakan rupiah seakan tak bertenaga di hadapan dollar AS. Pergerakan kurs rupiah memang sangat berdampak terhadap operasional banyak pelaku usaha.
Merujuk kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Kamis (5/7) nilai tukar rupiah bertengger di Rp 14.387 per dollar AS. Beberapa hari sebelumnya, dollar AS sempat menembus Rp 14.400. Sebagai perbandingan, awal tahun 2018 rupiah masih ada di kisaran Rp 13.500 per dollar AS.
Amelia Tjandra, Direktur Marketing PT Astra Daihatsu Motor (ADM), mengatakan, pergerakan dollar AS sangat berperan dalam pembentukan harga mobil yang dijualnya di Indonesia. Maklum, banyak komponen mobil Daihatsu masih impor. “Sampai Juli ini, kami belum menaikkan harga jual,” kata Amelia.
Saat ditanya kapan Daihatsu menaikkan harga jual, Amelia bilang, akan menghitung kondisi pergerakan rupiah selama Juli 2018. Hasil kajian tersebut nantinya akan menjadi acuan bagi produsen otomotif terbesar kedua di Indonesia ini untuk menentukan harga jual mobilnya. “Agustus kami akan kaji harga,” kata Amelia.
Harga akan naik
Di saat rupiah anjlok dan harga bahan baku impor terkerek, maka menaikkan harga jual menjadi pilihan bagi sejumlah industri.
Betul, ada cara lain yang bisa ditempuh pengusaha untuk meredam dampak buruk terpuruknya kurs rupiah (Baca: Beragam Jurus Menahan Jatuhnya Rupiah). Namun, tak semua perusahaan bisa mengambil pilihan-pilihan tersebut.
Menurut kata Adhi S Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), beberapa perusahaan, terutama perusahaan makanan skala besar, bisa saja melakukan pengurangan margin, agar pelanggannya tidak hengkang.
Namun, usaha mengurangi margin tidaklah sehat bagi keberlangsungan bisnis perusahaan. Maka, pilihan menaikkan harga jual produk sulit terelakkan ketika harga bahan baku, terutama bahan baku impor naik tinggi.
“Perkiraan kami, kenaikan harga makanan bisa 3%-6%. Persentase ini juga cukup berat pengaruhnya bagi industri makanan dan minuman,” kata Adhi.
Adapun industri makanan dan minuman yang paling rentan menaikkan harga jual adalah industri makanan yang memakai bahan baku impor, seperti terigu, gula dan susu.
Soal besaran kenaikan harga, lagi-lagi tergantung besar kecil usahanya. “Industri besar bisa menunda kenaikan harga karena punya stok bahan baku, tapi itu tentu tak lama,” kata Adhi.
Efek kenaikan harga makanan dan minuman tidak akan langsung dirasakan konsumen. Sebab, sebelum menaikkan harga jual, pelaku industri biasanya memberikan kesempatan bagi distributor atau agen membeli produk dengan harga lama. “Kenaikan harga baru akan terasa sampai ke pasar dua bulan setelah kenaikan,” ujarnya.
Kenaikan harga produk makanan dan minuman tak hanya karena kenaikan harga bahan baku impor, tapi juga karena kenaikan biaya produksi akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi serta kenaikan harga kemasan.
Industri manufaktur lainnya, seperti industru tekstil juga berpotensi menaikkan harga jual. Sebab bahan bakunya, seperti fiber sintetis memakai patokan harga dalam dollar AS.
Ditambah lagi, pada saat bersamaan harga minyak bumi juga meningkat. Alhasil, seperti dikatakan Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), fiber sintetis berasal dari minyak dunia.
Alhasil, harganya mengekor harga minyak bumi. “Saat harga bahan baku tekstil naik, maka biaya produksi juga ikutan naik,” terang Redma.
Dengan kenaikan biaya produksi, pilihan yang dilakukan industri tekstil adalah mengurangi produksi. Apalagi kondisi pasar saat ini masih sepi karena pasca Lebaran.
Kondisinya semakin rumit saat impor bahan baku tekstil melenggang masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah. “Penjualan bahan baku tekstil kami bulan Juni sudah turun 10%,” ujar Redma.
Revisi proyek pemerintah
Selain membuat susah pelaku industri manufaktur, terpuruknya kurs rupiah, juga membuat pusing pelaku bisnis jasa kontraktor dan perdagangan.
Betapa tidak, semula nilai proyek dipatok saat dollar AS bertengger Rp 13.300 per dollar AS. Kini nilai proyek itu membengkak karena rupiah melemah sampai Rp 14.400 per dollar AS.
“Yang paling pusing, kontraktor yang mengerjakan proyek besar dan menggunakan material yang riskan gejolak pelemahan rupiah,” ujar Errika Ferdinata, Wakil Sekretaris Jenderal II Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (Gapensi).
Ada banyak pengeluaran kontraktor yang terpengaruh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Mulai dari pemakaian material konstruksi yang masih impor, seperti rangka baja, pipa baja, sampai dengan sewa alat berat yang dipatok dengan tarif dalam mata uang dollar AS.
Dengan kondisi pelemahan rupiah kini sudah mencapai 10%, Errika menilai wajar jika ada kontraktor yang mengajukan revisi kontrak proyeknya.
Meski demikian, Errika menyadari tak semua proyek bisa merevisi kontrak di belakang, apalagi kontrak-kontrak jangka pendek. “Untuk proyek-proyek skala besar dan panjang mungkin bisa direvisi nilai kontraknya, tapi itupun tergantung dari kontraknya,” jelas Errika.
Fajar Budiono, Sekretaris Jenderal Indonesian Olefin & Plastic Industry Association (Inaplas), mengatakan, sejak bulan Juni lalu banyak kontraktor telah mengajukan revisi nilai kontrak proyeknya. “Patokan dollar AS bertikai jauh dari patokan awal, jika proyek mereka lanjutkan, mereka bisa merugi,” ungkap Fajar.
Adapun kontraktor yang nantinya dominan mengajukan revisi kontrak adalah kontraktor yang menggarap proyek yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya proyek yang baru berjalan setelah bulan Juni 2018. “Untuk yang proyek sedang berjalan atau tinggal sedikit lagi, biasanya kontraktornya melakukan strategi efisiensi atau menanggung kerugiannya,” tambah Fajar.
Fajar menguraikan, kontraktor yang banyak mengajukan revisi kontrak nantinya adalah kontraktor yang menggarap proyek jangka panjang. Baik itu untuk proyek infrastruktur, energi, konstruksi, jalan, bendungan dan lainnya.
Kondisi yang sama juga akan terjadi untuk perusahaan yang ikut pengadaan barang kebutuhan pemerintah. Fajar bilang, perusahaan yang menang tender ketika dollar AS masih dibanderol Rp 13.300, tetapi saat penyerahan barangnya, posisi dolar sudah bertengger di posisi Rp 14.400.
Salah satu contoh, pengadaan aspal yang dipatok dengan rupiah, tetapi harga pembeliannya di pasar saat ini mengacu dollar AS. “Pilihannya adalah merugi atau melakukan negosiasi ulang,” tambah Fajar.
Untuk itu, Fajar mengimbau, agar semua pelaku bisnis me-review bisnisnya guna menghitung dampak dari loyonya rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa bulan terakhir ini. Anda sudah melakukannya?
◆ Beragam Jurus Menahan Jatuhnya Rupiah
Menaikkan harga jual jadi pilihan paling mudah untuk menutup lonjakan biaya akibat anjloknya kurs rupiah. Namun, di saat daya beli masyarakat dianggap lemah seperti sekarang, menaikkan harga jual sangat berisiko.
Penjualan bisa anjlok. Maka, sejatinya ada beragam cara yang bisa ditempuh para pengusaha agar bisnisnya bisa bertahan, syukur-syukur kinerjanya bisa tetap tumbuh.
Pertama, melakukan lindung nilai atau hedging, untuk menurunkan risiko terhadap perubahan nilai tukar mata uang. Cara ini telah dilakukan banyak pelaku industri, khususnya yang banyak bergantung pada bahan baku impor seperti industri farmasi.
Salah satunya seperti ditempuh PT Kalbe Farma Tbk. “Kami melakukan natural hedging dengan cara menempatkan dana dalam mata uang dollar AS sebagai cadangan devisa kami,” kata Vidjongtius, Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk.
Kedua, menambah pilihan produk yang biaya produksinya rendah sehingga margin bisa dipertahankan. Pilihan membuat produk baru ini juga dilakukan Kalbe Farma. Dengan produk baru, setidaknya perusahaan bisa mengatasi kesulitan penjualan produk lama yang harganya naik seiring lonjakan biaya bahan baku.
Ketiga, melakukan diversifikasi pemakaian bahan baku, dengan cara mengganti sumber bahan baku impor dan menggantinya dengan bahan baku dari dalam negeri. Namun, untuk substitusi bahan baku impor tersebut tentu membutuhkan riset dan investasi yang relatif besar.
Keempat, memperkecil ukuran produk. Hanya saja, pilihan memperkecil produk juga memiliki risiko, konsumen akan beralih ke produk lain. Pilihan selain itu, mengganti kemasan dengan bahan yang lebih murah.
“Ini pilihan yang bisa dilakukan pelaku industri agar tidak merugi,” kata Adhi S Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI). ◆
Berikutnya: Rupiah buntung, utang menggunung
Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 9 Juli-15 Juli 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Agar Tak Terkapar saat Rupiah Menggelepar"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News