Reporter: Barratut Taqiyyah, Riset Kontan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rupiah belum mampu bangkit pada transaksi akhir pekan ini (19/7). Mengutip data Bloomberg, pada pukul 09.19 WIB, rupiah di pasar spot melemah 0,1% menjadi 10.069 per dollar AS. Ini merupakan level terlemah sejak September 2009 lalu. Dengan demikian, sudah 11 hari lamanya rupiah mencatatkan pelemahan.
Meski demikian, posisi rupiah di pasar spot itu masih 3,5% lebih kuat ketimbang harga kontrak rupiah di pasar non deliverable forwards (NDF) yang saat ini diperdagangkan di posisi 10.418 per dollar AS.
Seperti yang diketahui, mata uang Garuda di pasar spot keok ke atas level 10.000 pada pekan ini dan sempat bertengger di posisi terlemahnya dalam empat tahun terakhir.
Analis pasar uang Bank Mandiri, Rully Arya Wisnubroto mengatakan, rupiah masih tertekan oleh kekhawatiran pasar terhadap data inflasi Juli yang bakal tinggi. Dari sisi global, rupiah juga ikut terseret pelemahan sejumlah mata uang regional karena kekhawatiran pasar terhadap kemungkinan bakal dipercepatnya pengurangan dan penghentian program stimulus moneter di AS.
Albertus Christian, analis Monex Investindo Futures menambahkan, kekhawatiran terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia serta rilis data ekonomi AS yang diprediksi positif, menjadi penyebab rupiah tertekan dan dollar AS perkasa.
Cadangan devisa tergerus ke bawah US$ 100 miliar
Selain itu, pelemahan rupiah disinyalir berkaitan dengan langkah Bank Indonesia (BI) yang akan melakukan depresiasi bertahap atas rupiah.
BI melalui Deputi Gubernur Perry Warjiyo pada 11 Juli lalu bilang bahwa pemerintah sudah menyuplai dollar ke pasar finansial dalam dua hingga tiga bulan belakangan dan membiarkan rupiah untuk melemah secara perlahan.
"Kami memprediksi, tekanan terhadap rupiah di pasar spot akan terus berlangsung. BI membiarkan pelemahan rupiah karena cadangan devisa yang menipis membuat mereka tidak nyaman. Sehingga, hal ini mengerek tingkat permintaan dollar AS," jelas Thio Chin Loo, senior currency analyst BNP Paribas SA di Singapura kepada Bloomberg.
Catatan saja, pada Juni, cadangan devisa asing Indonesia merosot US$ 7,1 miliar menjadi US$ 98,1 miliar. Ini merupakan penurunan terbesar sejak September 2011.
Pengamat menilai, ada beberapa hal yang dapat dilakukan BI untuk mengembalikan posisi cadangan devisa tersebut. Pasalnya, kondisi cadangan devisa yang sehat mestinya di atas US$ 100 miliar.
Direktur Investasi Manulife Financial, Alvin Pattisahusiwa melihat bahwa BI perlu memperhatikan hal-hal ini untuk meningkatkan cadangan devisa ke posisi normal. Pertama, yaitu Foreign Domestic Investment (FDI) yang masuk. Menurutnya, BI perlu mendorong capital inflow dari pasar modal.
"Bila di Indonesia tak ada capital outflow lagi, akan menutup peluang orang melakukan arbitrase dengan menaruh di rupiah atau dollar," ucap Alvin, di Sampoerna Strategic Square, Kamis, (18/7).
Cara yang dilakukan misalnya dengan menerbitkan global bonds. Alvin menyebut, BI sudah beberapa kali melakukan issuance global bonds dan hasilnya kerap terjadi oversubscribe. "Itu bisa menambah pundi-pundi cadangan devisa," ujarnya.
Kemudian, perdagangan ekspor dan impor pun bisa menjadi hal yang dapat meningkatkan cadangan devisa. Hanya saja, kondisi ekspor saat ini cenderung tidak bagus karena harga batu bara dan minyak sawit mentah yang sedang tidak menguntungkan.
Instrumen moneter baru
Nah, berkaitan dengan pelemahan rupiah, BI sudah menyiapkan serangkaian strategi. Selain menggunakan cadangan devisa, terhitung mulai hari Kamis (18/7), BI menambah satu lagi instrumen operasi moneternya, yakni lelang swap valuta asing (valas). Ini adalah lelang menyerap likuiditas valas perbankan. Maklum, likuiditas valas yang berlebih acap kali menjadi ajang para spekulan untuk memainkan rupiah.
Dalam transaksi ini, BI menawarkan pembelian valas di pasar spot sebanyak US$ 500 juta dengan tenor penjualan kembali satu bulan, tiga bulan dan enam bulan.
Penawaran ini langsung kebanjiran peminat atau oversubcribed hingga US$ 1,24 miliar. Ada 20 bank yang ikut lelang valas dengan mekanisme swap valas dengan patokan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) per Kamis (18/7) yakni Rp 10.056 per dollar Amerika Serikat.
Namun, di akhir lelang, BI memutuskan untuk menyerap valas US$ 600 juta. Perinciannya: tenor satu bulan US$ 330 juta dan sisanya enam bulan.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah menjelaskan, dalam transaksi ini, ada premi swap yang harus dibayar bank yakni Rp 43 per dollar untuk tenor satu bulan, dan Rp 330,8 per dollar untuk swap dengan tenor enam bulan.
Ilustrasinya begini: Bank A ikut lelang swap beli US$ 100 juta selama satu bulan. BI membeli dollar bank A senilai US$ 100 juta dengan kurs Rp 10.056 per dollar. Satu bulan ke depan, bank A akan membeli kembali valas itu dengan kurs yang sama dengan tambahan premi 43 poin. Dengan begitu, bank harus membeli US$ 100 juta dengan kurs Rp 10.099 per dollar AS.
Walhasil, jika rupiah menguat sebulan ke depan, bank akan rugi selisih kurs. Sebaliknya, jika rupiah melemah, bank akan untung.
Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, lelang ini adalah upaya operasi moneter BI dalam mengelola likuiditas valas dan rupiah. Lelang ini juga bisa menjadi instrumen lindung nilai (hedging) atas kebutuhan likuiditas valas bagi investor dari risiko nilai tukar rupiah.
BI meyakini bauran kebijakan yang ditempuhnya akan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, pengendalian inflasi, dan stabilitas sistem keuangan.
Namun, Ekonom Bank BCA David Sumual menilai, instrumen ini tak akan efektif menstabilkan rupiah. Otot kuat dan lemahnya rupiah tergantung suplai dan demand. Selama ekspor lemah dan investasi turun, rupiah akan tertekan. Kepala Ekonom BII Juniman memprediksi, dalam jangka pendek, rupiah masih akan melemah di Rp 10.000-Rp 10.200 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News