Reporter: Arif Ferdianto, Lydia Tesaloni, Nurtiandriyani Simamora, Selvi Mayasari, Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Istilah rojali dan rojana tengah menjadi viral dan ramai dibicarakan belakangan ini. Istilah tersebut merupakan akronim dimana Rojali artinya rombongan jarang beli dan rojana artinya rombongan hanya nanya.
Kedua istilah ini digunakan untuk mereka yang mengunjungi pusat perbelanjaan secara bermai-ramai akan tetapi jarang melakukan transaksi pembelian atau berbelanja.
Potret ini kerapkali ditemukan di pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar yang ramai pengunjung tapi sepi transaksi.
Baca Juga: Keyakinan Konsumen Turun Tajam, Cermin Daya Beli Melemah dan Susutnya Kelas Menengah
Sejumlah pihak menilai fenomena rojali dan rohana sebagai gambaran kondisi pelemahan daya beli masyarakat. Hal itu terlihat dari semakin tingginya angka pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
PHK Meningkat
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah pekerja yang terkena PHK periode Januari-Juni 2025 mencapai 42.385 orang. Jumlah tersebut meningkat 32% dibandingkan periode sama tahun 2024.
Sementara itu, melihat lebih jauh lagi, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat jumlah pekerja yang mengalami PHK periode Agustus 2025 hingga Februari 2025 mencapai 939.038 juta, atau hampir tembusbut satu juta pekerja.
KSPN menyebut data tersebut bersumber dari survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernal) Badan Pusat Statistis (BPS).
Tingginya angka PHK ini sudah pasti memukul daya beli masyarakat. Hal itulah yang memicu munculnya fenomena makan tabungan.
Baca Juga: Begini Strategi Pemilik Pusat Perbelanjaan Hadapi Tekanan Daya Beli di Tahun 2025
Fenomena ini terlihat dari tren perlambatan pertumbuhan simpanan masyarakat kelas menengah Bawah di perbankan. Kondisi ini diyakini menjadi salah satu penyebab turunnya daya beli masyarakat.
Mengutip hasil survei konsumen Bank Indonesia (BI), indeks tabungan kelompok menengah pada Februari 2025 mencapai 100,7. Tingkat tabungan kelompok ini merupakan yang terendah sejak Maret 2024. Pada Februari 2024 mencapai 100,5.
Sementara itu, berdasarkan hasil survei Mandiri Spending Indeks (MSI) menunjukkan belanja masyarakat periode libur sekolah pada 2025 tercatat tumbuh tapi melambat, atau terbatas bila dibandingkan periode libur sekolah tahun 2024.
Fenomena Makan Tabungan
Hal ini dinilai sejalan dengan kapasitas keuangan masyarakat yang semakin terbatas. Dengan kondisi tersebut diperkirakan perilaku "Mantap" alias makan tabungan tampak terlihat jelas di periode libur sekolah tahun ini.
Anehnya, selama libur sekolah sekolah 2025, terjadi perubahan prioritas belanja. Dimana prioritas belanja yang bersifat untuk hiburan seperti leisures atau bersifat hiburan, rekreasi atau hobi, termasuk makan di luar meningkat.
Sementara untuk belanja barang tahan lama dan hal penting justru turun.
Fenomena ini dilihat sebagai bentuk konsumsi yang tidak ideal. Menurut Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet, fenomena ini sebagai bentuk pemaksaan gaya hidup liburan meskipun ruang konsumsi atau daya beli rumah tangga tidak besar.
Baca Juga: Menilik Strategi Pemilik Mall Menghadapi Tekanan Daya Beli pada Tahun Ini
Ia melihat naiknya proporsi konsumsi leisure dan pengalaman sosial seperti makan bersama menunjukkan bahwa preferensi konsumsi tengah bergeser ke arah pemenuhan kebutuhan emosional atau reward-based spending, terutama pasca tekanan ekonomi yang mungkin masih dirasikan dari kuartal sebelumnya.
Menurut Yusuf, peningkatan konsumsi leisure sebagai efek musiman yang lazim tapi ketika hal itu dibiayai dengan menguras tabungan, itu menjadi sinyal peringatan bahwa pertumbuhan konsumsi tidak sepenuhnya ditopang pendapatan yang sehat.
Kondisi ini juga dapat dilihat bahwa saat ini masyarakat sedang menunda pembelian barang-barang besar karena ketidakpastian ekonomi atau bisa jadi struktur pendapatan rumah tangga saat ini tidak cukup kuat untuk menopang konsumsi jangka panjang.
Kenaikan Harga Lebih Tinggi dari Gaji
Fenomena rojali dan rohana ini juga tak terlepas dari kondisi masyarakat saat ini. Dimana sejumlah produk mengalami kenaikan harga yang lebih tinggi dari kenaikan upah.
Seperti diketahui, saat ini perusahaan juga sedang mengalami kesulitan di tengah ketidakpastian ekonomi. Kondisi ini berdampak pada upah pekerja yang banyak dipangkas.
Mengutip artikel Irvan Maulana, Direktur Centerof Economic and Social Innovation Studies (CESIS) yang terbit di Kontan, 24 Juli 2025 dengan judul: "Fenomena Rojali dan Kemiskinan Aspirasi", berdasarkan data BPS, inflasi tahunan bahan makanan mencapai 8,9% (yoy) per Mei 2025.
Sementara kenaikan upah minimum provinsi (UMP) di berbagai provinsi hanya berkisar 3%-5%. Hal ini dapat dilihat bahwa kendati secara nomimal pendapatan meningkat, secara rill masyarakat makin miskin.
Irvan juga mengutip laporan terbaru SMERU yang menyebutkan bahwa lebih dari 40% kelas menengah rentan telah kembali ke status pra-pandemi akibat tergerus biaya hidup, terutama di wilayah urban dengan harga sewa, transportasi dan pangan yang melonjak.
Baca Juga: PHK Massal Bikin Daya Beli Masyarakat Turun, Begini Saran Ekonom
Di tengah himpitan ekonomi, Irvan menilai bahwa masyarakat juga ingin tetap eksis dan menjadi bagian dari ruang publik.
Karena itu, nongkrong murah, numpang Wi-Fi dan lihat-lihat saja, yang kerap jadi bagian istilah Rojali dan Rohana menjadi bentuk partisipasi pasif dalam ekonomi yang menyingkirkan masyarakat dari belanja aktif.
Pemerintah Klaim Konsumsi Menguat
Menanggapi fenomena rojali dan rohana, pemerintah menepis terjadinya pelemahan daya beli masyarakat. Sebaliknya pemerintah mengklaim terjadinya pertumbuhan konsumsi di area positif.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan konsumsi masyarakat dalam tren menguat.
Berdasarkan data menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh solid sebesar 4,97% di kuartal II-2025, dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 54,25%.
Airlangga menambahkan bahwa konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tumbuh 7,82%, sementara konsumsi pemerintah terkontraksi -0,33% karena tahun lalu terjadi lonjak pengeluaran karena Pemilihan Umum.
Airlangga juga menyoroti dampak signifikan dari program bantuan sosial (bansos) terhadap pertumbuhan konsumsi. Pada kuartal II, berbagai program bansos seperti PKH tumbuh 6,74%, sembako tumbuh 36%, dan total bansos mencapai 25,12%.
Menurut Airlangga, kinerja sektor ritel justru mencerminkan kekuatan konsumsi riil masyarakat. Tiga perusahaan besar di sektor retail mencatat pertumbuhan pendapatan antara 4,99% hingga 12,87% pada semester I 2025.
Baca Juga: Ada Program Diskon Belanja Saat Daya Beli Turun, Mampukah Mendongkrak Konsumsi?
Ia juga menyebutkan bahwa core inflation (inflasi inti) tetap terkendali di level 2,32%, yang mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat masih terjaga meski dalam kondisi global yang tidak menentu.
"Ini menunjukkan bahwa terkait dengan isu Rohana dan Rojali ini isu yang ditiup-tiup jadi faktanya berbeda dan tentu ini yang harus kita lihat," kata Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (5/8).
Selain itu, Airlangga mencatat adanya pergeseran perilaku konsumsi ke belanja online, yang kini mulai dilacak oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Retail online dan marketplace mencatat pertumbuhan sebesar 7,55% di kuartal II, dengan segmen personal care dan kosmetik naik hampir 17%, dan produk rumah tangga serta kantor melonjak hingga 29,38%, setara dengan nilai transaksi Rp72,8 triliun.
"Konsumsi daripada masyarakat ini terlihat shifting belanjanya lari ke belanja online kita lihat transaksi retail online ini baru dirilis oleh BPS tahun kemarin tidak di track tapi tahun ini sudah mulai di track retail dan marketplace tumbuhnya kuartal ke-2 adalah 7,55%," ungkap Airlangga.
Baca Juga: Ekonom Perkirakan Konsumsi Rumah Tangga dan Daya Beli di Kuartal II-2025 Stagnan
Terjadinya shift belanja oflline ke online menjadi salah satu yang tumbuhnya tinggi, seperti personal care dan kosmetik yang tumbuh menekati 17%, kemudian produk rumah tangga dan kantor juga tumbuh 29,38% dengan transaksi mencapai Rp 72,8 triliun.
"Transaksinya juga meningkat pesat di mana di tahun 2018 transaksinya itu ada 280 juta di tahun lalu sudah 3,24 miliar transaksi," ungkapnya.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan pemerintah, fenomena rojali dan rohan tak sepenuhnya disebabkan pelemahan daya beli, tapi juga ditopang sejumlah faktor lainnya seperti perubahan sikap belanja masyarakat yang semakin beragam.
Selanjutnya: Ingat Jasa Para Veteran, Coba Twibbon Hari Veteran Nasional 2025
Menarik Dibaca: Promo Domino's Pizza Sweet 17 Agustus 2025, Pizza Large dan Medium Diskon 45%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News