Reporter: Wuwun Nafsiah, Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Suhu minyak terus memanas dalam kurun waktu sebulan ini. Bahkan, minyak bersiap untuk kenaikan bulanan terbesar dalam satu tahun menyusul penurunan produksi minyak Amerika Serikat (AS) ke level terendah sejak Oktober 2014.
Minyak berjangka naik sekitar 21 % dalam bulan April ini di New York, ditetapkan sebagai kenaikan bulanan ketiga dan kenaikan terbesar sejak April 2015.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni naik sebanyak 60 sen menjadi US$ 46,63 per barel di New York Mercantile Exchange dan berada di US$ 46,50 pada pukul 01:37 sore waktu London, Jumat (30/4).
Kontrak WTI naik 70 sen menjadi US$ 46,03 pada hari Kamis (28/4), penutupan tertinggi sejak 4 November.
Sedangkan, minyak Brent untuk pengiriman Juni naik sebanyak 36 sen, atau 0,8 %, ke US$ 48,50 per barel di ICE Futures Europe exchange yang berbasis di London. Kontrak Brent berakhir hari Jumat ini. Kontrak teraktif bulan Juli naik 34 sen menjadi US$ 48,11.
Analis PT SoeGee Futures, Nizar Hilmy mengatakan, harga minyak mencapai level tertinggi sejak November 2015 setelah The Fed mempertahankan suku bunga di level 0,5%. "Tidak ada isyarat kenaikan suku bunga dalam waktu dekat meski peluang masih terbuka," papar Nizar.
Sementara, Agus Chandra, Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, mengatakan, harga minyak terangkat oleh dua faktor, yakni data stok minyak AS menyusut dan pelemahan dollar AS.
Energy Information Administration (EIA) merilis, stok minyak AS pekan lalu bertambah 2 juta barel atau pertumbuhan terendah sejak Oktober 2014. Fokus pelaku pasar selanjutnya pada pertemuan produsen minyak yang tergabung dalam OPEC Juni nanti.
Terus merangkaknya harga minyak ke level di atas US$ 45 per barel semakin membenarkan prediksi bahwa minyak akan pulih dari kemerosotan terburuk. Namun, sebagian lainnya justru bernada sumbang yang meyakini pasar akan jatuh dalam perangkap yang sama seperti tahun lalu.
Dejavu
Mengutip dari Bloomberg, Commerzbank AG, BNP Paribas SA, dan UBS Group AS menyebutkan ada rasa déjà vu, kenaikan minyak sekitar 70% dari level terendah kurun waktu 12 tahun pada Januari menyerupai pemulihan minyak saat ini dengan tahun lalu.
BNP dan UBS pun memperingatkan harga minyak akan kembali tenggelam ke level US$ 30 per barel dalam beberapa pekan ke depan. “Ada pararel berbahaya untuk 2015,” kata Eugen Weinberg, kepala riset komoditas di Commerzbank.
Di 2015, minyak jenis Brent naik 45% terhitung dari Januari sampai Mei sehingga hampir sentuh level US$ 68. Dipicu penurunan cepat output minyak AS karena menyusutnya operasional rig.
Namun, reli minyak berbalik arah saat produksi minyak terus meningkat, memuncak sampai 9.610.000 barel per hari pada Juni 2015. Dan kembali, berkurangnya rig yang aktif melakukan pengeboran mengambil jalannya sehingga produksi minyak AS merosot ke 8,95 juta barel per hari pada 15 April lalu.
Helima Croft, head of commodity strategy at RBC Capital Markets LLC menyebut pemulihan saat ini memiliki kesejajaran sekali dengan "reli palsu" dari tahun lalu yang "menahan pemulihan" dengan mempertahankan produksi biaya tinggi.
OPEC dan AS
Sejak Juni 2014, harga minyak dunia terus merosot tajam. Banyak yang menyebutnya sebagai dampak dari perang pasar antara negara-negara Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dengan AS. OPEC yang dimotori Arab Saudi—melihat minyak serpih (shale oil) yang diproduksi perusahaan-perusahaan minyak AS telah menjadi ancaman bagi mereka.
Booming produksi shale oil AS menyebabkan pasokan minyak dunia melimpah. Akibatnya, harga komoditas ini di pasar turun sangat tajam, lalu menggerus pendapatan negara-negara yang selama ini mengandalkan pada minyak, termasuk negara anggota OPEC.
Di tengah penurunan harga minyak itu, Saudi mengajak negara-negara anggota OPEC untuk memerangi booming shale oil AS. Caranya, produksi minyak OPEC jangan dipangkas sehingga minyak banjir di pasar dan harga menjadi rendah. Tujuannya, agar produsen minyak AS hanya memperoleh keuntungan kecil dari harga minyak.
Sebenarnya, beberapa negara anggota OPEC seperti Venezuela, Iran, dan Aljazair mengusulkan pemangkasan produksi agar harga minyak kembali naik. Hanya saja, karena Saudi memiliki kekuatan yang sangat besar di OPEC, akhirnya usulan tiga negara tersebut kalah. Asal tahu saja, Saudi Aramco, yang 100% sahamnya dimiliki Pemerintah Saudi, setiap hari mampu memproduksi minyak sebanyak 12 juta barel per hari.
Saudi memang memiliki kekuatan besar dalam perang pasar minyak ini, karena biaya produksi minyaknya cukup rendah, yakni hanya US$ 10-US$ 17 per barel. Sedangkan biaya produksi shale oil AS mencapai US$ 70-US$ 77 barel per hari. Dengan harga minyak saat ini, Saudi masih memperoleh keuntungan, sebaliknya AS.
Kembali turun
Terbukti, minyak pun masih dibayangi volatile yang cukup tinggi. Minyak WTI untuk pengiriman Juni turun 46 sen, atau 1 %, ke US$ 45,57 per barel pukul 12:16 waktu New York Mercantile Exchange, Jumat (29/4). Kontrak tersebut menyentuh US$ 46,78 sebelumnya, tertinggi sejak 4 November
Sedangkan, minyak Brent untuk pengiriman Juni turun 42 sen, atau 0,9 %, ke US$ 47,72 per barel di ICE Futures Europe exchange yang berbasis di London. Kontrak berakhir Jumat. Kontrak teraktif bulan Juli turun 70 sen menjadi US$ 47,07.
Survei Bloomberg menunjukkan ada peningkatan produksi minyak Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada April ini. Produksi naik sekitar 484.000 barel menjadi 33,21 juta barel per hari di mana menyentuh angka produksi saham tahun 1989.
Sepertinya, minyak masih menuju kenaikan bulanan terbesar dalam satu tahun karena dollar tumbang dan turunnya produksi minyak AS. "Perkiraan produksi OPEC menekan pasar," kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC, sebuah hedge fund New York berfokus pada energi.
Iran bisa jadi menjadi bandul pemberat bagi minyak tahun 2016 ini. Menyusul pencabutan sanksi pada Januari lalu sebagai imbalan pembatasan nuklir. Produksi minyak Iran naik 300.000 barel per hari menjadi 3,5 juta barel per hari, merupakan level tertinggi sejak Desember 2011.
Dengan kata lain, tampaknya minyak akan susah kembali ke level tertingginya US$ 100 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News