Reporter: Dea Chadiza Syafina, Handoyo, Hendra Gunawan, Issa Almawadi, Nina Dwiantika | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Dahi bankir Bank Mandiri tengah mengerut. Suntikan modal yang sudah di depan mata, dan begitu diharapkan, harus kandas di meja politikus Senayan.
Kemarin, Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diusulkan oleh Kementerian BUMN untuk Bank Mandiri senilai Rp 5,6 triliun dinilai tidak layak oleh Komisi XI DPR.
"Dana buat apa? Buat akuisisi untuk menjadi perbankan terbesar. Kita yang penting buat manfaat banyak orang. Infrastruktur hanya 1% yang diperiksa. kita belum puas," kata Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad, usai rapat.
Argumen tersebut diungkapkannya setelah melihat hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menyatakan masih banyak perusahaan BUMN yang tidak layak mendapatkan dana dari PMN. Salah satunya Bank Mandiri.
Seperti diketahui, Kementerian BUMN berniat memberikan PMN kepada 40 perusahaan dengan total nilai sebesar Rp 72,9 triliun.
Bagi Bank Mandiri, dana tersebut rencananya akan digunakan untuk menambah modal agar masuk menjadi Qualified Asean Bank (QAB). Dengan menyandang “status” QAB, Bank Mandiri leluasa berekspansi ke negara-negara Asean mewakili Indonesia dalam pasar bebas Asean (Masyarakat Ekonomi Asean/MEA) di sektor perbankan.
Sekedar informasi, bila bank sudah berstatus QAB, maka bank tersebut mendapatkan akses penuh untuk membuka jaringan di negara ASEAN manapun tanpa memerlukan persetujuan otoritas setempat.
Selain penambahan modal melalui PMN, Bank Mandiri juga berharap adanya pengurangan dividen dari pemerintah yang juga akan dialokasikan sebagai modal.
"Dengan penambahan modal dan juga penurunan setoran dividen memungkinkan kami memiliki modal yang kurang lebih sebanding dengan bank regional lainnya. Dengan tambahan modal itu diharapkan modal Bank Mandiri akan lebih besar dan market cap juga lebih besar," ujar Pahala Mansyuri, CFO Bank Mandiri.
Bank Mandiri dipilih sebagai calon QAB lantaran, dari sisi aset, bank berlogo pita emas itu paling besar. Per akhir 2014, aset Mandiri mencapai Rp 855 triliun (unaudited). Sementara Bank Rakyat Indonesia (BRI) Rp 778,02 triliun, dan Bank Negara Indonesia (BNI) Rp 416,57 triliun.
Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, negara-negara ASEAN telah sepakat bahwa masing-masing negara akan mengusulkan bank yang akan dicalonkan sebagai Qualified ASEAN Bank (QAB). Hanya saja, untuk melenggang ke QAB dibutuhkan tambahan dana dari negara.
Untuk itu Bank Mandiri, kata Rini, masih perlu diperkuat permodalannya. Alasannya, bank pelat merah itu saat ini masih berada di peringkat 9 di antara bank-bank di ASEAN.
"Baik dari jumlah modal, prospek usaha maupun fokus usaha, Bank Mandiri merupakan bank nasional yang paling siap untuk menjadi calon QAB," tandas Rini.
Hitungan Bank Mandiri, dengan suntikan modal tersebut akan membuat modal bank ini di atas Rp 100 triliun dan rasio kecukupan modal lebih dari 17% atau sesuai dengan kriteria QAB yang minimal 17,5% di tahun 2019. Tambahan modal itu juga akan mengerek posisi Bank Mandiri naik peringkat ke urutan ketujuh bank bermodal terbesar di Asean.
Jika tak ada suntikan modal, maka rasio kecukupan modal Mandiri hanya sekitar 16,22% pada tahun 2019, atau di bawah syarat QAB.
Konsolidasi dan merger
Opsi lain untuk memperkuat Bank Mandiri yakni dikonsolidasikan dengan BNI. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan telah berencana menerbitkan Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI). Roadmap itu rencananya akan diterbitkan Juni atau Juli tahun ini. Di dalam beleid MPJKI ini, OJK akan mengkonsolidasikan industri perbankan.
"Intinya, konsolidasi perbankan penting untuk mewujudkan industri keuangan yang lebih kompetitif, lebih berdaya tahan dan berdaya saing menghadapi MEA," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad.
Poin penting lain di MPJKI, adalah pembentukan induk (holding) bank BUMN. "OJK ingin bank BUMN cepat berkonsolidasi karena MEA di depan mata," kata Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Nelson Tampubolon.
Pada tahap pertama, Bank Mandiri dan BNI harus dibentuk holding (perusahaan induk) terlebih dahulu dengan Bank Mandiri sebagai induknya. Setelah itu baru Bank Mandiri melakukan akuisisi terhadap BNI. Dengan begitu, modal bank hasil gabungan kedua bank tersebut menjadi lebih besar.
Hanya saja, Himpunan Bank-bank Umum Milik Negara (Himbara) meragukan efektivitas skema holding dalam proses konsolidasi bank-bank BUMN. Sebab bisa menimbulkan kerumitan baru.
Menurut Ketua Umum Himbara Gatot Murdiantoro Suwondo, pihaknya sampai kini belum mendapat penjelasan secara detail dari pemerintah maupun OJK mengenai skema baru dalam proses konsolidasi bank BUMN.
Ia mempertanyakan apakah jika dibentuk holding, lalu akan seperti apa komposisi kepemilikan saham lama di bank-bank BUMN.
"Di tengah situasi begini, justru malah dihadapkan dengan proses konsolidasi yang kompleks. Menurut saya lebih baik perbankan BUMN tetap seperti sekarang saja," pungkas pria yang juga menjabat sebagai Dirut BNI tersebut.
Hal senada diungkapkan Direktur Keuangan BNI Tbk Yap Tjay Soen. Menurutnya, merger antar bank BUMN lebih banyak risikonya ketimbang manfaat yang akan didapat. "Menuju bank yang besar memang baik, tapi bisa saja hasilnya berupa mimpi buruk. Karena kesannya kalau tidak merger tidak bisa mengalahkan bank asing," katanya.
Padahal menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil, kebijakan ini akan bagus kedepannya karena akan memperkuat perbankan milik pemerintah.
"Namun, kelihatannya banyak sekali yang merasa tidak nyaman (dengan rencana ini)," ujar Sofyan.
Yang pasti, penolakan pemberian PMN sampai saat ini belumlah final. DPR masih memiliki waktu hingga dua pekan ke depan untuk memutuskannya. Tinggal bagaimana para eksekutif ini melakukan lobi-lobi kepada politikus Senayan dalam memuluskan PMN tersebut. Kita tunggu saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News