kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.871.000   -20.000   -1,06%
  • USD/IDR 16.445   -75,00   -0,45%
  • IDX 7.107   66,36   0,94%
  • KOMPAS100 1.034   12,73   1,25%
  • LQ45 806   9,73   1,22%
  • ISSI 223   1,91   0,86%
  • IDX30 421   5,94   1,43%
  • IDXHIDIV20 502   10,81   2,20%
  • IDX80 116   1,41   1,23%
  • IDXV30 120   2,66   2,27%
  • IDXQ30 138   2,04   1,50%
FOKUS /

Plus minus kebijakan upah baru


Senin, 19 Oktober 2015 / 06:44 WIB
Plus minus kebijakan upah baru


Reporter: Agus Triyono, Hendra Gunawan, Muhammad Yazid | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Pekan lalu, pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi tahap empat. Salah satu isi kebijakan tersebut yakni soal formulasi baru upah buruh.

Dalam formula baru, sistem kenaikan upah disederhanakan, hanya menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan nasional.

Kebijakan pengupahan baru ini dituangkan dalam rancangan peraturan pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang akan segera ditandatangani oleh Presiden dalam waktu dekat.

Rencananya PP Pengupahan akan langsung diterapkan tahun 2015 dan penetapan upah minimum propinsi (UMP) tahun 2016 sudah akan menggunakan formula baru tersebut.

Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri menjelaskan, rumus menghitung upah minimum provinsi (UMP) yang berlaku bagi buruh dengan masa kerja 0 hingga 12 bulan:  upah tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara UMP tahun berjalan dengan penjumlahan inflasi dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

Hanif mencontohkan, dengan UMP DKI Jakarta saat ini Rp 2,7 juta, pada tahun depan UMP DKI Jakarta, akan menjadi di kisaran Rp 2,97 juta per bulan. Itu dengan asumsi inflasi tahun 2015 sebesar 5% dan pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5%, sehingga kenaikan upahnya 10%.

"Kalau UMP Jakarta tahun ini Rp 2,7 juta, upah tahun depan Rp 2,7 juta x (inflasi (5%) + pertumbuhan ekonomi (5%), ditambah upah tahun ini," kata Hanif.

Menurutnya, formula ini juga memberi pengusaha kepastian kenaikan upah buruh dengan besaran yang lebih terukur.

Dengan begitu, sistem formula seperti ini diklaim bakal menciptakan kepastian dalam pengupahan, sehingga iklim investasi akan membaik dan tercipta lebih banyak lapangan kerja baru bagi sekitar 7,4 juta pengangguran di Indonesia.

"Dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang tercipta maka para pekerja dan calon pekerja akan memiliki lebih banyak pilihan. Jika pilihan mereka lebih banyak, maka posisinya akan semakin kuat dan itu berarti kesejahteraannya akan lebih meningkat," katanya.

Formula baru ini berlaku secara nasional, kecuali untuk delapan provinsi yang memiliki UMP di bawah komponen hidup layak.  Delapan provinsi itu ialah Maluku Utara, Maluku, NTT, NTB, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Papua Barat. Pemerintah memberikan waktu empat tahun agar UMP di provinsi sesuai dengan KHL.

"Pengupahan dengan formula ini saling menguntungkan. Pekerja dapat kepastian upah akan naik setiap tahun, dan pengusaha mendapat kepastian besaran kenaikan upah setiap tahun sifatnya terukur, sehingga tidak mengganggu perencanaan keuangan perusahaan," terangnya.

Kebijakan ini juga bakal “menghilangkah” rapat tripartit yang berlangsung setiap tahun menjelang penetapan upah. Dimana rapat Tripartit yang mempertemukan unsur pemerintah, asosiasi pengusaha, dan serikat buruh biasanya diwarnai dengan maraknya demo.

Banyak yang menolak

Niat baik pemerintah, sepertinya tidak akan berjalan mulus. Pasalnya, sejumlah serikat pekerja menyatakan penolakannya terhadap formula baru tersebut. Pasalnya, upah yang diterima buruh tidak merata.

Untuk menolak pengesahan PP Pengupahan itu, rencanaya para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Komite Persiapan-Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KP-KPBI), Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) hingga Serikat Pekerja Nasional (SPN) akan menggelar aksi mogok nasional.

Mereka siap keluar dari kawasan industri untuk memblokade jalan tol, pelabuhan, bandara, dan semua kawasan industri, akhir Oktober ini.

Sekretaris Jenderal KSPI Muhammad Rusdi mengatakan, kenaikan upah hasil penjumlahan inflasi dengan pertumbuhan ekonomi relatif masih kecil dan bukan seperti yang diharapkan.

"Nantinya besaran upah minimum hanya berdasarkan upah minimum sebelumnya dikalikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang ada saat itu kenaikan tidak akan lebih dari 10% saja per tahun," ujarnya.

Bagi provinsi yang upah minimumnya sudah tinggi, seperti di DKI Jakarta misalnya, kenaikan 10% saja sudah terlalu kecil. Apalagi bagi provinsi yang upah minimumnya jauh dibawah DKI Jakarta, seperti di Jawa Tengah.

"Misalnya yang di luar Semarang hanya Rp 1,2 juta, kalau naik 10% berarti hanya Rp 120 ribu. Itu kecil sekali," kata dia.

Padahal, ditahun-tahun sebelumnya, persentase kenaikan di sejumlah daerah jauh diatas 10%. (Lihat tabel)

Provinsi UMP Kenaikan 2014-2015
Aceh Rp 1.900.000 8,57%
Sumatera Utara Rp 1.625.000 7,1%
Sumatera Barat Rp 1.615.000 8,39%
Riau Rp 1.878.000 10,47%
Kepulauan Riau Rp 1.954.000 17,36%
Jambi Rp 1.710.000 13,83%
Sumatera Selatan Rp 1.974.346 8,15%
Bangka Belitung Rp 2.100.000 28,05%
Bengkulu Rp 1.500.000 11,11%
Lampung Rp 1.581.000 13,01%
Banten Rp 1.900.000 8,57%
Bali Rp 1.621.172 5,09%
DKI Jakarta Rp 2.700.00 10,6%
Nusa Tenggara Barat Rp 1.330.000 9,92%
Nusa Tenggara Timur Rp 1.250.000 8,7%
Kalimantan Barat Rp 1.560.000 13,04%
Kalimantan Selatan Rp 1.870.000 15,43%
Kalimantan Tengah Rp 1.896.367 10%
Kalimantan Timur Rp 2.026.126 7,41%
Gorontalo Rp 1.600.000 20,57%
Sulawesi Utara Rp 2.150.000 13,16%
Sulawesi Tenggara Rp 1.652.000 18%
Sulawesi Tengah Rp 1.500.000 20%
Sulawesi Selatan Rp 2.000.000 11,11%
Sulawesi Barat Rp 1.655.500 18,25%
Maluku Rp 1.650.000 16,61%
Maluku Utara Rp 1.577.000 9,5%
Papua Rp 2.193.000 7,5%
Papua Barat Rp 2.015.000 7,75%

Hal senada diungkapkan oleh Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka. Bahkan rekan sejawat Jokowi di PDI Perjuangan ini terang-terangan menolak kebijakan upah baru itu.

Ia menganggap formula tersebut sebagai kebijakan upah murah. "Muatan PP Pengupahan ini untuk mewujudkan kebijakan upah murah yang akan berdampak merosotnya daya beli pekerja dan menyebabkan kemiskinan. Kebijakan pengupahan seharusnya meninggalkan rezim upah murah dan didorong untuk mewujudkan upah yang lebih adil dan layak untuk pekerja dan keluarganya," kata Rieke.

Ia menyoroti beberapa pasal di PP Pengupahan. Pertama, pasal 42 yang mengatur upah minimum diberlakukan untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. Dengan aturan itu, maka pekerja yang berkeluarga dengan masa kerja di bawah satu tahun bisa dikenakan upah minimum.

Padahal dalam aturan sebelumnya menyebutkan upah minimum hanya untuk pekerja dengan masa kerja nol tahun atau lajang sedangkan untuk pekerja yang sudah berkeluarga tidak diatur.

Lalu pasal 43 yang mengatur formula upah minimum tetapi tidak diatur secara jelas standarnya dan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri. Tanpa diatur secara baku formulanya akan rawan penafsiran.

Begitu juga di pasal 44, yang mengatur peninjauan dalam jangka waktu 5 tahun sekali terhadap komponen KHL adalah terlalu lama, mengakibatkan komponen KHL menjadi tidak realistis dan menjadikan besaran upah menjadi kecil.

Beberapa pasal lainnya seperti pasal 21 yang membolehkan pembayaran upah dengan mata uang asing. Menurutnya, pembayaran upah menggunakan mata uang selain rupiah bisa menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan. Sebab pekerja yang dibayar dengan mata uang rupiah nilainya akan lebih kecil daripada tenaga kerja asing.

Oleh karena itu ia mengusulkan kebijakan pengupahan nasional harus berbasiskan kebutuhan hidup riil untuk buruh lajang dan berkeluarga dengan rumusan formula KHL (riil) x PDRB (nilai tambah produksi barang dan jasa dalam satu kurun waktu tertentu pada wilayah tersebut) + inflasi + indeks risiko atau daya beli.

Timboel Siregar, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) mengatakan, pihaknya bakal menggugat PP tersebut ke Mahkamah Agung.

Sebab rumus penentuan UMP yang akan diatur dalam PP tersebut telah mengangkangi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Salah satunya adalah Pasal 89 Ayat 3 UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan atau bupati, walikota.

"Dengan penetapan formula yang dilakukan oleh pemerintah, tidak ada lagi mekanisme tersebut," kata Timboel.

Denda pengusaha

Tak hanya para pekerja yang menolak sistem pengupahan baru ini. Para pengusaha pun demikian. Hanya saja, yang dikeluhkan oleh pengusaha yakni soal ketentuan denda bagi perusahaan yang terlambat membayarkan upah kepada para pekerjanya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, adanya klausul pengenaan denda terhadap perusahaan yang telat membayar upah kepada pekerjanya dinilai berlebihan. "Itu akan menimbulkan ketegangan baru (antara pengusaha dengan buruh)," katanya.

Ketentuan denda tersebut tercantum dalam pasal 54 draf RPP tentang Pengupahan. Dimana disitu disebutkan pengusaha yang terlambat membayar upah akan dikenai denda dengan beberapa ketentuan.

Pertama, keterlambatan mulai dari hari ke empat sampai hari ke delapan terhitung tanggal seharusnya upah dibayar, dikenakan denda 5% untuk setiap hari keterlambatan dari upah yang seharusnya dibayarkan.

Kedua, sesudah hari ke delapan, denda keterlambatan pembayaran upah ditambah menjadi 6% untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan satu bulan tidak boleh melebihi 5% dari upah yang seharusnya dibayar.

Ketiga, bila upah masih belum dibayar setelah sebulan keterlambatan, maka denda yang dikenakan sebesar 6% ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah. Membebani pengusaha Selama ini, kata Hariyadi persoalan keterlambatan pembayaran gaji atau upah bisa diselesaikan di internal perusahaan.

Hariyadi bilang, adanya aturan tertulis tentu akan membebani pengusaha. Menurut Hariyadi, pada dasarnya pengusaha tentu tidak ingin membayarkan upah melebihi waktu yang telah ditentukan.

Bila terjadi keterlambatan, belum tentu karena kesengajaan alias bisa jadi dikarenakan berbagai faktor. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Thrive

[X]
×