kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Pertahanan rupiah jebol di level 10.000


Rabu, 12 Juni 2013 / 20:42 WIB
Pertahanan rupiah jebol di level 10.000
ILUSTRASI. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan Selasa (14/12) melemah 0,70 persen atau turun 47 poin di level 6.615 dibandingkan penutupan sebelumnya. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.


Reporter: Barratut Taqiyyah, Anna Suci Perwitasari, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Belakangan, pergerakan rupiah menjadi perbincangan hangat para pelaku pasar. Pasalnya, rupiah di pasar spot sempat mencatatkan pelemahan hingga di bawah Rp 10.000 pada awal pekan lalu.

Data Bloomberg menunjukkan, pada penutupan Senin (10/6), di pasar spot, transaksi rupiah berakhir di level Rp 10.087 per dollar AS. Pada hari yang sama, pelemahan rupiah mencapai Rp 10.174 per dollar AS. Ini merupakan pelemahan terbesar yang terjadi pada rupiah sejak 8 September 2009 lalu. Pada waktu itu, rupiah juga sempat ditutup pada level Rp 10.000.

Pelemahan rupiah di bawah level Rp 10.000 sebelumnya sudah tercermin pada transaksi di pasar non deliverable forward (NDF). Pada Senin (10/6) pagi, tepatnya pukul 09.55 WIB, kontrak rupiah NDF untuk pengantaran satu bulan ke depan melemah 1,4% menjadi 10.260 per dollar AS. Ini merupakan level terlemah sejak 3 September 2009. Pada hari yang sama, kontrak rupiah ini ditutup di level Rp 10.352 per dollar AS.

Grafik Pergerakan Rupiah (Year to Date)

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa rupiah tiba-tiba tak memiliki tenaga melawan dollar AS?

Khoon Goh, senior strategist Australia & New Zealand Banking Group Ltd di Singapura menilai, rupiah tak bertenaga akibat penarikan dana besar-besaran oleh investor asing.

Langkah investor asing tersebut dipicu oleh kecemasan akan minimnya ketersediaan dollar AS di pasar lokal. Data Kementrian Keuangan dan Bursa efek Indonesia menunjukkan, investor asing sudah menarik dana senilai US$ 812 juta dari pasar obligasi berdenominasi rupiah dan pasar saham di sepanjang Juni (per 7 Juni). Mereka berspekulasi, the Federal Reserve akan memangkas nilai program pembelian kembali obligasi yang nantinya akan berdampak pada aliran dana ke emerging markets, termasuk Indonesia.

Zulfirman Basyir, pengamat pasar uang Monex  Investindo Futures, memiliki penjelasan yang lebih komprehensif mengenai pelemahan rupiah. Dia berpendapat, pelemahan rupiah yang berlangsung beberapa hari terakhir dipicu oleh faktor eksternal dan internal.

Untuk faktor eksternal, "Sentimen negatif berawal dari dirilisnya data tenaga kerja AS yang positif. Hal ini memicu spekulasi bahwa the Federal Reserve akan mengurangi stimulus pada pertemuan 20 Juni mendatang," jelasnya kepada KONTAN. Dia menambahkan, jika stimulus dikurangi, otomatis posisi dollar akan perkasa.

Kedua adalah data ekonomi China yang negatif. Menurutnya, pelaku pasar cemas, data negatif ekonomi Negeri Panda akan terus berlanjut hingga kuartal III 2013. Apa hubungannya dengan rupiah? "China ini merupakan salah satu mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Jika ekonomi mereka melambat, hal ini dikhawatirkan akan membuat defisit neraca perdagangan Indonesia semakin membengkak," papar Zulfirman.

Sementara, dari segi internal, faktor yang memperlemah posisi rupiah adalah kecemasan mengenai kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Zulfirman menguraikan, kenaikan harga BBM dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat. Sebab, jika harga BBM naik, inflasi ikut terkerek yang akan menyebabkan konsumsi domestik tertekan.

Sentimen lainnya adalah Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan yang sudah berlangsung selama enam kuartal berturut-turut.

"Fundamental rupiah terlihat sangat lemah. Jika melihat besarnya defisit neraca perdagangan, Indonesia membutuhkan arus dana asing senilai US$ 1 miliar per bulannya untuk menahan laju pelemahan rupiah," jelas Khoon Goh, senior strategist Australia & New Zealand Banking Group Ltd di Singapura.   

Apa dampaknya?

Jika  rupiah terus bertahan di Rp 10.000 per US$, efek berikutnya adalah inflasi yang terbang lebih tinggi. "Rupiah yang anjlok terus menerus menyebabkan inflasi. Itu di luar efek kenaikan harga BBM bersubsidi," kata Fauzi Ichsan, ekonom Standard Chartered.

Dalam jangka pendek, Dodi Arifianto, ekonom Universitas Ma Chung, Malang, mengatakan, nilai tukar rupiah yang anjlok membuat impor melemah. Dampaknya, harga produk impor dan produk lokal yang menggunakan bahan baku impor akan naik, dan terjadilah imported inflation. Kenaikan itu akan membuat konsumsi masyarakat turun, sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Bagi pemerintah, depresiasi mata uang merah putih berpengaruh terhadap asumsi makro nilai tukar terhadap dollar AS. Selanjutnya, bak bola salju, efek atas asumsi nilai tukar rupiah menggelinding ke semua sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Belanja negara yang terpengaruh pelemahan rupiah antara lain belanja dalam mata uang asing, pembayaran bunga utang luar negeri, dan  subsidi BBM karena pemerintah masih mengimpor BBM dalam jumlah besar.

Alhasil, defisit anggaran yang di RAPBN-P 2013 dipatok sebesar Rp 233,7 triliun atau 2,45% dari produk domestik bruto (PDB). Jika nilai tukar rupiah rata-rata per tahun terdepresiasi Rp 100 saja dari angka asumsi makro Rp 9.600 per US$, defisit bakal membengkak  Rp 0,95 triliun sampai Rp 1,23 triliun.

Bagaimana meredam pelemahan rupiah?

Zulfirman dan Fauzi sepakat, Bank Indonesia (BI) harus segera melakukan sesuatu untuk menahan pelemahan rupiah.  Salah satu caranya yakni dengan menaikkan suku bunga acuan alias BI Rate. Zulfirman berpendapat, BI dapat menaikan suku bunga sebesar 50 basis poin secara bertahap di kuartal III dan kuartal IV.  Langkah ini diharapkan dapat menekan laju inflasi.

Sementara, Fauzi berpendapat agar BI rate dinaikkan sebesar 100 basis poin, sehingga rupiah akan kembali menarik bagi investor. Jika bank sentral tidak segera melakukan intervensi, kemungkinan rupiah akan terus terjun bebas ke level Rp 10.500 sampai Rp 11.000 per US$.

Selain itu, pemerintah juga mesti cepat menaikkan harga BBM bersubsidi untuk bisa kembali meyakinkan pasar. "Kita sudah menunggu terlalu lama," imbuh Fauzi.

Juniman, Kepala Ekonom BII, sepakat BI harus melakukan intervensi untuk membendung pelemahan rupiah. "BI harus mengorbankan cadangan devisa karena tidak mungkin membiarkan rupiah melemah," tegasnya.

Tapi, menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah, pelemahan rupiah di pasar spot dan NDF tidak mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya. Tidak seperti Jakarta Interbank Spot Dollar  Rate (JISDOR) yang berasal dari transaksi yang terjadi.

Rupiah keok melawan dollar AS, Difi bilang, karena ada spekulan yang sengaja menggiring pelemahan rupiah. Untuk itu, BI akan tetap menjaga pergerakan rupiah di pasar spot. "Intervensinya tak selalu berhubungan dengan cadangan devisa," dalih dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×