kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%
FOKUS /

Performa rupiah di 2012 terburuk di Asia


Selasa, 01 Januari 2013 / 08:00 WIB
Performa rupiah di 2012 terburuk di Asia
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani


Reporter: Barratut Taqiyyah, Issa Almawadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pergerakan rupiah konsisten melemah dari awal tahun hingga akhir tahun 2012. Lihat saja, posisi rupiah pada 30 Desember 2011 berada di level 9.069. Pada transaksi Jumat (28/12) sore, posisi rupiah berada di level 9.679. Itu artinya, pelemahan rupiah di sepanjang 2012 sudah mencapai 6,7%.

Berdasarkan data Bloomberg, posisi terlemah rupiah terjadi pada 26 Desember 2012 lalu, yakni berada pada level 9.799. Sementara, posisi terkuat rupiah terjadi pada 25 Januari 2012, di mana mata uang Garuda bertengger di level 8.888.

Jika dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya, rupiah memang menjadi mata uang regional dengan performa terburuk pada tahun ini. Sebagai perbandingan, won Korea Selatan berhasil menguat 7,65% di 2012. Sementara, peso Filipina menguat 6,9%, dollar Singapura menguat 6%, dollar Taiwan menguat 4,2%, baht Thailand menguat 3,07%, dan ringgit Malaysia menguat 3,48% pada periode yang sama.

Menilai kondisi itu, para pengamat berpendapat, rendahnya konsumsi barang-barang domestik yang ditandai dengan meningkatnya kebutuhan impor digadang-gadang menjadi salah satu penyebab pelemahan rupiah. Di sisi lain, tingginya permintaan terhadap dollar AS juga menyebabkan pasokan mata uang Negeri Adi Daya itu menurun.

Salah satu pengamat pasar uang dari Bank Himpunan Saudara, Rully Nova membenarkan hal itu. Rully melihat, sepanjang tahun ini, rupiah tidak mendapat sokongan sentimen positif dari dalam negeri. Padahal, Bank Indonesia (BI) terus mempertahankan tingkat suku bunga acuan (BI Rate).

Meski neraca perdagangan sempat surplus pada awal kuartal II, namun hal itu tidak cukup membantu pergerakan rupiah. Apalagi, setelah neraca perdagangan mengalami defisit sehingga berdampak pada penurunan laju ekspor. Ujung-ujungnya, rupiah sulit menguat.

Minimnya sentimen positif dari dalam negeri diperparah dengan kondisi eksternal terutama pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa. "Pada akhirnya, sentimen negatif dari eksternal yang paling berpengaruh," kata Rully saat dihubungi KONTAN, Kamis (27/12).

Menurut Rully, isu jurang fiskal (fiscal cliff) yang paling terasa mulai kuartal III tahun ini. Ditambah lagi dengan penyelesaian utang Eropa yang masih jauh dari perkiraan.

Membandingkan dengan pergerakan rupiah sepanjang tahun lalu, Rully bahkan menjelaskan bahwa nilai tukar mata uang garuda di tahun ini menjadi yang terburuk setelah India. Hal tersebut berbanding terbalik dengan mata uang negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Dia menilai, negara-negara tetangga Indonesia itu cukup baik dalam memanfaatkan momentum perlambatan ekonomi di AS dan Eropa. "Mereka (Singapura dan Malaysia) bisa meningkatkan belanja domestik, tidak seperti kita yang sudah ketergantungan impor," ungkap dia.

Dengan kondisi-kondisi itu, Rully menyarankan pemerintah agar mengajak industri untuk lebih berperan lagi dalam meningkatkan konsumsi domestik. Dengan begitu, dia memastikan ke depannya rupiah bisa kembali menguat walaupun isu eksternal masih akan membayangi. "Nanti juga akan ada topangan dari pertumbuhan ekonomi Jepang dan permintaan yang meningkat dari China," tambah Rully.

Tekanan defisit mulai mereda

Pendapat yang sama juga diutarakan pengamat pasar uang, David Sumual. David juga setuju bahwa defisit neraca perdagangan berpengaruh paling besar dalam pelemahan rupiah yang mulai terjadi sejak pertengahan tahun ini. Sepakat dengan Rully, David juga menjelaskan bagaimana faktor tersebut laju ekspor Indonesia melambat.

Namun, dia menilai, kondisi tersebut mulai membaik menjelang kuartal IV dimana laju impor secara perlahan mulai turun. Hasil survei Bloomberg menunjukkan, defisit neraca perdagangan Indonesia pada November lalu akan sebesar US$ 342 juta. Angka ini akan jauh lebih rendah dari defisit bulan Oktober yang nilainya mencapai US$ 1,5 miliar. Data mengenai defisit anggaran akan dirilis pada 2 Januari mendatang.

Sebelumnya, Gubernur BI Darmin Nasution sempat menjelaskan, saat defisit neraca perdagangan mengalami penurunan, maka tekanan terhadap rupiah juga kian melemah.

"Oleh karena itu tidak ada intervensi dari BI terhadap pelemahan rupiah. Bisa dikatakan, hal tersebut juga merupakan bantuan bagi neraca perdagangan berjalan Indonesia," tutur David.

David sedikit bersyukur bahwa nilai tukar rupiah tidak sekuat tahun lalu. Di 2011, rupiah bahkan sempat menguat hingga Rp 8.400 per dollar AS. Menurut David, penguatan rupiah tahun lalu cukup mengganggu daya saing ekspor dengan negara pesaing seperti Thailand, Singapura dan Malaysia. Walaupun dia tidak menjelaskan level ideal rupiah, namun pelemahan di tahun ini sudah mendekati nilai fundamental.

David tidak setuju jika pelemahan mata uang Indonesia seburuk pelemahan yang terjadi di India. Karena, mata uang rupee sudah melemah hingga 20%, sedangkan rupiah masih di kisaran 7%. Tapi dia menyadari bahwa nilai tukar mata uang Indonesia masih lemah dibandingkan negara-negara tetangga. "Apalagi dengan melihat kebijakan intervensi regulator di Thailand," ungkap David.

Ke depannya, David berharap rupiah bisa kembali mengalami penguatan. Terlebih, dengan adanya kepastian penyelesaian fiscal cliff sehingga para pelaku pasar mulai kembali berani masuk ke emerging market seperti Indonesia. Walaupun begitu, dia menyadari masih adanya isu-isu yang bisa melemahkan rupiah. Salah satunya adalah isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×