kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Pengusaha Hiburan Terjerat Pajak


Senin, 22 Januari 2024 / 21:04 WIB
Pengusaha Hiburan Terjerat Pajak
ILUSTRASI. Pajak hiburan menjadi polemik lantaran banyak pelaku usaha yang merasa diberatkan. REUTERS/Jonathan Bachman TPX IMAGES OF THE DAY


Reporter: Dendi Siswanto, Lailatul Anisah | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Awal tahun 2024 jadi masa yang suram bagi kalangan pengusaha hiburan. Seperti diketahui, pemerintah telah memberlakukan tarif pajak hiburan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKDP).

Beleid ini menjadi polemik lantaran banyak pelaku usaha yang merasa diberatkan. 

Sebagai informasi, UU HKPD telah menetapkan pengaturan atas Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dipungut oleh Kabupaten/Kota, khusus DKI Jakarta dipungut oleh Provinsi.

PBJT ini meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, jasa kesenian dan hiburan, dengan tarif paling tinggi 10%, di mana sebelumnya diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan tarif paling tinggi 35%. 

Sedangkan Khusus PBJT atas Jasa Hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan paling rendah 40% dan paling tinggi 75% (sebelumnya dengan UU 28/ 2009 paling tinggi hanya 75%, tanpa pembatasan minimum, sehingga bisa di bawah 40%).

Baca Juga: Tolak Tarif 40%-75%, Pengusaha Akan Tetap Gunakan Pajak Hiburan dengan Tarif Lama

Pajak Hiburan yang sebesar yang minimum 40% ini dibebankan kepada pelanggan, sedangkan terhadap pihak Penyelenggara Jasa Hiburan juga dikenakan PPh Badan sebesar 22%. Pemberlakuan pengenaan tarif PBJT yang baru paling lama 2 tahun sejak UU 1 Tahun 2022 mulai berlaku pada 5 Januari 2022 (5 Januari 2024) yang diatur oleh masing-masing Pemerintah Daerah.

Beberapa daerah telah menetapkan tarif PBJT diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa: (a) DKI Jakarta melalui Perda Nomor 1 Tahun 2024 menetapkan tarif sebesar 40% (sebelumnya 25%); (b) Kabupaten Badung melalui Perda Nomor 7 Tahun 2023 menetapkan tarif sebesar 40% (sebelumnya 15%).

Sebelum berlakunya UU HKPD, berdasarkan UU 28/ 2009 sudah ada beberapa daerah yang menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 75% (Aceh Besar, Banda Aceh, Binjai, Padang, Kota Bogor, Depok), sebesar 50% (Sawahlunto, Kab Bandung, Kab Bogor, Sukabumi, Surabaya), sebesar 40% (Surakarta, Yogyakarta, Klungkung, Mataram). 

Tentu saja, pengusaha hiburan pun protes dengan kenaikan pajak ini. Sebab, selama ini pajak yang telah mereka bayarkan sudah cukup besar Sehingga semakin menggerus keuntungan.

Ketua Bidang Pelatihan dan Pendidikan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Alexander Nayoan menilai tarif pajak hiburan sebesar 40%-75% akan menambah beban usaha. Pasalnya, selama ini pengusaha hiburan harus menyetorkan pajak yang cukup besar ke kantong negara.

Berdasarkan perhitungannya, pajak yang dibayarkan bisa mencapai 90% jika pengenaan pajak hiburan 40% tetap diberlakukan. Ini terdiri dari berbagai macam pajak, seperti pajak penghasilan (PPh) badan, PPh karyawan ditanggung perusahaan, pajak royalti, pajak natura hingga pajak lainnya.

"Kalau pasang lagu bayar pajak lagi. Jadi mereka (pengusaha hiburan) harus bayar pajak lagi untuk karyawan. Sekarang ada peraturan pajak lagi kalau karyawannya terima benefit makan, makanannya itu kena pajak lagi mulai sekarang. Itu ada yang menghitung, kalau 40% uang yang dibayar ke pajak itu sekitar 90%," ujar Alexander.

Sementara, pengacara yang juga pengusaha hiburan Hotman Paris Hutapea menilai, tarif pajak hiburan di Indonesia masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Hotman mengatakan, idealnya tarif pajak hiburan di Indonesia berkisar di angka 5% saja seperti yang diterapkan negara tetangga seperti Thailand guna menarik wisatawan.

"Pajak idealnya seperti di Bangkok, 5% ya. Karena itu dari total gross. Ibaratnya gini loh. Pajaknya itu kan biasanya dari keuntungan dipotong biaya. Itu prinsip pajak," ujar Hotman.

Sebetulnya, kata Hotman, tarif pajak hiburan untuk diskotek, karaoke, klub malam dan sejenisnya yang dipatok sebesar 25% masih terbilang besar jika dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, dirinya akan mengembangkan usahanya di luar negeri, dibandingkan di Indonesia.

"Sudah mulai. Kita sekarang sudah merencanakan lagi, pendapatan tahun ini kita fokuskan di Dubai. Makanya kita mau kabur. Kita sudah mau buka di twin tower dekat Malaysia. (Juga) seluruh penghasilan kita mau ke Dubai. Goodbye Indonesia," tegas Hotman.

Baca Juga: Tolak Kenaikan Pajak Hiburan, PHRI Bali: Melemahkan Perekonomian Bali

Pengusaha tak dilibatkan

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani menilai penetapan pajak hiburan dalam UU No 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKDP) ini mengabaikan konsultasi publik terhadap sektor yang terdampak. 

Hariyadi mengklaim sosialisasi atas regulasi terkait kenaikan pajak ini juga tidak dilakukan oleh Pemerintah kepada mereka. "Konsultasi publik terhadap sektor yang terkena Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) tersebut tidak pernah dilakukan," kata Hariyadi.

Alhasil, seluruh pelaku industri hiburan tidak ada yang menyepakati kenaikan pajak sebesar 40% karena dianggap mematikan usaha di sektor hiburan. 

Hariyadi juga menilai regulasi kenaikan pajak ini juga bertabrakan dengan 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa warga negara berhak atas pekerjaan yang layak, Pasal 28D ayat (1) bahwa setiap orang berhak mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil dan pasal 33 ayat (4) yang menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip kebersamaan. 

"Regulasi pajak ini justru terjadi diskriminasi. Padahal pajak itu diharapkan menstimulasi penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan ini tidak terjadi," kata Hariyadi. 

Untuk itu, pihaknya bakal mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk penolakan terhadap Undang-Undang Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Daerah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 

Untuk saat ini Asosiasi yang sudah mengajukan judicial review, di antaranya, asosiasi SPA, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) dan asosiasi lainnya.

"Kita mempercepat di akhir Januari pasti akan masuk. Kita pastikan di akhir Januari itu semua sudah teregister. Jadi kami mengejar secepatnya agar (surat pengajuan) itu masuk," ungkap Hariyadi. 

Insentif kepada pengusaha

Menteri Koordinatir Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menerima aspirasi asosiasi dan pelaku usaha di bidang Perhotelan dan Jasa Hiburan. Pemerintah akan memberikan insentif fiskal berupa pengurangan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) hiburan seperti yang tertuang dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

Tidak hanya itu, pemerintah juga akan menyiapkan insentif perpajakan berupa PPh Badan Ditanggung Pemerintah (DTP).

"Masukannya tadi sudah kita terima semua. Saya minta, solusinya tadi dengan SE Mendagri. Pada waktu di Istana, saya sampaikan bahwa akan ada SE, dan Kepala Daerah bisa mengacu kepada SE Mendagri," kata Airlangga.

Airlangga menyampaikan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 101 UU HKPD telah jelas diatur bahwa Kepala Daerah secara jabatan dapat memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pokok pajak daerah.

Hal ini telah ditegaskan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Surat Edaran Nomor 9 00.1.13.1/403/SJ tanggal 19 Januari 2024 kepada Gubernur Daerah DKI Jakarta dan Bupati/ Walikota.

Dengan demikian berdasarkan ketentuan yang ada, Kepala Daerah memiliki kewenangan yang diberikan UU HKPD untuk melakukan pengurangan tarif PBJT atas Jasa Hiburan yang tarifnya 40% sampai dengan 75%.

Dengan kewenangan tersebut, Kepala Daerah dapat mengurangi tarif PBJT hiburan sama dengan tarif sebelumnya. Pemberian insentif fiskal dengan pengurangan tarif PBJT hiburan tersebut cukup ditetapkan dengan Perkada.

Selanjutnya, Airlangga menyampaikan bahwa Kementerian Keuangan bersama kementerian/lembaga terkait tengah menyelesaikan kajian untuk memberikan dukungan insentif perpajakan untuk Sektor Pariwisata yang berupa PPh Badan DTP (Ditanggung Pemerintah).

Besaran insentif pajak PPh Badan DTP tersebut sebesar 10%, sehingga besaran tarif pajak PPh Badan akan turun menjadi 12% (dari tarif normal sebesar 22%).

Airlangga juga membantah jika penerapan pajak hiburan tertentu dengan tarif minimal 40% dan maksimal 75% dibatalkan dan kembali kepada aturan yang lama yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Baca Juga: Pengusaha Bar Sebut Kenaikan Pajak Hiburan Bisa Matikan Bisnis

Airlangga mengatakan, aturan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) tetap berjalan hingga saat ini. Hanya saja, dalam UU tersebut, terdapat keringanan berupa insentif fiskal yang bisa diajukan kepada pemerintah daerah (pemda).

"Sudah ada UU HKPD. UU HKPD yang berlaku. Tapi di situ ada Pasal 101, diberikan diskresi kepada kepala daerah untuk memberikan insentif. Dengan insentif untuk investasi dan mendorong pertumbuhan yang lain itu dimungkinkan pajak itu di bawah 70% atau di bawah 40%," ujar Airlangga.

Sebagai informasi, pada Pasal 101 UU HKPD telah memberikan ruang kebijakan untuk pemberian insentif fiskal guna mendukung kemudahan berinvestasi, berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.

Insentif fiskal ini dapat diberikan oleh kepala daerah dengan pertimbangan antara lain untuk mendukung dan melindungi usaha mikro dan ultra mikro, mendukung kebijakan pencapaian program prioritas daerah atau program prioritas nasional. Pemulihan industri pariwisata telah menjadi program prioritas nasional yang bersifat padat karya.

Pemberian insentif fiskal ini ditetapkan dengan peraturan kepala daerah (perkada), dengan memberitahukan kepada DPRD. Dengan ruang regulasi pada Pasal 101 UU HKPD, bupati/wali kota dapat menetapkan tarif yang lebih rendah dari 75% atau bahkan lebih rendah dari batas minimal 40%.

"Namanya insentif itu tergantung kepala daerah, namanya kan diskresi, bisa diberikan bisa tidak," imbuh Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×