Reporter: Dendi Siswanto, Siti Masitoh, Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia menaikkan perkiraan pertumbuhan global pada 2023 ini. Setelah Amerika Serikat (AS) dan negara ekonomi utama lainnya terbukti lebih tangguh dari perkiraan.
Dalam laporan prospek ekonomi global pada Selasa (6/6), Bank Dunia menyebutkan PDB global akan naik 2,1% tahun ini. Angka ini naik dari perkiraan pada Januari sebesar 1,7%, tetapi masih jauh di bawah tingkat pertumbuhan 2022 sebesar 3,1%.
Sementara itu, Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan global 2024 menjadi 2,4% dari perkiraan pada Januari sebesar 2,7%. Sebagai dampak berkelanjutan dari kebijakan moneter yang lebih ketat, terutama dalam mengurangi investasi bisnis dan residensial.
"Pertumbuhan selama sisa tahun 2023 akan melambat secara substansial karena terbebani oleh efek pengetatan moneter yang lambat dan berkelanjutan, dan kondisi kredit yang lebih ketat," katanya Bank Dunia dilansir dari laman Reuters.
"Faktor-faktor ini diperkirakan akan terus mempengaruhi aktivitas menuju tahun depan, meninggalkan pertumbuhan global di bawah proyeksi sebelumnya."
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan global pulih menjadi 3,0% pada tahun 2025.
Pada bulan Januari lalu, Bank Dunia telah memperingatkan bahwa PDB global melambat ke ambang resesi. Tetapi sejak itu, kekuatan pasar tenaga kerja dan konsumsi AS telah melampaui ekspektasi seperti halnya pemulihan ekonomi China dari penguncian COVID-19.
Pertumbuhan AS untuk tahun 2023 sekarang diperkirakan sebesar 1,1%, lebih dari dua kali lipat perkiraan 0,5% pada bulan Januari.
Baca Juga: Bank Dunia Kerek Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2023
Sementara pertumbuhan China diperkirakan akan naik menjadi 5,6%, dibandingkan dengan perkiraan 4,3% pada bulan Januari setelah pertumbuhan yang berkurang akibat COVID sebesar 3% pada tahun 2022 .
Bank Dunia, bagaimanapun, mengurangi separuh perkiraan pertumbuhan AS pada 2024 menjadi 0,8%, dan memangkas perkiraan China sebesar 0,4 poin persentase menjadi 4,6%.
Sedangkan, zona euro diperkirakan ekonomi tumbuh 0,4% untuk tahun 2023 dari prospek datar di bulan Januari, namun perkiraan untuk tahun depan juga sedikit terpangkas.
Guncangan Perbankan
Bank Dunia menyebutkan, guncangan sektor perbankan baru-baru ini juga berkontribusi terhadap kondisi keuangan yang lebih ketat, akan berlanjut hingga 2024.
Mengutip satu skenario penurunan potensial di mana tekanan perbankan mengakibatkan krisis kredit yang parah dan tekanan pasar keuangan yang lebih luas di negara maju.
Ini kemungkinan akan memangkas pertumbuhan 2024 hampir setengahnya menjadi hanya 1,3% - laju paling lambat dalam 30 tahun di luar resesi 2009 dan 2020.
"Dalam skenario lain di mana tekanan keuangan menyebar secara global ke tingkat yang jauh lebih besar, ekonomi dunia akan jatuh ke dalam resesi pada tahun 2024," tambah Bank Dunia.
Bank mengatakan, inflasi diperkirakan akan berangsur-angsur turun karena pertumbuhan melambat dan permintaan tenaga kerja di banyak negara melemah dan harga komoditas tetap stabil. Namun ditambahkan bahwa inflasi inti diperkirakan akan tetap di atas target bank sentral di banyak negara sepanjang tahun 2024.
Lesunya Aktivitas Manufaktur
Survei bisnis bulan Mei menunjukkan, penurunan aktivitas di seluruh Eropa akibat lesunya permintaan global. Kondisi ini tetap menjadi tantangan utama bagi banyak eksportir besar Asia.
Baca Juga: Sri Mulyani: Ketidakpastian Ekonomi, Politik, Keamanan Global yang Dihadapi Sekarang
Indeks manajer pembelian (PMI) untuk zona euro bergerak lebih jauh di bawah titik impas meskipun pabrik memangkas harga untuk pertama kalinya sejak September 2020. Di Inggris, output turun untuk bulan ketiga berturut-turut dan pesanan baru turun dengan laju tercepat dalam empat bulan.
Sementara PMI China dan Jepang menunjukkan ayunan dalam aktivitas pabrik ke pertumbuhan bulan lalu. Jepang dan China berbeda dengan indikator lemah dari Korea Selatan, Vietnam dan Taiwan, di mana penurunan berlanjut.
Disusun oleh S&P Global, PMI manufaktur untuk zona euro turun menjadi 44,8 dari 45,8 pada April. Di bawah angka 50 yang memisahkan pertumbuhan dari kontraksi selama 11 bulan berturut-turut.
"Lemahnya permintaan di sektor manufaktur, yang semakin terlihat jelas sejak awal tahun dalam data PMI yang menurun, kini telah menyebabkan perusahaan yang disurvei mengurangi produksinya selama dua bulan berturut-turut," kata Cyrus de la Rubia , kepala ekonom di Hamburg Commercial Bank dilansir dari Reuters.
"Penurunan pesanan baru dari dalam dan luar negeri menandakan bahwa pelemahan output kemungkinan akan bertahan selama beberapa bulan lagi."
Penurunan tersebut berbasis luas dengan penurunan aktivitas di empat ekonomi terbesar di Eropa - Jerman, Prancis, Italia, dan Spanyol.
Pabrik memangkas harga karena biaya produksi turun dengan laju tercepat sejak Februari 2016, rupanya gagal membendung penurunan permintaan.
Baca Juga: Harga Minyak Melemah, Kekhawatiran Ekonomi Membayangi Penurunan Produksi Arab Saudi
Asia Berbeda
Serangkaian data PMI Asia menunjukkan, pemulihan yang tidak merata dari pandemi, terutama di China dan mengaburkan prospek pertumbuhan di wilayah tersebut.
"Survei PMI menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi China masih berlangsung di bulan Mei, meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat. Dukungan fiskal yang berkurang membebani aktivitas konstruksi," kata Julian Evans-Pritchard, analis Capital Economics dikutip dari Reuters.
"Tetapi output manufaktur meningkat dan sektor jasa masih melihat keuntungan yang layak, menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB Q2 mungkin tidak seburuk yang ditakuti banyak orang."
PMI Manufaktur Global Caixin/S&P China naik menjadi 50,9 di bulan Mei dari 49,5 di bulan April. Angka tersebut melampaui ekspektasi 49,5 dalam jajak pendapat Reuters.
Tapi kepercayaan bisnis China untuk 12 bulan mendatang turun ke level terendah tujuh bulan di tengah kekhawatiran atas prospek ekonomi global, survei Caixin menunjukkan.
Di tempat lain di Asia, PMI Korea Selatan berdiri di 48,4 pada bulan Mei, merosot ke kontraksi terpanjang dalam 14 tahun, karena permintaan global yang melambat memukul produksi dan pesanan.
Vietnam, Malaysia dan Taiwan juga melihat aktivitas pabrik menyusut pada bulan Mei. Sementara Filipina berkembang.
Aktivitas pabrik India berkembang dengan laju tercepat sejak Oktober 2020, sebuah tanda kuatnya permintaan dan output yang mendukung ekonomi terbesar ketiga di Asia itu.
Baca Juga: OJK Tetap Optimistis Kredit Tumbuh Dua Digit
Bagaimana Indonesia?
Tercatat, PMI Manufaktur Indonesia pada Mei 2023 berada di level 50,3. Angka ini turun 2,4 poin jika dibandingkan pada bulan sebelumnya yang tercatat 52,7 pada April 2023.
Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence Jingyi Pan mengatakan, penurunan PMI Manufaktur Indonesia dikarenakan lesunya permintaan baru dari sisi domestik maupun luar negeri efek pelemahan ekonomi.
"Sangat penting untuk memonitor seberapa tangguh penurunan permintaan terkini karena hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan jangka pendek," ujar Jingyi Pan dalam keterangan resminya, Senin (5/6).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewanti-wanti atas turunnya PMI Manufaktur Indonesia pada periode laporan tersebut. Pasalnya, angka tersebut hampir mendekati level kontraktif.
"Harus kita lihat secara hati-hati adalah PMI baru saja keluar 50,3. Ini melemah dibandingkan bulan lalu yang di atas 52," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (5/6).
Meski PMI Manufaktur Indonesia mengalami penurunan, namun Sri Mulyani mengatakan bahwa indeks tersebut masih berada di zona ekspansif. Ini lebih baik jika dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam yang selama ini kuat namun dalam posisi kontraktif.
"Di satu sisi tetap optimistis, di sisi lain tetap harus hati-hati karena memang risikonya nyata," kata Menkeu.
Pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 khususnya di tingkat global ternyata tidak berjalan dengan mulus dan mudah. Hal ini karena komplikasi dari pemulihan ekonomi yang kemudian menimbulkan pilihan-pilihan kebijakan yang tidak mudah.
Menurut Sri Mulyani, ketidaksinkronan pemulihan dari sisi permintaan dan ketersediaan barang secara globlal tidak sinkron.
Baca Juga: Laju Kredit Melambat, Bankir Tetap Optimistis Target Pertumbuhan Kredit Tercapai
Pasalnya sejalan dengan ekonomi yang mulai pulih, permintaan masyarakat meningkat pesat karena sempat tertahan saat pandemi berlangsung, namun tidak seimbang dengan ketersediaan supply yang ada.
“Selain itu, munculnya geopolitik dan juga ancaman di kavling menimbulkan kompleksitas lingkungan ekonomi global. Bagi pembuat kebijakan pilihan-pilihan kebijakan di bidang fiskal moneter dan kebijakan ekonomi seperti perdagangan serta investasi menjadi semakin rumit,” tutur Sri Mulyani dalam agenda Green Economy Forum 2023: Realizing Sustainable Growth through Green Economy Commitment, Selasa (6/6).
Dia mengatakan, situasi yang tidak bersahabat tersebut kemudian membuat perekonomian dunia menjadi melemah. Sebab yang seharusnya pulih, justru mengalami perlemahan.
Pada 2023 ini, International Monetary Fund (IMF) menyebutkan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,8%, lebih rendah dari tahun lalu, yang pertumbuhan ekonominya belum pulih yaitu 3,4%.
Adapun untuk tahun depan, meskipun diperkirakan akan ada pemulihan lebih baik, namun ketidakpastian juga sama tingginya seperti tahun ini.
“Inilah yang sedang kita hadapi. Bagaimana menavigasi kondisi perekonomian global, politik global, keamanan global dan hubungan antar negara yang ternyata tidak mulus dan tidak sinkron,” jelasnya.
Permasalahan lain, masih ada juga krisis atau potensi shock yang juga bisa mempengaruhi seluruh dunia yaitu pandemi, perubahan iklim, dan juga digital teknologi.
Meski begitu, Sri Mulyani memastikan kondisi perekonomian Indonesia saat ini menunjukkan kinerja yang positif dan resiliensi. Hal ini terbukti dengan Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada lima kuartal berturut-turut.
“PMI manufaktur Kita juga dalam situasi ekspansi, meskipun kita juga melihat bulan Mei ini sudah sedikit menurun. Namun ini adalah situasi yang sangat langka karena sebagian besar negara-negara yang selama ini pertumbuhan ekonominya baik, mereka dihadapkan pada perlemahan pertumbuhan ekonomi, dan PMI-nya melemah,” tambahnya.
Dari sisi stabulitas, inflasi di Indonesia juga bisa ditekan atau menurun padahal sedang melaksanakan hari raya Idul Fitri, yang mana secara musiman biasanya permintaan sangat tinggi dan bisa menciptakan dorongan terhadap kenaikan harga.
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Anjlok ke Level 50,3. Ini Biang Keroknya
Kondisi nilai tukar rupiah juga cukup stabil. Rerata rupiah Indonesia pada tahun lalu terdepresiasinya sebesar 3,9%, dibandingkan negara-negara lain seperti Malaysia yang 6,2% depresiasinya atau India rupee yang turun 6,4%, Indoensia masih memiliki resiliensi dan daya tahan dari mata uang.
Kemudian, imbal hasil dari surat berharga negara juga masih relatif stabil, bahkan mengalami penurunan.
Padahal, AS sebagai negara terbesar dunia sudah menaikkan suku bunga dalam 12 bulan terakhir dengan lebih dari 500 basis poin. Dengan kondisi tersebut, surat berharga negara Indonesia justru mengalami yield (imbal hasil) yang cenderung rendah.
“Dengan kinerja perekonomian Indonesia yang membaik, inflasi rendah, nilai tukar yang relatif stabil dan tentu prospek ekonomi yang masih positif kita mampu untuk menarik capital inflow baik di pasar saham maupun di surat berharga dan dalam bentuk foreign direct investment. Ini adalah situasi yang tidak biasa bagi banyak negara di dunia,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News