kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45915,35   16,58   1.84%
  • EMAS1.325.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Pasca kudeta gagal, bagaimana nasib Turki?


Selasa, 19 Juli 2016 / 13:20 WIB
Pasca kudeta gagal, bagaimana nasib Turki?


Sumber: The Guardian,CNBC,Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

ISTANBUL. Di tengah upaya kudeta oleh segelintir anggota militer yang membangkang di Turki, kekuatan politik negara tersebut menjadi sorotan warga dunia.

Sejumlah analis politik menilai, kegagalan aksi kudeta akan memperkuat posisi presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dibandingkan para pesaingnya.

Secara garis besar, kegagalan aksi kudeta dipicu oleh sejumlah faktor. Sebut saja minimnya dukungan publik, kurangnya perencanaan aksi, dan ketidakjelasan dukungan dari petinggi militer.

Yang terpenting lagi adalah dukungan dunia internasional terhadap posisi Erdogan yang terpilih secara demokratis. Dukungan terhadap Erdogan tetap mengalir kendati banyak negara yang menilai sang presiden Turki itu memerintah secara otoriter.

Setelah aksi kudeta, bagaimana dampaknya terhadap Turki?

Erdogan akan lebih berkuasa?

Saat pendukung Erdogan di seluruh dunia mengecam aksi kudeta, para pemimpin dunia mengingatkan agar Erdogan tidak menyalahgunakan momen ini sebagai alasan untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Sebelumnya, Erdogan memang mendorong untuk dilakukannya reformasi konstitusional yang memberikan peran lebih besar kepada presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala eksekutif, untuk mempertahankan kekuasaannya.

Para menteri luar negeri Eropa dalam pertemuan Senin kemarin di Brussels menyatakan, Erdogan harus menghormati "penegakan hukum" dan mengimbau agar mengendalikan kekuasaannya.

Meski demikian, salah satu analis berpendapat, bersatunya seluruh partai politik menentang aksi kudeta berpotensi untuk menyetujui pembatasan polarisasi dalam kancah politik domestik di negara tersebut.

Doruk Ergun, peneliti dari EDAM research foundation yang berbasis di Istanbul, mengatakan meskipun Erdogan tidak memiliki track record yang cukup baik, fakta bahwa seluruh partai politik bersatu menentang kudeta berpotensi menciptakan pembatasan polarisasi pada dunia politik Turki.

"Kami melihat tingkat polarisasi di level yang cukup tinggi di negara itu. Kejadian ini memberikan mereka (Erdogan dan aliansinya) sebuah kesempatan yang baik untuk tidak menentang pihak oposisi dan melihat mereka sebagai partmet dalam memperbaiki kembali demokrasi Turki sebagai tanggungjawab mereka," paparnya.

Penegakan hukum

Erdogan, yang mendirikan partai AK yang konservatif dan islami, bersumpah untuk membalas dendam atas aksi kudeta. Dia bahkan berjanji melakukan pembersihan di tubuh pemerintahan dari apa yang dia sebut sebagai "virus".

Hingga saat ini, pemerintahan Erdogan langsung melakukan upaya pembersihan di tubuh militer dan pemerintah. Hasilnya, 6.000 orang militer dan hakim ditahan.

Sebagian besar, Erdogan menuding Fethullah Gulen -tokoh politik oposisi Turki yang tinggal di AS- sebagai dalang dari aksi kudeta dan meminta agar dia diekstradisi ke Turki.

Gulen sendiri membantah tuduhan tersebut dan mengatakan Erdogan bisa saja melakukan settingan kudeta sebagai langkah untuk menjatuhkan para penentangnya dan membatasi hak asasi manusia.

Setelah upaya kudeta, Erdogan menyerukan pemberlakuan kembali hukuman mati yang sebelumnya dihapus pada 2004 lalu sebagai bagian dari ambisi Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa (UE).

Kekhawatiran juga muncul terkait perlakuan yang diterima oleh tahanan aksi kudeta pada pekan ini setelah sejumlah foto menampilkan tentara dengan tangan terikat ditelanjangi hingga tinggal mengenakan pakaian dalam saja.

Anthony Skinner, head of Political Risk dari Verisk Maplecroft mengatakan aksi Erdogan semakin "kejam".

"Respon refleks Erdogan ketika ditantang oleh masyarakat sipil atau kelompok oposisi selama beberapa tahun terakhir telah menjadi kombinasi pembangkangan, konfrontasi dan intimidasi," papar Skinner.

Skinny juga menguraikan, upaya kudeta memang permainan yang berbeda dibandingkan Aksi Protes di Taman Gezi di 2013 lalu atau aksi korupsi oleh sejumlah aliansi Erdogan oleh pendukung Gulen. Pada waktu itu, Erdogan tidak melakukan penahanan. "Saat ini, pemerintah Turki mempertimbangkan kembali untuk menerapkan hukuman mati akibat pengkhiatan yang dilakukan," tambahnya.

Turki bisa hengkang dari Uni Eropa

Uni Eropa mengancam, jika Turki memberlakukan kembali hukuman mati, maka mereka akan mencabut keanggotaan negara tersebut.

Kemarin, politisi Eropa dan Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengimbau Turki untuk menghormati penegakan hukum. Hal itu diungkapkan Kerry saat menggelar pertemuan dengan 28 menteri luar negeri Uni Eropa, termasuk kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Federica Mogherini.

"Kami mengimbau agar Turki menegakkan hukum dan kami dari Uni Eropa menekankan pentingnya penegakan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan fundamental," jelas Mogherini.

Dia melanjutkan, jika Turki kembali memberlakukan hukuman mati -yang sudah dihapus pada 2004 lalu- maka secara otomatis hal itu akan membuat Turki ditendang keluar dari keanggotaan.

"Tidak ada negara yang dapat menjadi anggota Uni Eropa jika memberlakukan hukuman mati," tegas Mogherini.

Keamanan dan terorisme

Upaya kudeta juga memicu kecemasan atas peran Turki dalam memerangi kelompok militan Islam (ISIS).

Turki merupakan salah satu aliansi utama negara-negara Barat dalam memerangi ISIS di Suriah, yang berbatasan dengan Turki. Negara ini juga diandang sebagai gerbang masuk ke Eropa.

Uni Eropa pada tahun lalu melakukan kesepakatan dengan Turki untuk melarang masuknya arus migran dari negara-negara konflik.

"Aliansi Turki di NATO menunjukkan solidaritas di belakang Erdoga dan pemerintahannya. Kendati demikian,respon presiden atas upaya kudeta juga dapat menempatkan posisi Erdogan tertekan dengan aliansi Baratnya," jelas Skinner dari Verisk Maplecroft.

Pariwisata, investasi, dan makroekonomi

Di luar kondisi geopolitik dan upaya kudeta, fokus saat ini kembali pada perekonomian Turki pasca guncangan politik yang terjadi.

Perekonomian Turki sangat tergantung pada sektor pariwisata. Sayangnya, sejumlah tempat wisata tampak dalam keadaan rusak akibat serangan bom dari ISIS dan kelompok separatis Kurdi dalam beberapa tahun terakhir.

Salah satu serangan paling besar adalah serangan di bandara Istanbul Juni lalu yang menyebabkan 41 orang tewas dan ratusan lainnya terluka. Hal ini kian menekan sektor pariwisata Turki lebih dalam.

Padahal, sebagai sebuah emerging market, Turki merupakan merupakan salah satu kesempatan investasi menarik bagi investor yang menari investasi dengan imbal hasil tinggi.

Pada Senin (18/7), mata uang dan pasar saham Turki juga bereaksi positif atas status quo politik yang berhasil dipertahankan.

Mata uang lira -yang sempat keok 5% versus dollar AS- berhasilĀ  rebound dan ditutup pada level 2,9398. Sebelum aksi kudeta, nilai tukar lira berada di posisi 2,90.

Sedangkan indeks acuan Turki, The Bora Istanbul, ditutup dengan penurunan 3,6% meskipun penurunan yang tidak terlalu dalam ini mengejutkan analis.

"Dari perspektif investor, Turki terlihat lebih seperti kasus keranjang politik," kata Dani Rodrik, Ekonom Harvard University. Ekonomi Turki diproyeksikan tumbuh melambat menjadi 3%-4% di sepanjang tahun 2016 dari pertumbuhan 4,5% pada 2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×