Reporter: Adinda Ade Mustami, Ghina Ghaliya Quddus, Ramadhani Prihatini, Rizki Caturini | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Peringkat investasi atau investment grade menjadi salah satu tolak ukur para investor untuk membenamkan uangnya dalam surat berharga suatu negara. Berbagai kriteria kelaikan yang dihimpun lembaga pemeringkat resmi menjadi penting untuk meyakinkan investor bahwa surat utang negara tersebut layak untuk dikoleksi.
Itu yang kini tengah ditunggu-tunggu Indonesia dari lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P). Lembaga yang berpusat di AS ini telah meningkatkan outlook sovereign credit rating Indonesia dari stable menjadi positive di Juni tahun lalu. Namun S&P belum memasukkan surat utang Indonesia dalam kategori layak investasi atawa investment grade.
Saat ini Sovereign Credit Rating Republik Indonesia dari S&P masih BB+. Peringkat ini satu tingkat di bawah BBB- yang masuk kategori investment grade. Waktu itu S&P beralasan, Indonesia masih belum mendapat peringkat layak investasi karena meningkatnya kredit bermasalah.
Padahal, pada Januari 2016, Moody’s Investors Service kembali memberikan afirmasi Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada Baa3 (investment grade) atau stable outlook setelah Januari 2012. Sementara pada Desember 2016, Fitch Rating meningkatkan outlook Sovereign Credit Rating Republik Indonesia dari stable menjadi positive dan mengafirmasi rating Indonesia pada BBB- atau artinya masuk kategori investment grade.
"Moody's dan Fitch Ratings dari 2013 sudah nyatakan kita investment grade dan itu diperlihatkan dengan kondisi kita terus membaik. Kalau S&P belum memberikan kita menghormati itu adalah kewenangannya mereka," ujar Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia.
Bulan lalu S&P bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk memperbaharui analisis mereka terhadap situasi ekonomi dan kebijakan pemerintah Indonesia yang telah dicapai selama 2016. Dari pertemuan itu, harapannya, dalam waktu dekat lembaga ini bisa menaikkan peringkat Indonesia satu tingkat lebih tinggi.
Tapi, naga-naganya, masih sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan kenaikan peringkat investasi tersebut. Dari conference summary S&P yang didapat KONTAN, lembaga ini masih berat menaikkan rating Indonesia lantaran beberapa faktor.
Pertama, meski mulai konsisten, masih perlu kajian lebih lanjut atas keseimbangan fiskal. Kedua, pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia masih lambat.
Ketiga, di sektor perbankan, ada kekhawatiran atas memburuknya kualitas kredit bank akibat utang debitur yang tinggi dan harga komoditas rendah. Sisi lain, utang dollar AS korporasi tinggi.
S&P juga menyoroti penurunan keuntungan korporasi dalam jangka panjang. Pasalnya, biaya utang di Indonesia tertinggi dibanding dengan negara selevel. Di Indonesia, biaya utang mencapai 3%, di negara-negara ASEAN rata-rata cuma 0,2%-1,2%. Selain itu, tren keuntungan bank di Indonesia juga terus turun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani acap menilai, tak ada alasan bagi S&P untuk tidak mengerek peringkat utang Indonesia pada Mei nanti. Perbaikan fiskal dan reformasi struktural sudah dilakukan. Secara fundamental, pengamat ekonomi juga yakin kenaikan rating dari S&P.
Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Rangga Cipta bilang, harusnya rating S&P naik. Ada beberapa hal yang patut ditimbang. Pertama, secara struktur, fiskal sudah lebih baik. Ini terlihat dari proporsi belanja infrastruktur yang lebih besar dibanding belanja subsidi non produktif. Pengaruh harga komoditas yang terlanjur tinggi ke APBN juga membuat defisit melebar sejak 2011.
Kedua, pertumbuhan ekonomi mulai pulih seiring pulihnya harga komoditas. Pencapaian pertumbuhan di 2016 lebih baik dibanding 2015. Di saat sama, defisit transaksi berjalan menipis akibat surplus dagang melebar.
Ketiga, pendapatan per kapita memang relatif rendah dibanding negara lain di kawasan, tapi masih tumbuh positif. Komposisi kelas menengah yang lebih banyak seharusnya menunjukkan daya beli yang kuat dan merata.
Ekonom Maybank Juniman menambahkan, sebenarnya, ada perbaikan di semua bidang. Tapi, proses perbaikan ekonomi butuh waktu, misal reformasi pajak, pembangunan infrastruktur. Meski telah mengantongi peringkat positif dari Moody dan Fitch, peringkat S&P masih dibutuhkan. "Terutama bagi investor konservatif semisal dari Jepang," katanya.
Leo Putera Rinaldy, Ekonom Mandiri Sekuritas dalam risetnya juga melihat tidak ada alasan S&P tidak menyematkan layak investasi pada Indonesia. Sebab, Indonesia sudah melalui reformasi fiskal besar dengan kebijakan subsidi BBM, merelokasi anggaran ke belanja produktif, dan menunjukkan ketahanan makro yang tinggi dibandingkan dengan negara layak investasi lain.
Harapan kenaikan rating S&P pada akhir April atau awal Mei tahun ini diyakini dapat memberi dampak positif pada persepsi risiko (credit default swap/CDS), nilai tukar mata uang, yield obligasi, dan investasi langsung. "Secara khusus, akan potensi masuknya aliran dana modal, misalnya dari Jepang, yang saat ini porsi kepemilikan surat utang pemerintah denominasi rupiah masih rendah di 4%," kata Leo. Sebagai perbandingan, kepemilikan AS terhadap surat utang pemerintah denominasi rupiah saat ini sebesar 22%.
Neerah Seth, Kepala Kredit wilayah Asia di BlackRock melihat, Indonesia memiliki sejarah yang baik dalam kedisiplinan fiskal. Pemerintah Indonesia juga memiliki komitmen tinggi pada reformasi fiskal lewat rasionalisasi subsidi BBM serta berbagai paket kebijakan sejak September 2015.
"Kami memiliki ekspektasi S&P akan menaikkan rating Indonesia menjadi investment grade dalam waktu dekat," kata Seth seperti dikutip CNBC.
Meski begitu, jika S&P memutuskan tidak menaikkan rating Indonesia, menurut Leo dampaknya akan minor. Contohnya pada Juni tahun lalu ketika S&P tetap menjaga rating BB+ dengan outlook positif. Saat itu, dampaknya minor ke indikator keuangan. Yield obligasi rupiah dan CDS hanya naik 5 basis poin (bps) dan sangat temporer.
Gubernur BI pun masih cukup percaya diri tetap bisa mendapatkan investasi dari luar negeri karena fundamental ekonomi Indonesia yang baik. "Saya melihat antusiasme dunia kepada Indonesia tetap tinggi apalagi dengan kita punya neraca perdagangan terus baik, transaksi berjalan defisitnya terus membaik, dan inflasi yang cukup terjaga," jelas Agus.
Ekonom Bahana Sekuritas, Fakhrul Fulvian melihat pada kuartal-I 2017, kondisi perekonomian Indonesia, sejalan dengan perbaikan dan penguatan yang terjadi di pasar global. Dia meyakini pada kuartal pertama tahun ini, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 4,95% secara tahunan. Ini tidak berbeda jauh dari pencapaian kuartal terakhir 2016, yang tumbuh sebesar 4,94% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Bila pemerintah tidak sangat hati-hati dalam membelanjakan anggaran, sebenarnya perekonomian pada kuartal pertama tahun ini bisa mencapai 5,1%. Karena konsumsi masyarakat dan perbaikan ekspor masih terus memperlihatkan perbaikan kalau kita bandingkan dengan pencapaian tahun lalu," ungkap Fakhrul.
Menjelang akhir tahun lalu hingga saat ini, kinerja ekspor masih memperlihatkan kinerja positif sejalan dengan naiknya harga komoditas dan pemulihan ekonomi global. Sedangkan kinerja investasi meski masih memperlihatkan pertumbuhan, namun masih tumbuh single digit.
Mulai beranjak ekspansi
Untuk menjaga dan semakin memperkuat tren pemulihan ekonomi ini, sangat diperlukan dorongan dari belanja pemerintah. Pasalnya, belanja pemerintah memberikan multiplier effect ke berbagai sektor termasuk mendorong masuknya investasi swasta serta meningkatkan daya beli masyarakat.
Lihat saja pertumbuhan ekonomi pada kuartal empat tahun lalu, karena belanja pemerintah melambat 4,05% secara tahunan, akhirnya membawa ekonomi secara keseluruhan 2016, hanya tumbuh 5,02%, padahal dalam periode yang sama, ekspor sudah tumbuh 4,24% secara tahunan, investasi tumbuh 4,8% dan konsumsi masyarakat tumbuh 4,99%.
Fakhrul meyakini, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2017, akan tumbuh sekitar 5,3%. Pasalnya, kenaikan inflasi merupakan cerminan adanya pergerakan dan peningkatan permintaan di pasar, yang lebih tinggi dibandingkan ketersediaan sisi suplai.
Kenaikan inflasi bukan hal yang perlu terlalu dikhawatirkan. Sepanjang kenaikan inflasi itu terjadi secara perlahan atau tidak fluktuatif. Kenaikan inflasi yang terjadi secara global adalah sinyal positif bahwa konsumsi masyarakat semakin kuat.
Meski tercatat deflasi pada Maret 2017, Fakhrul masih mempertahankan perkiraan inflasi sampai akhir 2017 berada di kisaran 4,4%, sejalan dengan target Bank Indonesia sekitar 3%-5%. "Perekonomian mulai beranjak ekspansi meski dorongan dari belanja pemerintah belum maksimal. Rasanya tidak ada keperluan BI untuk menaikkan suku bunga pada bulan ini," jelas Fakhrul.
Tapi seperti dikutip CNBC, Rohit Garg, Asia fixed income and currency strategist di Bank of America Merrill Lynch mengatakan tidak melihat S&P akan meng-upgrade rating Indonesia pada tahun ini. Alasannya, kredit bermasalah di perbankan Indonesia masih tinggi. Ini akan memberatkan S&P untuk mengubah pendapatnya terhadap surat utang Indonesia jadi layak investasi.
Per akhir Desember 2016 NPL perbankan mencapai level 2,93%. Jika merujuk pada bulan sebelumnya, per November 2016 tercatat NPL perbankan menyentuh angka 3,1%. Sementara, jika dibandingkan dengan akhir tahun 2015 lalu, NPL masih terbilang stabil yakni di level 2,4%. BI mencatat rasio NPL perbankan di awal 2017 kembali mengalami peningkatan. Per Januari 2017, NPL gross menjadi 3,1%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News