Reporter: Adinda Ade Mustami, Agus Triyono, Dede Suprayitno, Elisabet Lisa Listiani Putri, Galvan Yudistira, Ghina Ghaliya Quddus, Nina Dwiantika, Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pemerintah akhirnya membuat payung hukum untuk mengakses data keuangan nasabah. Per 8 Mei lalu, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Singkatnya, ini adalah kendaraan bagi aparat pajak mengintip data keuangan nasabah di lembaga keuangan untuk kepentingan perpajakan, di perbankan, asuransi, sampai pasar modal.
Selama ini, Pajak mengaku terhambat pasal kerahasiaan nasabah di lembaga keuangan. Makanya, dalam Perppu ini, pemerintah sekaligus menonaktifkan sejumlah pasal di beberapa undang-undang yang dianggap menghambat.
Kalau diingat ke belakang, sebenarnya Kementerian Keuangan maupun Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sudah beberapa kali ingin menerbitkan aturan untuk menembus data nasabah, tapi akhirnya dibatalkan karena instan menuai protes.
Misalnya, tahun 2015 lalu, pemerintah ingin bank melaporkan pemotongan pajak atas deposito secara rinci per nasabah, tidak lagi data gelondongan. Pemerintah membatalkan aturan ini karena dianggap tidak kuat.
Tahun 2017 ini, Kementerian Keuangan juga sempat ingin membuat aturan bank harus melaporkan data kartu kredit nasabahnya. Nah, pemerintah juga membatalkan aturan ini dengan alasan akan fokus dulu pada hasil program pengampunan pajak atau tax amnesty yang selesai Maret lalu.
“Masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan karena proses penegakan hukum hanya dilakukan sesuai undang-undang. Kami tidak perlu mengemis-ngemis untuk mendapatkan data sebenarnya,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani April lalu.
Namun, dengan Perppu 1/2017, pemerintah mendapatkan kewenangan besar. Toh, Ditjen Pajak merasa berhak dengan kewenangan ini.
Untuk perpajakan dan AEoI
Pemerintah beralasan, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Sehingga, diperlukan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan.
Selain itu, keterbukaan informasi keuangan secara otomotis atau Automatic Exchange of Financial Account Information (AEoI) ini merupakan syarat bagi Indonesia untuk ikut serta dalam perjanjian internasional bidang perpajakan dengan negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20.
Tujuan negara-negara ini mengikuti keterbukaan informasi keuangan lebih luas lagi, yaitu untuk menekan larinya dana dari suatu negara untuk menghindari pajak.
Bukan rahasia umum, dana Warga Negara Indonesia (WNI) selama ini banyak bersembunyi di Singapura. Dari hasil tax amnesty kemarin, Pajak mendapat dana kembali dari Singapura sekitar 57% dari total dana repatriasi. Singapura, seperti halnya Indonesia akan menjalankan AEoI pada tahun 2018.
Untuk keperluan pertukaran perpajakan internasional acuannya adalah traktat AEoI, termasuk batasan saldo yang dilaporkan otomatis oleh bank. "Sesuai dengan standar, US$ 250.000," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kamis (18/5). Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 13.300 per dollar AS, maka nasabah dengan rekening simpanan Rp 3,32 miliar sudah pasti masuk radar Ditjen Pajak.
Tapi, untuk batas perpajakan domestik, pemerintah belum mau mengungkap angkanya. Menurut Sri, Indonesia akan resmi membuka diri sesuai AEoI pada 30 April 2018.
Istana meminta semua pihak mendukung perppu ini. Pramono Anung, Sekretaris Kabinet mengatakan, tujuan perppu ini baik yaitu menciptakan transparansi finansial dan mendukung perpajakan. "Kami yakin, ini baik bagi bangsa dan dunia usaha. Seharusnya semua pihak mendukung," katanya.
Menteri Koordinasi bidang Ekonomi Darmin Nasution mengatakan, poin-poin yang diatur dalam perppu tersebut merupakan tuntutan keterbukaan dunia. "Kalau kita tidak melakukan, kita akan dianggap tidak comply yang ujungnya bisa membuat kita susah sendiri," katanya.
Dari perppu itu, tertulis beberapa kerugian jika Indonesia dianggap tidak memenuhi komitmen. "Kerugiannya akan signifikan bagi Indonesia, seperti menurunnya kredibilitas RI sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal," tulis Perppu tersebut.
Menjaga nasabah
Berdasarkan perpu tersebut, Ditjen Pajak bisa meminta data setiap rekening untuk kepentingan perpajakan. Atau, lembaga keuangan wajib lapor rekening tertentu yang sudah ditentukan untuk wajib dilaporkan.
Bank atau asuransi akan memberi laporan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), barulah regulator keuangan tersebut melaporkan pada Ditjen Pajak sesuai jangka waktu tertentu
Nasabah dan rekening seperti apa yang kemungkinan dilaporkan dan diperiksa pajak, belum ada standar teknisnya. Pemerintah dan OJK akan menerbitkan aturan turunan.
Dari Perppu tersebut, laporan isi informasi keuangan setidaknya memuat:
- identitas pemegang rekening keuangan
- nomor rekening keuangan;
- identitas lembaga jasa keuangan;
- saldo atau nilai rekening keuangan; dan
- penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan
Lembaga jasa keuangan mulai putar otak. Kekhawatiran publik pada ketentuan baru pastilah mengundang pro dan kontra. Bank yakin, ketentuan ini akan berimbas.
Tapi, bankir Tanah Air mengaku siap memenuhi peraturan ini. Mereka percaya, ada ruang untuk kerahasiaan nasabah.
"Data yang kami sampaikan hanya by request dari Ditjen Pajak bukan data keseluruhan nasabah," kata Direktur Kepatuhan dan Risiko Perusahaan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Imam Budi Sarjito.
Dia minta Ditjen Pajak memperjelas skema, misalnya calon penerima data nasabah hanya Direktur Jenderal atau Direktur Jenderal beserta dengan jajarannya. Perlu ada kejelasan siapa saja yang boleh melihat data nasabah perbankan agar tidak terjadi penyalahgunaan data nasabah.
Imam yakin, para nasabah tidak akan kabur memindahkan dana mereka ke luar negeri. Pasalnya, transparansi ini diikuti 100 negara.
Ada enam tujuan utama dana WNI ke luar negeri, dilihat dari hasil repatriasi program tax amnesty lalu. Selain ke Singapura, dana WNI paling banyak dibawa ke Caymand Island, Hong Kong, Virgin Island, dan China. Nah, enam negara ini telah memberikan komitmen keterbukaan nasabah juga.
(Baca: 100 yurisdiksi telah menyatakan komitmen keterbukaan informasi keuangan AEoI)
Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk Glen Glenardi, Direkur Utama Bank Bukopin mengatakan, perbankan akan mengalami dampak dari keterbukaan data nasabah ini apabila ada nasabah yang selama ini belum melakukan deklarasi pajak dengan benar. "Bank juga harus melakukan usaha untuk memastikan bahwa nasabah tidak memindahkan dananya keluar," tambah Glen.
Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Susi Meilina juga khawatir, efek kebijakan itu seperti kebijakan transparansi kartu kredit. Nasabah rame-rame menutup kartu kreditnya. "Orang bisa takut beraktivitas finansial, karena data dibaca, takut ngapa-ngapain," kata dia.
Chief Corporate Affairs Officer AXA Indonesia Benny Waworuntu, Perppu No 1/2017 membutuhkan aturan turunan yang rinci. Pemerintah harus menjelaskan detail transaksi yang harus diserahkan pajak. "Pemegang polis pasti khawatir dengan kerahasiaan datanya. Ini wajar karena hal baru," katanya.
Kebal hukum
Menurut Benny, hal terpenting yang harus dijamin pemerintah adalah akses ke data keuangan wajib Pajak tak disalahgunakan oleh oknum pajak nakal. Sebab, Perppu itu memberi kewenangan luar biasa besar ke aparat pajak.
Pemerintah juga harus memiliki mekanisme pengawasan serta check and balance. Pasalnya, kelalaian wajib pajak, baik disengaja atau tidak, rawan jadi objek pemerasan oleh aparat pajak.
Inilah yang harus diawasi. Peraturan ini memberi kekebalan hukum bagi pelakasana tugas. Mereka adalah menteri keuangan dan pegawai jajarannya, pegawai OJK dan lembaga keuangan, yang terkait dengan tugas tugas tersebut.
Sebaliknya, jika pimpinan atau pegawai lembaga keuangan menolak melaksanakan tugas ini, hukuman pidana mengancam maksimal satu tahun dengan denda sampai Rp 1 miliar.
Pihak nasabah yang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan, mengurangkan informasi yang wajib disampaikan juga bisa terkena pidana dan denda yang sama.
Pasal tidak berlaku
Dengan Perppu 1/2017, ada sejumlah pasal di undang-undang lembaga keuangan lain yang menjadi tidak berlaku, terkait dengan pelaksanaan keterbukaan informasi keuangan ini. Berikut pasal-pasal yang dianggap menghambat pajak selama ini untuk mendapatkan informasi keuangan.
A. UU Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Pasal 35 ayat 2
Untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan data perbankan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
Pasal 35A
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
B. UU Nomor 7/1992 tentang Perbankan
Pasal 40
Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan.
Pasal 41
Untuk kepentingan perpajakan menteri berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak.
C. UU Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal
Pasal 47
Kustodian atau pihak terafiliasinya dilarang memberikan keterangan mengenai rekening efek nasabah kepada pihak manapun, kecuali kepada:
a. Pihak yang ditunjuk secara tertulis oleh pemegang rekening atau ahli waris pemegang rekening.
b. Polisi, jaksa, atau hakim untuk kepentingan peradilan perkara pidana.
c. Pengadilan untuk kepentingan peradilan perkara perdata atas permintaan pihak-pihak yang berperkara.
d. Pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan.
e. Bapepam, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Emiten, Biro Administrasi Efek, atau Kustodian lain dalam rangka melaksanakan fungsinya masing-masing; atau
f. Pihak yang memberikan jasa kepada kustodian, termasuk konsultan, konsultan hukum, dan akuntan.
D. UU Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 41
Bank dan pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya.
Pasal 42
Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan atau nasabah investor tertentu kepada pejabat pajak.
E. UU Nomor 10/2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditas
Pasal 17c
Kerahasiaan informasi posisi keuangan serta kegiatan usaha Anggota Bursa Berjangka dijamin, kecuali informasi tersebut diberikan dalam rangka pelaksanaan ketentuan UU No 10/2011 dan/atau peraturan pelaksanaannya
Pasal 55
Pialang berjangka, penasihat berjangka, dan pengelola sentra dana berjangka wajib menjamin kerahasiaan data dan informasi mengenai nasabah, klien, atau peserta sentra dana berjangka, dan dilarang mengungkapkan data dan informasi tersebut, kecuali memperoleh persetujuan tertulis dari nasabah, klien, atau peserta sentra dana berjangka yang bersangkutan atau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News