Reporter: Dupla Kartini, Astri Kharina, Roy Franedya, Nina Antika, Nurul Kolbi, Tedy Gumilar | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Rencana akuisisi saham PT Bank Danamon Tbk (BDMN) oleh DBS Group Holdings diwarnai isu tak sedap di pasar domestik. Sejumlah kalangan mengingatkan Bank Indonesia (BI) supaya tak begitu saja memuluskan transaksi ini.
Sebut saja, reaksi yang muncul dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Wakil Ketua Komisi XI DPR Hary Azhar Azis meminta BI untuk menunda proses akuisisi BDMN, sampai revisi UU Perbankan rampung. Nantinya, beleid baru yang sedang digodok DPR itu akan mengatur kepemilikan asing hingga proses izin operasi bank asing di daerah tertentu.
Bahkan, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar Lili Asdjudiredja menyuarakan supaya DPR mencegah rencana penjualan saham Bank Danamon ke Bank DBS. "Kalaupun penjualan sudah dilakukan, transaksi itu harus dibatalkan," ujarnya, pekan lalu. Dia beralasan, mayoritas saham kedua bank itu dimiliki Temasek Holdings. Langkah tersebut dinilai berpotensi melanggar aturan Bank Indonesia tentang Single Presence Policy (SPP).
Reaksi serupa tak hanya datang dari wakil rakyat di Senayan. Sejumlah bankir juga melayangkan protes kepada BI terkait akuisisi Danamon ini. Tentu, para bankir punya agenda sendiri. Lewat momen ini, mereka ingin mengusung adanya asas resiprokal antara BI dengan bank sentral asing.
Bankir meminta BI menekan bank sentral Singapura supaya mempermudah pembukaan cabang bank Indonesia di negara itu. Artinya, pemberian izin di dalam negeri harus disertai dengan pemberian izin di Singapura, begitu pula sebaliknya (resiprokal).
Sekadar menyegarkan ingatan, pada 30 Maret 2012, DBS Group Holdings meneken perjanjian akuisisi 67,37% saham BDMN. DBS mengambil alih BDMN dengan cara mengakuisisi Asia Financial Indonesia Pte. Ltd. yang memegang 67,37% saham BDMN. Sebagai catatan, pemilik lama Asia Financial, yaitu Fullerton Financial Holdings Pte. Ltd. merupakan anak usaha Temasek Holdings. Di sisi lain, Temasek pun memegang 29% saham di DBS Holdings.
BUMN asal Singapura ini melepas saham BDMN kepada DBS Holdings seharga Rp 45,2 triliun atau setara Rp 7.000 per saham. Namun, DBS tidak membayar Temasek dengan uang tunai, tapi dengan penerbitan 439 juta saham baru DBS seharga S$ 14,07 per saham. Dengan begitu, kepemilikan Temasek di DBS Holdings akan naik menjadi 40%. Kemudian, DBS akan menggelar tender offer saham BDMN yang dipegang publik pada harga Rp 7.000 per saham, atau total Rp 21,2 triliun.
Terlepas dari isu penundaan transaksi, pihak DBS Holdings telah menjadwalkan, transaksi akuisisi ini akan rampung pada semester kedua 2012. Selanjutnya, DBS akan menggelar tender offer saham BDMN yang diperkirakan akhir tahun ini atau awal 2013. “Adapun proses merger BDMN dan DBS Indonesia berlangsung mulai 2013 hingga 2015,” sebut Chief Executive Officer DBS Group Piyush Gupta.
Batal lewat fit and proper test?
Lantas, apakah BI punya amunisi untuk menunda atau membatalkan transaksi akuisisi BDMN? Berkaca pada aturan yang berlaku saat ini, tak ada alasan untuk menjegal langkah DBS mengakuisisi saham BDMN. PP Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum pun membolehkan asing memiliki saham perbankan hingga 99%.
Tapi, BI masih punya cara untuk menunda transaksi melalui fit and proper test. Selain menjelaskan rencana bisnis setelah akuisisi, dalam fit and proper test juga akan dilihat kemampuan modal dan komitmen pemilik baru untuk tidak mengalihkan kepemilikan kepada pihak lain selama lima tahun dalam kondisi apa pun. Jika pemilik baru kurang meyakinkan, BI bisa menunda atau bahkan menolak transaksi.
Sekadar mengingatkan, bank sentral pernah membatalkan akuisisi Bank Ina Perdana oleh Affin Holdings, dan akuisisi saham Bank Mestika oleh RHB Capital. Kala itu, BI tidak bisa memproses permohonan akuisisi hingga aturan kepemilikan bank terbit. Padahal, saat itu, keduanya hanya tinggal mengurus perizinan ke BI.
A.G. Pahlevi, analis AAA sekuritas menilai, jika mengacu pada aturan UU soal kepemilikan saham mayoritas, kecil kemungkinan transaksi akuisisi Danamon batal. Jika menunggu revisi UU, akan memakan waktu cukup lama, sehingga kecil kemungkinan itu bisa menjadi alasan untuk penundaan.
Tapi, Pahlevi mencatat, ada peluang penundaan jika melihat dari proses transparansi. Menurutnya, Sampai saat ini, BI belum mendapat informasi lengkap dari kedua belah pihak mengenai transaksi tersebut, termasuk perihal rencana bisnis ke depan, pasca akuisisi. "Intensinya setelah akuisisi bank ini akan dibawa ke mana. Apakah membesarkan bisnis pembiayaan, atau seperti apa belum dijelaskan," ujarnya, Senin (9/4).
Soal kelengkapan dokumen akuisisi itu, pihak BI memang mengaku belum menerima detail atau surat resmi tertulis dari kedua pihak. “Kami ingin formalnya jelas,” ungkap Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad, Rabu (11/4).
Namun, BI terlihat enggan berspekulasi soal kemungkinan penundaan eksekusi transaksi. "Yang jelas, harus melalui proses fit and proper test. Ultimate shareholder harus datang ke Jakarta. Harus kami (BI) interview dan perlu ada dukungan-dukungan administrasi. Saya kira prosesnya masih panjang," imbuhnya.
Tapi, Kepala Biro Humas BI Difi Johansyah memberi sinyal, bank sentral tidak mempermasalahkan adanya transaksi akuisisi oleh DBS. "Oke saja, kalau nantinya Danamon jadi lebih sehat dan efisien. Pada akhirnya persaingan perbankan akan makin sehat, dan baik bagi nasabah," ujar Difi, Senin (9/4).
BDMN mulai melandai
Pelaku pasar tampaknya mulai bereaksi terhadap isu-isu yang mencuat seputar akuisisi BDMN ini. Tak heran, jika saham BDMN yang sempat melejit pada pekan lalu, mulai bergerak mendatar bahkan melandai di awal pekan ini. Pada perdagangan Selasa, saham BDMN ditutup tergerus 2,33% ke level Rp 6.300 per saham. Sebagai catatan, pasca pengumuman akuisisi, saham ini melompat sebesar 40% ke level Rp 6.400 per saham (3/4).
Pengamat pasar modal dari Lautandhana Securindo Willy Sanjaya berpendapat, mulai mendatarnya pergerakan saham BDMN ini ditengarai investor mulai menahan diri. "Mereka mencari informasi dan alasan yang bisa meyakinkan soal kepastian transaksi ini," ujarnya, Rabu (4/4).
Menurut Willy, selama rencana pembelian saham di level 7.000 masih belum dieksekusi, maka investor selayaknya bersikap hati-hati. Dia mencatat, tahun lalu, emiten ini pun pernah diwarnai rumor serupa, namun tidak terbukti.
Lanjutnya, perjalanan proses akuisisi ini masih panjang. DBS akan terlebih dahulu melakukan serangkaian proses hingga benar-benar merealisasikan rencana pembelian. Itu artinya, segala kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk kemungkinan batalnya transaksi.
"Bagi mereka yang yakin, silakan saja akumulasi beli. Tapi, ingat, kalau masuk di harga sekarang yang sudah di Rp 6.400, potensi keuntungan tidak terlalu besar apabila dibandingkan kemungkinan terkoreksi tajam, jika rencana ini tak terealisasi," imbuh Willy.
Sebagai gambaran, jika investor masuk di harga Rp 6.400 per saham, sejatinya masih bisa menangguk keuntungan sekitar 9,4%, jika harga realisasi tender offer di Rp 7.000 per saham. Namun, jika ternyata batal, dan harga kembali jatuh ke level sebelumnya di Rp 4.600, maka investor yang masuk di level Rp 6.400 akan menelan rugi hampir 40%.
Valuasi BDMN masih murah
Terlepas jadi atau tidak akuisisi BDMN oleh DBS Holdings, tapi sejatinya harga saham ini terbilang masih murah. Mengacu pada laporan keuangan per 31 Desember 2011, maka price to book value (PBV) BDMN di kisaran harga saat ini (Rp 6.400) sekitar 2,37 kali. Kalaupun, dihitung pada harga tender offer Rp 7.000 per saham, maka harga tersebut mencerminkan 2,6 kali harga buku BDMN. Bandingkan, dengan PBV BBRI yang sudah mencapai 3,42 kali di harga Rp 6.900 per saham (10/4).
Analis Mega Capital Arief Fahruri menyebut, PBV industri di tahun lalu sekitar 2,4 kali, dan tahun ini diproyeksi pada posisi 2,62 kali. Itu artinya, harga BDMN saat ini masih terbilang wajar bahkan murah bila dibandingkan dengan industri.
Dari sisi fundamental, Arief menilai, merger Danamon dan DBS akan menghasilkan sinergi positif. Sebagai pemilik baru, DBS Group diharapkan akan memperkuat struktur permodalan BDMN. “Selama ini, BDMN mengandalkan sumber dana mahal dan penerbitan rights issue. Dengan masuknya DBS, persoalan pendanaan bisa diatasi,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama BDMN Henry Ho yakin, Danamon dan DBS akan saling melengkapi. Pasalnya, DBS mempunyai kekuatan di trade finance, corporate banking, wealth management, dan cash management. Adapun, BDMN punya kelebihan di micro banking, consumer, dan retail banking. Kelak, sesuai aturan Bank Indonesia (BI) tentang kepemilikan tunggal (single presence policy), BDMN harus melebur dengan DBS Indonesia.
Analis Sinarmas Sekuritas Jansen Kustianto juga melihat prospek positif. Meski begitu, dia menyarankan investor jangka panjang mengambil posisi hold terhadap saham BDMN.
Baik Jansen maupun Arief pun belum bisa memberikan target harga jangka panjang. Maklum, kedua analis masih menunggu kelanjutan rencana akuisisi dan merger kedua bank tersebut.
Bisa jadi, tender offer akan berhasil menyerap seluruh saham publik yang tersisa. Tapi, jika proses tender offer menyisakan sedikit saham publik, saham BDMN di pasar sekunder mungkin akan menjadi tak likuid. Memang, aturan Bapepam-LK mewajibkan emiten melepas kembali saham ke publik hingga mencapai 20%. Tapi, ini tentu butuh waktu yang belum diketahui seberapa lama.
Namun, untuk investasi jangka pendek (trading), Arief menilai, saham BDMN masih terbilang atraktif. Sebab, harga saham BDMN akan bergerak menuju ke harga tender offer. Bila dihitung dari harga penutupan Rabu (5/4) sebesar Rp 6.450 per saham, saham BDMN masih menjanjikan keuntungan sekitar 8,52%. Dus, analis menilai, investor jangka pendek atau trader masih bisa mengoleksi saham ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News