kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Mereka yang terbakar bara BBM


Sabtu, 22 Juni 2013 / 14:20 WIB
Mereka yang terbakar bara BBM
ILUSTRASI. Ini 7 Jenis Ras Anjing yang Cerdas


Reporter: Asnil Bambani Amri, Dityasa H Forddanta, Veri Nurhansyah Tragistina, Adisti Dini Indreswari, Aceng Nursalim, Mimi Silvia | Editor: Asnil Amri

JAKARTA. Pemerintah telah mengumumkan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi, Jumat akhir pekan lalu (21/6). Harga premium yang semula Rp 4.500 per liter kini dibanderol Rp 6.500 per liter, naik 44,4%. Begitu pula dengan solar yang naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter atau naik 22,2%.

Lantas apa pengaruh dari kenaikan harga BBM tersebut? Tentu semua orang sudah mahfum, kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan harga-harga produk pangan, sandang, papan sampai produk konsumen juga jasa. Oleh para pakar, kenaikan harga ini disebut dengan inflasi.

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo bilang, kenaikan harga BBM terasa bulan ini juga. Dalam sorotan bang sentral ini, kenaikan inflasi Juni bisa mencapai 2% lebih tinggi dari bulan biasanya, yang hanya berkisar 0,5%.

"Selama tiga bulan itu inflasi akan naik secara berkala, namun pada bulan ke empat akan mulai turun," ujar Agus, Kamis (20/6). Kesimpulan pendapat dari BI itu adalah, kenaikan harga-harga akan terjadi sampai dengan bulan Agustus.

Lantas, dari mana sumber inflasi?

Sumber inflasi bermula dari kenaikan harga BBM yang kemudian secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi harga produk industri dan jasa. Yang pertama merasakan adalah sektor transportasi. Maklum, hampir 36% biaya operasional bisnis jasa ini habis untuk membeli BBM.

Pantas jika pelaku bisnis transportasi merespons kenaikan BBM dengan menaikkan tarif jasa mereka. Sebab, BBM adalah bahan baku utama pelaku bisnis transportasi dalam menyediakan jasa angkutan kepada khalayak.

Hari perdana berlakunya kenaikan harga BBM subsidi, pelaku usaha angkutan Metro Mini di DKI Jakarta ,sudah menaikkan tarif jasa dari semula Rp 2.000 menjadi Rp 3.000. Kenaikan ini mencapai 50% atau lebih tinggi dari kenaikan tarif yang diusulkan oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) yang mengusulkan kenaikan tarif 35%.

Walaupun kenaikan tari belum mendapat restu pemerintah sampai hari Sabtu (22/7), tetapi tarif itu sudah dipungut dari penumpang. Para pengusaha transportasi berdalih, kenaikan tarif dilakukan karena kenaikan harga tak di BBM saja, tetapi juga operasional serta harga suku cadang.

Ekonom Bank BCA, David Sumual menilai, usai kenaikan tarif transportasi bulan ini, akan menyusul kenaikan harga susulan yang terjadi bulan Juli. Kenaikan harga bulan Juli akan menimpa sektor produk pangan.

Sektor produk pangan ini termasuk bahan pokok serta kebutuhan konsumen harian lainnya. Kenaikan harga di sektor pangan ini sulit dihindarkan, karena produk pangan seperti beras, telur, daging, ayam dan yang lainnya terkait dengan distribusi yang mengandalkan transportasi.

Selain itu, kenaikan harga-harga bulan Juli sulit dihindarkan, karena bulan Juli bertepatan dengan bulan Ramadan, dimana konsumsi pangan naik yang kemudian mempengaruhi permintaan, akhirnya berlaku hukum pasar.

Nah, setelah Juli usai, kenaikan harga kembali terjadi di bulan Agustus. “Lanjutan inflasi bulan ketiga (Agustus) ada di luar sektor pangan,” terang David. Ada banyak sektor yang ada di luar pangan tersebut, antara lain adalah produk konsumsi seperti kendaraan bermotor, properti, fesyen, gadget, jasa hotel, dan banyak lagi.

Perlu diketahui, dampak inflasi cukup bikin pusing pengambil kebijakan. Sebab, dalam teori ilmu ekonomi, inflasi bisa berdampak pada penurunan daya beli yang berujung pada pembatasan produksi oleh pelaku industri karena sepinya peminat.

Nah, jika produksi terganggu, maka terjadi pelemahan kinerja industri. Jika hal terjadi berkelanjutan, akan muncul kelesuan ekonomi yang bisa berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja hingga meningkatnya pengangguran. Intinya, pertumbuhan ekonomi sulit untuk digapai.

Siapa industri yang terpapar bara BBM?

Selain mengerek inflasi yang berdampak di masyarakat, kenaikan harga BBM mempengaruhi kinerja industri. Reza Nugraha, analis dari MNC Securities memperkirakan, kenaikan harga BBM akan dirasakan merata semua emiten untuk semua sektor usaha dan jasa.

Faktor pemicunya adalah, kenaikan harga BBM menambah beban operasional dan biaya produksi serta distribusi produk usaha atau jasa milik industri. Jika biaya produksi dan operasional bertambah, bisa jadi beban perusahaan kian berat untuk mengejar keuntungan.

Biar lebih detail, kita tengok kondisi industri menanggapi kenaikan harga BBM tersebut:

Produk konsumen

Sektor bisnis yang menatap sendu kenaikan harga BBM ini datang dari produk makanan. Kondisi ini dirasakan oleh PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), salah satu pemilik jaringan waralaba restoran Kentucky Fried Chicken (KFC).

Justinus Djuono, Direktur Keuangan FAST bilang, kenaikan harga BBM secara tak langsung akan mempengaruhi kinerja bisnis mereka. “Adanya kenaikan BBM melemahkan daya beli masyarakat," jelas Justinus Djuono, Direktur Keuangan FAST, Rabu (19/6).

Selain melemahnya daya beli, Justinus mengakui adanya risiko kenaikan biaya operasional perusahaan. Sementara itu, kata Justinus, awal tahun lalu, perusahaan baru saja mengalami kenaikan biaya operasional sebesar 6% akibat kenaikan upah minimum provinsi.

Karena beban operasional naik, laba bersih FAST kuartal I ikut turun sedalam 197% menjadi Rp 12,71 miliar dari waktu yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 37,71 miliar. Kali ini, beban operasional perusahaan itu kian berat, sebab kenaikan BBM sudah ketuk palu.

Namun Justinus mengaku akan berusaha menerapkan opsi efisiensi, guna merespons kenaikan harga BBM itu. Jika memang tak ampuh, barulah perseroan menaikkan harga jual produk ayam gorengnya, sebagai cara terakhir. "Langkah-langkah itu kami harap bisa memperbaiki bottom line kami," jelas Justinus.

Selain sektor konsumsi makanan, sektor konsumsi kendaraan bermotor juga terkena dampak harga BBM. Deputi General Manager Sales Division PT Astra Honda Motor (AHM), Thomas Wijaya bilang, masyarakat akan cenderung mengencangkan ikat pinggang menanggapi kenaikan harga BBM.

Akibatnya, kata Thomas, penjualan sepeda motor Honda bisa terkoreksi 10% sepanjang semester II tahun ini. Tak hanya dari kenaikan harga BBM, penurunan penjualan sepeda motor juga dipicu aturan batas minimal uang muka kredit kendaraan bermotor. “Aturan itu berimbas ke penjualan," tambah Direktur Pemasaran PT Yamaha Indonesia motor Manufacturing (YIMM) Sutarya.

Semen dan properti

Lanjutan dari kenaikan harga BBM juga mempengaruhi bisnis industri semen. Apalagi, distribusi semen mengandalkan angkutan transportasi darat yang kini harus menanggung kenaikan BBM. Ahyanizzaman, Direktur Keuangan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) bilang, biaya BBM untuk semen berkisar 15% dari total harga pokok penjualan (HPP).

Maka itu, mengimbangi kenaikan harga BBM itu, solusinya adalah menaikkan harga jual semen. "Kalau harga naik sekitar 10%, dampaknya tidak signifikan terhadap beban BBM perusahaan," kata Ahyanizzaman kepada KONTAN, Rabu (19/6).

Namun, yang mencemaskan adalah, bila harga BBM berimbas pada melorotnya permintaan semen, terutama dari sektor ritel. Maklum, sekitar 80% produksi semen SMGR diserap segmen ritel. Sisanya dijual untuk kebutuhan industri.

Namun begitu, Ahyanizzaman yakin dampak pelemahan permintaan semen hanya bersifat sementara saja. "Biasanya, semuanya akan kembali normal dalam waktu 6 bulan-9 bulan," tutur Ahyanizzaman.

Jika industri bahan baku konstruksi seperti semen dan yang lainnya menaikkan harga jual, otomatis industri turunannya, yaitu properti akan ikut terimbas. “Imbasnya harga rumah naik,” kata Djan Faridz, Menteri Perumahan Rakyat.

Apalagi kata Djan, faktor kenaikan harga rumah atau properti lainnya sudah dipicu oleh kenaikan tarif listrik. Djan memperkirakan, dampak kenaikan harga BBM tersebut akan mengerek harga properti sekitar 10%.

Artinya, jika harga rumah bersubsidi semula dibanderol Rp 95 juta, maka harga setelah kenaikan harga BBM bisa menjadi Rp 104,5 juta. Hal tersebut diakui oleh Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi).

Transportasi

Sektor ini merupakan sektor yang berkaitan langsung dengan kenaikan harga BBM. Sektor bisnis transportasi inilah yang pertama kali merespons kenaikan harga baru BBM dengan cara menaikkan tarif jasa angkutan mereka.

Hal ini diakui Senior Advisor PT Eka Sari Lorena Transport (ESLT), Dwi Rianta Soerbakti. Menurutnya, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM akan direspons dengan menaikkan tarif jasa angkutan. Namun begitu, Dwi mengklaim, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap. "Jika memang ada kenaikan tidak akan memberatkan konsumen," terang Dwi.

Menurut Dwi, perusahaannya justru mendapatkan berkah dari kenaikan BBM. Alasannya adalah, konsumen akan beralih menggunakan angkutan umum. Selain itu, kenaikan tarif juga akan menambah pendapatan ESLT. "Jadi, kami justru diuntungkan dengan kebijakan itu," imbuh Dwi.

Pendapat yang sama juga di sampaikan oleh perusahaan sektor transportasi lainnya, seperti PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI). Operator taksi Express ini mengaku tak ada masalah dengan kenaikan harga BBM.

Merry Anggraini, Sekretaris  Perusahaan TAXI yakin, permintaan layanan taksi tetap tumbuh walaupun harga BBM dinaikkan pemerintah. Maka itulah, perusahaannya tahun ini berkomitmen untuk menambah 2.000 unit taksi lagi.

Kondisi sama disampaikan PT panorama Transportasi Tbk (WEHA). Perusahaan yang dikenal sebagai operator taksi premium White Horse ini juga berniat menambah armada. Angreta Chandra, Direktur Keuangan WEHA mengaku melihat peluang kenaikan permintaan taksi saat harga BBM naik. "Orang akan beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum, termasuk taksi," jelas Angreta.

Namun, pengamat pasar Modal Yanuar Rizky menilai, kenaikan tarif transportasi berpotensi mengurangi jumlah penumpangnya. "Jika tarif kemahalan, pangsa pasar makin menipis karena konsumen beralih alat transportasi lain. Ujung-ujungnya, ya, rugi," ujar Yanuar kepada KONTAN, Rabu (19/6).

Pendapat senada juga disampaikan Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities. Menurutnya, sektor transportasi memasuki masa dilema. Sebab, kenaikan tarif jasa angkutan terlalu tinggi, pengguna jasa transportasi berusaha menggunakan layanan angkutan lebih murah seperti sepeda motor. "Karena orang kemana-mana cari yang cepat, aman, dan nyaman," jelas Reza.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×