Reporter: Adinda Ade Mustami, Dupla Kartini, Emir Yanwardhana | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pasar keuangan domestik ikut panas dingin. Sentimen terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Negeri Paman Sam, masih menyetir pergerakan investor. Terlebih, pelaku pasar global ramai meramalkan ketidakpastian masa depan ekonomi dunia.
Alhasil, Jumat (11/11), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terdepak ke zona merah. Pasar saham domestik jeblok 4,01% ke posisi 5.231,97. Padahal, sehari sebelumnya, indeks sudah mulai adem ayem.
Kejatuhan indeks diawali dengan terpuruknya nilai tukar rupiah. Jumat pagi, kurs rupiah di pasar spot, sempat menjebol level Rp 13.873 per dollar AS, melemah 5,59% dibandingkan hari sebelumnya. Namun kemudian, pada penutupan sore, mata uang Garuda lebih bertenaga dengan kembali ke level Rp 13.383 per dollar AS.
Jika dirunut, sejak kabar mengejutkan terpilihnya Trump sebagai Presiden AS, pergerakan harian IHSG dan rupiah cenderung fluktuatif. Selama tiga hari terakhir (9-11 November 2016), IHSG tercatat turun 4,36%, sedangkan rupiah melemah 2,28%. Dana pemodal asing keluar yang keluar dari pasar saham (nett sell) mencapai Rp 2,83 triliun.
Lalu, bagaimana nasib rupiah dan indeks hingga penghujung tahun ini? Sebelum menerawang lebih jauh, mari cermati dulu rencana kebijakan yang digadang-gadang Trump semasa kampanye.
Mencermati ambisi Trump
Trump dalam kampanyenya mengusung jargon Make America Great Again. Untuk mencapai ambisinya itu, ia sudah menyusun sejumlah rencana.
Pertama, memotong besaran pajak bagi pekerja kelas menengah, dan menerapkan pajak yang kompetitif bagi pebisnis agar tetap bertahan di AS. Pemotongan pajak ini diharapkan bisa membuka lebih banyak lapangan kerja, sehingga menurunkan angka pengangguran.
Kedua, renegosiasi perdagangan bebas antar negara, dan "perang perdagangan" dengan Tiongkok. Ini sebagai bentuk proteksionisme perdagangan AS. Jika ini terjadi, diperkirakan peta perdagangan dunia bakal berubah.
Ketiga, mengalokasikan lebih dari US$ 500 miliar untuk membangun kembali infrastruktur, yang meliputi bandara, jalan raya hingga jembatan.
Keempat, Trump akan membatalkan regulasi Environmental Protection Agency yang dibuat Obama untuk mengekang pemanasan global yang ditimbulkan pembangkit listrik batubara. Ia berjanji menghidupkan kembali industri batubara dan mengembalikan ribuan pekerja sektor ini yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kelima, mencegah datangnya imigran dari wilayah atau negara yang rawan konflik dengan memperkatat pemeriksaan. Selain itu, Trump berencana membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko untuk menghalau imigran gelap.
Ketidakpastian picu fluktuasi
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, tekanan yang melanda pasar pada Jumat, lantaran investor bertaruh ekonomi Amerika akan lebih ekspansif. Wajar, Trump berniat mendorong infrastruktur dan memotong pajak. Ini disinyalir bisa mengerek tingkat inflasi, sehingga Bank Sentral AS (The Fed) akan lebih agresif menaikkan suku bunga acuan. "Ini mendongkrak dollar AS, sehingga rupiah tertekan," katanya, Jumat (11/11).
Sejatinya, program infrastruktur Trump belum tentu segera terealisasi, sebab akan ada hambahan baik dari sisi birokrasi maupun administrasi. Apalagi, sekarang, defisit anggaran AS sudah cukup besar yaitu 3,1%. Ekonomi global juga masih lesu dan pemulihan Paman Sam masih lemah.
Menurut David, spekulasi yang beredar silih berganti. Sebelumnya, pasaca Trump terpilih, pasar berekspektasi The Fed justru akan menunda kenaikan suku bunga dengan sederet program yang diwacanakan Trump. Ini sempat menggerus otot dollar AS, sehingga pasar uang negara berkembang rebound pada Kamis (10/11).
Itu sebabnya, kata David, selama Trump belum menyusun kabinet dan mengumumkan program resminya, pasar akan dipenuhi ketidakpastian. Seperti diketahui, presiden yang diusung Partai Republik ini baru akan menjabat mulai Januari 2017. "Ke depan, rupiah akan sangat volatil, selama ketidakpastian masih melanda pasar," proyeksinya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede bilang, rencana kebijakan Trump yang lebih fokus pada ekonomi domestik dan kebijakan fiskal longgar dengan memangkas pajak, disinyalir akan mendorong kenaikan inflasi lebih cepat dari perkiraan.
Efeknya, terjadi aksi jual di pasar obligasi AS. Imbasl hasil alias yield US Treasury (obligasi AS) sudah naik hampir 30 basis poin ke posisi 2,15% sejak pengumuman pemenang Pemilu. Ini berimbas bagi pasar emerging market, termasuk Indonesia. "Tapi, saya pikir, ini hanya bersifat sementara karena reaksi sell-off di pasar obligasi AS," kata Josua.
Domestik sokong rupiah
Sejumlah analis meyakini, rupiah akan disokong fundamental ekonomi yang cukup tangguh. Apalagi, Josua bilang, ada harapan masuknya dana repatriasi pada akhir tahun ini yang mencapai Rp 100 triliun. "Ini diharapkan dapat membatasi pelemahan mata uang rupiah. Apalagi Bank Indonesia akan berada di pasar untuk menstabilkan rupiah ketika melemah jauh dari level fundamental," ujarnya.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengakui, bank sentral berjaga-jaga di pasar. Menurutnya, Jumat (11/11), BI intervensi di dua pasar sekaligus, yakni pasar valas dan pasar surat berharga negara (SBN).
Bank sentral melihat, kurs rupiah yang sempat melemah, sangat tidak mencerminkan nilai fundamentalnya. "Itu sebabnya, BI melakukan pembelian di pasar SBN untuk menstabilkan rupiah," klaimnya.
Ia menengarai, pelemahan rupiah yang cukup tajam pada Jumat pagi, dipengaruhi dua hal. Pertama, adanya berbagai kajian dari analis yang meramal terpilihnya Donald Trump akan berdampak negatif ke Indonesia.
Padahal, Mirza meyakini, fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih cukup kuat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di atas 5%, lebih baik dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Selain itu, neraca pembayaran mencatat surplus dan neraca dagang berada pada titik yang baik, yaitu 1,83% dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal III 2016. Dari sisi fiskal, pemerintah juga menjaga defisit anggaran pada level 2,5% dari PDB.
Lanjut Mirza, kondisi Indonesia juga berbeda dengan Brazil, Afrika Selatan, atau Meksiko yang memiliki hubungan dagang yang besar dengan AS. Sebaliknya, perdagangan Indonesia lebih terpengaruh dengan China.
Penyebab kedua, adanya kekhawatiran Indonesia akan membatasi perdagangan valas, sebagaimana dilakukan oleh Bank Sentral Malaysia. Seperti diketahui, Bank Sentral Malaysia membatasi perdagangan valas setelah ringgit melemah hampir 5% terhadap dollar AS pada Kamis (10/11) malam.
"Saya tegaskan, Indonesia tidak akan membatasi perdagangan valas di pasar uang, pasar antar bank. Karena yang terbaik adalah membiarkan pasar berjalan dengan baik," tegas Mirza. Dari sisi suplai dan permintaan valas akan seimbang.
Josua menduga, efek Trump kemungkinkan akan menahan rupiah di kisaran Rp 13.100-Rp 13.200 per dollar AS. Namun, ia optmistis, dengan fundamental ekonomi yang bagus, di akhir tahun ini, rupiah akan menguat lagi ke kisaran Rp 13.000-Rp 13.100 per dollar AS.
David meramal, rupiah masih akan terjaga di kisaran Rp 13.000-Rp 13.350 per dollar AS hingga tutup tahun ini. Ia sepakat, fundamental domestik cukup bagus. Dana repatriasi masih akan mengalir, dan harga komoditas sudah mulai membaik. Cadangan devisa juga lebih dari cukup.
"Tapi, sentimen pasar global memang tidak bisa dilawan, sehingga perlu diwaspadai kebijakan fiskal AS ke depan," saran David.
IHSG masih aman?
Seperti halnya di pasar uang, ketidakpastian juga melanda pasar saham Indonesia. Namun, jebloknya IHSG pada perdagangan Jumat dinilai akibat efek rupiah yang ajrut-ajrutan. “Koreksi IHSG yang cukup dalam, lebih dipicu lemahnya rupiah. Itu bikin panik pasar," kata Kiswoyo Adi Joe, analis Recapital Securities.
Sementara, Kim Kwie Sjamsudin, Kepala Riset Yuanta Securities Indonesia menilai, efek Trump tidak akan terlalu besar. Kim masih yakin, pasar saham Indonesia akan tampil outperform, sehingga investor asing yang saat ini berlindung di aset safe haven, akan kembali ke pasar modal.
Meski demikian, dalam jangka pendek, kata Kim, investor harus tetap waspada. Sebab, volatilitas di pasar saham akan tinggi sampai kebijakan ekonomi Trump jelas. "Volatilitas lebih banyak terjadi ke saham yang memiliki orientasi ekspor ke AS," imbuhnya.
Liga Maradona, Analis Recapital Securities bilang, pelaku pasar masih menantikan kebijakan ekonomi Negeri Paman Sam, khususnya terkait perubahan suku bunga The Fed. "Trump cenderung tidak menyukai suku bunga tinggi," tuturnya.
Kepala Riset MNC Sekuritas, Edwin Sebayang memperkirakan, kebijakan ekonomi AS tidak akan merugikan pasar Indonesia. Justru naiknya Trump memunculkan spekulasi Fed funds rate akan ditahan di level saat ini hingga akhir 2016. Alhasil, investor asing yang mencari imbal hasil tinggi pun belum akan pulang kampung ke AS. "Potensi IHSG menyerap dana pasar global masih besar," kata Edwin.
Aksi jual asing pascapemilu AS juga tidak terlalu besar. Dana yang ditarik dari pasar saham juga masih menetap di Indonesia. "Hanya dipindah dari instrumen saham ke obligasi karena lebih aman," imbuh Kiswoyo.
Kiswoyo meramal, IHSG masih bisa naik hingga level 5.500 di akhir tahun ini. “Tahun depan, bahkan berpeluang mencapai 5.800,” proyeksnya.
Senada, Liga yakin, IHSG masih akan aman di atas 5.100 dan tetap bisa ditutup di level 5.500 pada akhir tahun ini. Prediksi ini sudah menghitung rencana The Fed menaikkan suku bunga.
Kim juga optimistis, pasar saham masih akan bergerak sesuai prediksi dan bisa ditutup di level 5.500 pada penghujung tahun ini. Menurutnya, investor justru bisa memanfaatkan koreksi harga saham untuk memulai aksi beli selektif saham-saham yang berorientasi perdagangan domestik, seperti saham properti dan konstruksi.
Sedangkan, analis Asosiasi Analis Efek Indonesia Reza Priyambada melihat, kebijakan ekonomi era Trump dapat mempengaruhi pasar global, termasuk Indonesia. "Tapi saya masih melihat positif bagi bursa Indonesia, apalagi latar belakang Trump seorang pebisnis," paparnya.
Sebagai pebisnis, kata Reza, Trump pasti melihat kebutuhan AS terhadap Indonesia. AS masih membutuhkan banyak barang yang sifatnya komoditas dari Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News