Sumber: AP News,Reuters,Bloomberg | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) akan menggelar pertemuan rutin bulannya pada Rabu 18 September waktu AS atau Kamis 19 September waktu Indonesia. Diperkirakan dalam pertemuan tersebut, The Fed bakal mengumumkan keputusan pemangkasan suku bunga pertamanya dalam empat tahun terakhir.
Pemangkasan terakhir yang dilakukan The Fed terjadi Maret 2020. Saat itu, suku bunga dipangkas mendekati nol untuk mendukung ekonomi AS selama pandemi COVID-19. Suku bunga saat ini yang berada di kisaran 5,25% - 5,50% merupakan suku bunga pinjaman pada level tertingginya dalam 2 dekade.
Kabar pemangkasan suku bunga ini sudah menjadi pembicaraan sejak lama. Namun probabilitasnya semakin meningkat setelah Ketua The Fed Jerome Powell semakin mengisyaratkan Bank Sentral AS akan benar-benar melakukan pemangkasan suku bunga pada September ini.
“Waktunya telah tiba bagi Bank Sentral Amerika Serikat (AS) untuk menurunkan suku bunga, mengingat risiko terhadap pasar tenaga kerja dan inflasi yang semakin mendekati 2%,” ujar Jerome Powell saat berpidato dalam simposium tahunan bank sentral di Jackson Hole, Wyoming, Jerome bulan Agustus lalu.
Baca Juga: Harga Emas Capai Rekor Tertinggi ke Senin (16/9), Menanti Suku Bunga The Fed
Sejak itu, yang menjadi perdebatan di pasar bukan lagi apakah The Fed akan memangkas suku bunga atau tidak? Tetapi lebih pada berapa besaran pemangkasan yang akan dilakukan. Pasar banyak bertaruh apakah The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 bps atau 50 bps.
Pemangkasan kecil sebesar 25 bps bisa berguna untuk melonggarkan kebijakan sementara pemangkasan yang lebih agresif sebesar 50 bps akan membantu pasar tenaga kerja meski berisiko memicu kembali inflasi.
Situasi semakin memanas ketika mantan Ketua The Fed New York, Bill Dudley pada hari Jumat (13/9) menambahkan spekulasi tentang pemotongan suku bunga Fed sebesar 50-bp. Ia mengatakan bahwa suku bunga saat ini 150-200 basis poin di atas suku bunga netral untuk Ekonomi AS, di mana kebijakannya tidak restriktif maupun akomodatif. Mengapa Anda tidak memulainya saja?," katanya.
Sementara para pedagang di Wall Street lebih melihat peluang sekitar 99% untuk The Fed setidaknya melakukan empat kali pemotongan lagi pada suku bunga di tahun 2025. Di mana The Fed bisa menurunkan suku bunga pinjaman utama menjadi antara 3,5 dan 3,75%, 175 bps di bawah level saat ini.
Ditengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian seperti ini biasanya investor banyak beralih memburu aset lindung nilai. Aset ini bisa berupa komoditas seperti emas dan perak, tetapi juga berupa mata uang.
Mengutip investopedia, mata uang lindung nilai adalah mata uang yang diharapkan dapat mempertahankan atau meningkatkan nilainya selama periode turbulensi pasar. Investor sering memburunya sebagai bentuk keamanan finansial.
Sekarang ini ada 3 jenis mata uang yang dikenal sebagai mata uang lindung nilai. Mereka adalah dollar AS (USD), Franc Swiss (CHF) dan Yen Jepang (JPY). Ketiganya dianggap sebagai safe haven karena memiliki likuiditas yang kuat, inflasi yang rendah dan sistem politik yang stabil.
Sebenarnya sebelum The Fed memangkas suku bunga, pekan lalu Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) pada Kamis (13/9) juga telah memangkas suku bunga sebanyak 25 bps sehingga menyebabkan euro menguat dan menekan indeks dolar 0,08% lebih rendah ke level 101,08.
"Kemungkinan kebijakan Fed yang lebih dovish mendorong dolar melemah dan mendorong banyak mata uang lainnya menguat," kata John Velis, ahli strategi valas dan makro di BNY Mellon di Boston seperti dikutip dari Reuters, Senin (16/9).
Baca Juga: Bursa Australia Hampir Sentuh Rekor Tertinggi, Pasar Tunggu Keputusan The Fed
Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo mengatakan menjelang Menjelang keputusan FOMC (Federal Open Market Committee), mata uang safe haven seperti Dolar AS (USD), Franc Swiss (CHF), dan Yen Jepang (JPY) biasanya menunjukkan pergerakan yang signifikan. Permintaan ketiga mata uang tersebut cenderung meningkat di tengah ketidakpastian pasar.
Meski begitu, Sutopo melihat efeknya hanya sesaat. Keputusan pemotongan suku bunga pekan ini, hanya akan memberikan efek volatilitas sementara.
“Misalnya untuk dollar AS, pasar telah mengantisipasi pelemahan dollar jauh hari sebelum keputusan dibuat,” terangnya.
Sementara pengamat mata uang Lukman Leong menyebut pertemuan The Fed kali ini cukup kompleks untuk menebak arah mata uang lindung nilai. Ini sangat bergantung pada bagaimana pasar mencerna besaran suku bunga yang dipangkas.
“The Fed memangkas 50 bps dan 25 bps hasilnya akan beda. Reaksi pasar bisa beragam,” ujarnya kepada Kontan.
Menurutnya dengan probalitas yang lebih tinggi yaitu pada pemangkasan 25 bps, seharusnya ini tidak berdampak banyak dan lebih mudah diterima pasar. Sedangkan jika akhirnya dipangkas 50 bps, itu akan menjadi sentimen negatif ke pasar dan berpotensi mendorong aset beresiko turun tajam.
Lukman bilang meski ini bisa menjadi katalis postif, tetapi pengaruhnya ke mata uang lindung nilai yang satu dan yang lain belum tentu sama. Apa yang terjadi pada dollar AS, Yen maupun Franch bisa berbeda-beda.
Mari simak peluang masing-masing mata uang safe haven berikut :
1. Dollar AS
Sejak wacana pemangkasan suku bunga The Fed semakin menguat Agustus lalu, dollar AS sudah mengalami tekanan cukup berat. Bahkan 27 Agustus 2024 lalu, indeks mencatatkan level terendahnya di tahun ini pada 100.552. Secara year to date (ytd), indeks dollar AS sudah melemah 1,2% dari posisi awal tahun di level 102.200.
Sutopo bilang meski ada peluang permintaan untuk USD cenderung meningkat karena investor mencari keamanan di tengah ketidakpastian pasar, tetapi pasar telah bersiap sejak lama. Bisa jadi yang terjadi sebaliknya, greenback malah akan menguat karena efek taking profit sepanjang FOMC berlangsung.
Hal ini pun diamini oleh Lukman. Menurutnya ketika The Fed memangkas suku bunga sebanyak 25 bps, itu tidak akan menimbulkan kekhawatiran terhadap ekonomi. Pasar bisa mencerna sebaliknya.
“Dollar AS bisa saja menguat alias rebound karena selama ini sudah menguat terlalu banyak,” cetusnya.
2. Yen Jepang
Walaupun tergolong mata uang lindung nilai, yen Jepang cukup tertekan di tahun ini. Pertengahan September lalu, yen sempat turun ke level terendahnya sejak 38 tahun lalu. Pada Senin (16/9) pukul 14.20 wib, yen di pasar spot malah sempat menyentuh rekor terendah baru dengan berada di level 139,76.
Namun jika dibandingkan dengan dollar AS, nilai tukar yen menguat 0,6% menjadi 139,96. Ini menjadi level terkiat sejak Juli 2023. Ditengah kepastian The Fed menurunkan suku bunga acuan, kini pergerakan yen bergantung pertemuan Bank of Japan yang diperkirakan akan tetap menahan suku bunga acuannya.
"Hal yang paling mendukung yen adalah hitungan mundur menuju Fed dan risiko bahwa mereka mungkin melakukan pemotongan suku bunga sebesar 50 bps, bukan 25 bps," ujar Gareth Berry, seroang ahli strategi di Macqurie Group Ltd di Singapura.
Hal senada pun diungkapkan Lukman. Menurutnya ketika pemangkasan The Fed mencapai 50 bps, maka ini akan meredakan tekanan yang dialami yen selama ini.
3. Franc (Swiss)
Mata uang lindung nilai yang paling tenang dari gejolak adalah Franc Swiss. Meski masih sama-sama tecatat melemah sejak awal tahun, tetapi mata uang ini sempat mencatatkan posisi terkuat dibandingkan euro sejak tahun 2015.
Lukman melihat peluang Franc untuk menguat masih cukup besar karena tidak ada rencana pemangkasan suku bunga yang akan dilakukan Bank Sentral Swiss.
“Untuk jangka panjang masih menarik karena basic fundamentalnya lebih kuat dibanding yen. Namun perlu koreksi terlebih dahulu sebelum masuk ke pasar. CHF masih boleh dipertimbangkan jika bergerak pada level 0.8650,” timpal Sutopo.
Selanjutnya: Tito Jackson, Anggota Jackson 5 Meninggal Dunia pada Usia 70 Tahun
Menarik Dibaca: 6 Posisi Tidur Terbaik hingga Terburuk untuk Ibu Hamil yang Direkomendasikan Ahli
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News