Reporter: Abdul Basith, Benedicta Prima, Grace Olivia, Lidya Yuniartha, Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah menekan defisit neraca transaksi berjalan atawa current account deficit (CAD) tampaknya belum membuahkan hasil yang signifikan. Pada Januari 2019 lalu, defisit neraca dagang Indonesia mencatat rekor terburuk sebesar US$ 1,16 miliar. Defisit ini yang terbesar sejak 2002. Bahkan mengalahkan defisit terburuk sebelumnya pada Januari 2014.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 3,24% ketimbang bulan sebelumnya dan menyusut 4,7% secara year on year (yoy). BPS mencatat hampir semua sektor ekspor pada Januari 2019 menurun. Sementara impor juga menurun tipis secara bulanan 2,19% menjadi US$ 15,03 miliar. Tapi secara sektor, impor bahan baku dan penolong meningkat dan merupakan kontributor utama impor.
Defisit neraca dagang di Januari 2019 tersebut merupakan kelanjutan defisit neraca dagang sepanjang 2018 yang membengkak menjadi US$ 31,1 miliar. Angka ini setara 2,98% terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit tersebut melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan CAD tahun 2017 yang hanya US$ 16,1 miliar atau 1,7% dari PDB.
Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) telah berupaya menekan defisit CAD tesebut sejak tahun lalu. Berbagai upaya telah diambil termasuk kebijakan-kebijakan yang menekan impor menggenjot ekspor. Namun tampaknya belum mampu mendobrak defisit neraca dagang yang terus berlanjut.
Meski demikian, ada harapan, pada tahun ini, pemerintah dapat memperkecil defisit CAD seturut dengan meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang selama ini dituding sebagai biang kerok melemahnya ekspor Indonesia. Apalagi sudah ada sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) untuk menekan defisit neraca perdagangan.
BI mengerem kenaikan suku bunga
Sejak awal tahun BI telah memberikan sinyal tidak lagi menggerek kenaikan suku bunga secara agresif. Hal ini sebagai respon dari kebijakan The Fed yang juga menyatakan tidak lagi menggerek suku bunga tahun ini seagresif tahun lalu.
Maka dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan lalu, Bank Indonesia menahan kenaikan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 6%. Sejumlah ekonom yang diwawancara Kontan.co.id memprediksi, BI berpotensi menurunkan suku bunga acuan pada semester II tahun ini. Bila hal ini terjadi, maka ada potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia menggeliat.
Pasalnya, dengan suku bunga yang tinggi saat ini, perusahaan-perusahaan dalam negeri memilih menahan laju ekspansi karena bunga pinjaman perbankan yang tinggi. Tapi dengan penurunan suku bunga, maka bunga pinjaman pun akan turun, sehingga korporasi bisa melakukan ekspansi yang dapat meningkatkan produksi dan berdampak pada penguatan ekspor. Dengan demikian, CAD diharapkan dapat ditekan.
Melonggarkan kenaikan PPh Pasal 22 Impor
Untuk mengungkit ekspor, Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah mempertimbangkan merelaksasi kenaikan taif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor terhadap 1.147 barang konsumsi. Keputusan ini diambil untuk merangsang industri dalam negeri, yang bebahan baku impor, dan berorientasi ekspor, agar dapat meningkatkan produksi dan menggenjot ekspor.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah segera mengkaji kembali kebijakan pengenaan PPh impor terhadap 1.147 barang konsumsi. "Karena kemarin tujuannya untuk mengendalikan impor. Kami bayangkan bisa ada substitusinya dari dalam negeri. Kalau ternyata ini mengganggu supply chain terhadap ekspor, nanti akan kami lihat, akan langsung kami respons," ujar Sri Mulyani.
Namun demikian, relaksasi kebijakan tersebut hanya ditujukan khusus bagi pengusaha yang mengimpor barang konsumsi untuk kebutuhan ekspor. Pelaku usahanya yang mengimpor untuk tujuan ekspor kembali, bakal dikecualikan dari tarif pph 22 impor.
Meningkatkan penggunaan TKDN
Dalam rangka menekan CAD, sejak tahun lalu, pemerintah getol mendorong industri meningkatkan penggunaan komponen lokal atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Bahkan, pemerintah rela mengerem laju pembangunan proyek konstruksi, yang merupakan program utama Jokowi-Jusuf Kalla demi menekan impor. Sebab, sebagian besar bahan baku proyek infrastruktur masih menggunakan komponen impor.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, tingkat komponen dalam negeri yang ideal adalah 90%. Sementara pada waktu itu, TKDN dalam konstruksi Pelabuhan Patimban, contohnya, mencapai 60%-70% dan ditargetkan dapat meningkat 5% lagi untuk menekan laju impor.
Upaya-upaya menekan impor dan meningkatkan produk substitusi dalam negeri memang berhasil menekan impor. Hal itu terlihat dari penurunan impor pada Januari 2019 yang turun 2,19% secara bulanan menjadi US$ 15,03 miliar. Kendati impor turun, tapi ekspor terpukul akibat perang dagang AS-China sehingga defisit neraca dagang tetap lebar. BPS mencatat ekspor pada Januari turun 3,24% secara bulanan menjadi US$ 13,87 miliar.
Pengembangan program B20 menuju B100
Sejak diterapkapkan pada September 2018 lalu, program biodiesel 20% atawa B20 telah mulai dijalankan. Hingga Januari 2019, realisasi penyaluran biodiesel untuk program percampuran biodiesel ke bahan bakar minyak (BBM) jenis solar sebesar 20% telah mencapai 89%.
BPS mencatat, penurunan impor pada Januari 2019 lalu salah satunya disebabkan penurunan impor minyak dan gas. Impor migas tercatat turun sebesar 16,58% dari US$ 2,03 miliar pada Desember 2018 menjadi US$ 1,67 miliar pada Januari 2019. Karena terbukti berhasil menekan impor, pemerintah saat ini tengah merancang program B20 diperluas lagi hingga menuju B100.
Hal ini dipertegas Jokowi dalam debat pilpres 2019. Sebagai calon presiden petahana, Jokowi mengatakan pemerintah siap menerapkan B100 dalam waktu dekat untuk menekan impor dan meningkatkan penggunaan produk lokal.
Produsen sawit dalam negeri juga menyambut positif kebijakan pemerintah ini. Di tengah ketergantungan pasar kelapa sawit pada ekspor, peningkatkan konsumsi dalam negeri diharapkan dapat mengungkit kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar ekspor.
Kurangi melancong ke luar negeri
Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah orang Indonesia yang bepergian ke luar negeri tahun lalu naik 7% menjadi 9,76 juta orang dibandingkan 2017 yang sebanyak 9,08 juta orang. Pelancong ini termasuk wisatawan, perjalanan ibadah, orang berobat dan perjalanan bisnis.
Sementara pada periode serupa, jumlah wisatawan asing ke Indonesia sekitar 13,14 juta orang naik 7,70% dari tahun 2017 yang mencapai 12,20 juta orang. Meski begitu, jumlah tersebut masih di bawah target 14 juta orang. Melesetnya target ini akibat rentetan bencana alam yang menerpa Indonesia tahun lalu.
Akibatnya, pada tahun lalu neraca jasa tercatat minus sekitar US$ 7,1 miliar. Karena itu, pada tahun ini pemerintah menyerukan untuk mengurangi perjalanan ke luar negeri karena akan menyedot devisa.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya mengatakan, pihaknya menargetkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tahun ini harus mencapai 20 juta orang. Untuk itu pemerintah tengah gencar mempercepat penyelesaian destinasi pariwisata 10 Bali baru.
Dari 10 destinasi, pemerintah memberikan prioritas kepada empat destinasi yakni Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo. Borobudur menjadi fokus utama karena kunjungan wisman ke salah satu keajaiban dunia itu kalah jauh dibandingkan dengan candi Angkor Wat, di Kamboja. "Kita hanya 250.000 jumlah wismannya, Angkor Wat 2,5 juta," terang Arief.
Pemerintah menganalisa, rendahnya kunjungan wisman ke Borobudur karena keterbatasan akses. Saat ini kapasitas bandara Adi Sucipto di Yogyakarta sudah tidak sesuai dengan bebannya. Masalah tersebut dapat teratasi dengan adanya bandara baru di kulon progo yang segera beroperasi dalam waktu dekat.
Apakah upaya pemerintah menekan defisit neraca transaksi berjalan pada tahun ini tersebut akan membuahkan hasil? Biarlah waktu yang menjawab nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News