Reporter: Adi Wikanto, Uji Agung Santosa | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Jika diibaratkan tubuh manusia, gas alam bagi industri manufaktur seperti pupuk dan keramik adalah darah. Tanpa pasokan darah yang cukup, maka bagian tubuh yang lain tidak akan berfungsi baik, bahkan mati. Kondisi inilah yang sekarang dialami oleh sejumlah industri manufaktur yang banyak membutuhkan pasokan gas untuk bertahan hidup.
Tidak hanya butuh pasokan gas yang cukup, industri-industri itu juga berharap harga gas yang tinggi di Indonesia bisa turun. Sebab dengan harga yang tinggi, industri dalam negeri tidak akan bisa bersaing dengan produk-produk serupa dari luar negeri.
Data SKK Migas menunjukkan, harga gas di Jawa Timur sekitar US$ 8,01-US$ 8,05 per million British thermal unit (mmbtu), Jawa bagian barat di kisaran US$ 9,14-US$ 9,18 per mmbtu, sedangkan harga gas untuk wilayah Sumatra bisa mencapai US$ 13,90-US$ 13,94 per mmbtu.
Harga yang tinggi mencekik industri. Dibandingkan dengan harga gas di negara-negara lain, harga gas di Indonesia tiga kali lipat lebih mahal. Beberapa negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan China, patokan harga gas hanya sekitar US$ 4-US$ 4,55 per mmbtu.
Bahkan, harga gas industri di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN, seperti Singapura sekitar US$ 4-US$ 5 per mmbtu, Malaysia hanya US$ 4,47 per mmbtu dan Vietnam US$ 7,5 per mmbtu. “Di Sumatra Utara harga gasnya US$ 13,9 per mmbtu, tidak masuk akal”, ungkap Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution saat memimpin Rapat Koordinasi Pembahasan Harga Gas untuk Industri, Senin (15/8), di Jakarta.
Kondisi ini memuat pemerintah terhenyak. Oleh karena itu pada Paket Kebijakan Ekonomi III yang diumumkan pada 7 Oktober 2015, pemerintahan Jokowi-JK berjanji untuk memberikan harga gas murah bagi industri dalam negeri. Selain untuk meningkatkan daya saing, janji ini adalah insentif agar tidak terjadi pengurangan tenaga kerja di industri manufaktur.
Namun apa daya, setahun berjalan, kebijakan itu baru ada di atas kertas. Pada kenyataanya industri masih harus membayar gas dengan harga yang mahal. Inilah yang menyebabkan pemerintah seperti kebakaran jenggot.
Sejak sebulan terakhir, hampir setiap pekan di Istana Presiden berlangsung rapat terbatas yang membahas penurunan harga gas industri. Hal ini tentu mengecewakan.
Presiden Jokowi pun mengeluhkan kondisi tersebut. Apalagi dirinya sudah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi.
Aturan turunannya pun sudah ada, yakni Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 16 Tahun 2016 pada 22 Juni 2016 tentang tata cara penerapan harga dan pengguna gas bumi tertentu.
Dengan payung hukum itu, Menteri ESDM menetapkan harga gas industri maksimal sebesar US$ 6 per mmbtu. Harga gas murah ini berlaku untuk tujuh sektor industri manufaktur, yakni industri baja, industri keramik, industri kaca, industri petrokimia, industri pupuk, industri oleochemical dan industri sarung tangan karet.
Kebutuhan wajib
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menggambarkan bagaimana pentingnya penurunan harga gas bagi industri. “Penurunan harga gas merupakan kebutuhan wajib bagi industri,” katanya.
Sebab gas bagi industri manufaktur bukan hanya bahan bakar, tapi bahan baku. Tanpa gas, industri manufaktur sulit tumbuh dan berkembang.
Bahkan dia juga meminta, selain tujuh sektor industri manufaktur yang sudah ditetapkan, harga gas murah juga diberikan untuk yakni industri makanan dan minuman, pulp dan kertas, tekstil dan alas kaki, ban, dan semua industri manufaktur di kawasan industri.
Apalagi kebutuhan gas semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, penggunaan gas bumi untuk sektor industri mencapai 2.280 million metric standard cubic feet per day (MMscfd).
Dari jumlah itu untuk bahan baku industri pupuk dan petrokimia sebesar 1.086 MMscfd, untuk industri keramik, kaca, dan semen sebanyak 337 MMscfd, serta sebagai energi untuk industri lain sebesar 857 MMscfd.
Selain dari Pertamina, pasokan gas juga berasal dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Sejauh ini, PGN merupakan distributor gas terbesar di Indonesia bagi sektor hilir, dengan kontribusi sekitar 70%.
Untuk penyaluran gas ke industri skala besar dan pembangkit listrik, PGN sudah punya 1.576 pelanggan per kuartal I 2016. Jumlah itu naik dibandingkan akhir tahun 2015 ada 1.529 pelanggan industri dan pembangkit listrik.
Dengan kebutuhan akan gas yang makin besar, pembangunan infrastruktur gas juga makin penting. PGN menargetkan dapat penambah panjang pipa gas bumi sepanjang 1.685 kilometer (km) dalam periode 2016-2019. Nantinya pada 2019 total panjang pipa PGN menjadi 8.656 km.
Nah, dengan penambahan jaringan pipa gas, maka akan semakin banyak industri yang beralih menggunakan gas sebagai bahan bakar dan bahan baku. Apalagi, jika pemerintah merealisasikan penurunan harga gas, tentu pelaku industri semakin terpikat memakai gas.
Penghematan biaya
Direktur Utama PGN Hendi Prio Santoso yakin penambahan pipa akan meningkatkan penyaluran gas bumi sehingga semakin banyak kawasan industri yang bakal mendapatkan aliran gas. "Dengan penambahan panjang pipa 8.656 km, dapat meningkatkan kemampuan pemanfaatan gas bumi sebanyak 1.902 juta kaki kubik per hari (MMscfd)," kata Hendi dalam situs resmi PGN.
Hendi menambahkan, dengan pemanfaatan gas bumi sebanyak 1.902 MMscfd, dapat menciptakan penghematan sebesar Rp 110,9 triliun. Sepanjang 2015 penyaluran gas bumi PGN sebanyak 1.586 MMscfd, ini memberikan penghematan sekitar Rp 88 triliun ke pelanggan PGN.
Menurunkan harga gas memang bukan pekerjaan mudah. Pemerhati migas Hendra Jaya mengatakan, kebijakan harga gas murah harus dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen. “Mulai dari sisi hulu, transmisi, distribusi, hingga pajak dan marjin,” katanya pada seminar bertajuk “Penurunan Harga Gas Industri untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi Nasional”, Kamis (6/10)
Pada sisi hulu, penurunan bisa dilakukan dengan mengurangi porsi pemerintah dalam konteks bagi hasil dengan KKKS. Selain itu perlu juga ada penetapan harga yang tidak semata-mata dari keekonomian namun dikaitkan dengan harga minyak
Untuk sisi transmisi penurunan harga bisa dilakukan melalui optimalisasi pipa open access. Sedangkan pada sisi distribusi penurunan harga gas bisa dilakukan melalui optimalisasi pipa distribusi untuk dapat dimanfaatkan oleh pihak lain.
Sementara untuk sisi pajak dan marjin, komponen yang bisa dipergunakan untuk penurunan harga gas adalah dengan memberikan insentif pajak bagi badan usaha, mengurangi iuran BPH Migas untuk pipa open access, serta dengan pembatasan marjin niaga gas. “Di antara berbagai komponen itu yang cukup besar kontribusinya adalah terkait penggunaan pipa bersama,” katanya.
Walau susah namun pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya menurunkan harga gas hingga US$ 5 per mmbtu. Untuk itu ada tiga cara yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini.
Pertama, melakukan amendemen kontrak jual beli gas (PJBG) pada 31 kontrak. Kedua, membuat klaster gas berdasarkan lokasi pasokan dan pembeli gas. Dam ketiga melakukan impor gas.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja mengungkapkan, sampai saat ini pemerintah masih membahas dan menganalisa optimalisasi amandemen kontrak jika gas jadi dilaksanakan.
Sejumlah kontrak pun tengah dikaji agar harga gas bagi industri bisa turun. "Kontraknya banyak, semua kontrak yang harga hulunya lebih dari US$ 4 per mmbtu," ujarnya, Rabu (12/10).
Multiplier effect
Bukan hanya penghematan dan peningkatan daya saing. Penurunan harga gas juga akan membawa efek berganda atau multiplier effect yang berpengaruh positif kepada perekonomian nasional.
Dengan harga gas yang murah, industri akan tumbuh, tenaga kerja terserap dan devisa bisa dihemat. “Apabila harga gas di Indonesia berada pada level yang sama dengan negara-negara tetangga, maka kami yakin produk-produk Indonesia akan memiliki daya saing yang makin kuat,” tegas Airlangga.
Apalagi industri manufaktur adalah organ penting perekonomian Indonesia. Kontribusi industri manufaktur dalam ekspor non migas sudah besar dan terus meningkat.
Sumber: BPS
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, 10 industri yang diusulkan mendapat keringanan harga gas merupakan eksportir utama produk non migas Indonesia. Contohnya industri lemak dan minyak hewan/nabati untuk produk industri oleokimia yang memberi pemberi porsi terbesar di ekspor non migas. Lalu ada industri besi dan pupuk yang juga berada di 10 besar.
Sumber: BPS
Jika industri manufaktur benar-benar merasakan diskon harga gas, maka kinerja ekspor pasti akan terdongkrak. Industri yang selama ini kelimpungan memenuhi produk dalam negeri juga akan semakin terpacu menghasilkan barang. Dengan demikian, harga akan semakin murah dan bisa menekan impor.
Daya saing
Di industri pupuk misalnya, selain harus menghadapi harga gas yang tinggi, mereka juga harus berhadapan dengan masuknya pupuk impor dengan harga murah. Selain pupuk, impor besi baja juga semakin banyak karena aktivitas pembangunan infrastruktur yang kian gencar.
Untuk bisa bertahan perusahaan pupuk pun mulai mendiversifikasi usaha, salah satunya ke sektor properti. Ini dilakukan oleh PT Pupuk Kujang, salah satu anak usaha PT Pupuk Indonesia yang bakal mengembangkan bisnis hotel di Cikampek.
Direktur Produksi Pupuk Kujang, Maryono, menjelaskan, saat ini harus membayar harga gas kepada Pertamina US$ 6–US$ 7 per mmbtu. Sedangkan untuk bertahan hidup, harga gas ideal sekitar US$ 4 per mmbtu. "Sekitar 80% bahan baku industri pupuk adalah gas. Jika harga gas turun industri pupuk bisa bersaing," tandas Maryono.
Sekjen Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia Dadang Heru Kodri menghitung, dengan biaya produksi pupuk urea dikisaran US$ 250 per ton, maka jika harga gas di bawah US$ 4 per mmbtu akan menurunkan biaya produksi urea sebesar US$ 45 per ton atau menjadi US$ 205 per ton. “Industri pupuk perlu mendapatkan harga gas sebesar US$ 2 – US$ 4 per mmbtu sesuai dengan mayoritas harga gas di dunia untuk industri pupuk,” ungkap Dadang.
Profil Pabrik Pupuk Indonesia Group
Pabrik Pupuk | Kapasitas (ton/tahun) | Konsumsi Energi (mmbtu/ ton) |
PT Pupuk Iskandar Muda | 1.140.000 | 30 |
PT Pupuk Sriwidjaja | 2.170.000 | 34 |
PT Pupuk Kujang | 1.140.000 | 30 |
PT Petrokimia Gresik | 460.000 | 26 |
PT Pupuk Kalimantan Timur | 3.435.000 | 26 |
Total PI Group | 8.345.000 | 30 |
Sumber: Kementerian ESDM
Pentingnya gas bagi pelaku bisnis juga dirasakan bagi industri petrokimia. Sama seperti industri pupuk, industri petrokimia juga berharap gas bukan dianggap sebagai komoditas, tapi infrastruktur yang akan menentukan pengembangan industri.
Sekretaris Jenderal Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) Fajar Budiono, menghitung, setiap penurunan harga gas sebesar US$ 1 per mmbtu, maka harga rata-rata produk kimia turun hingga 10%. Oleh karena , harga gas industri harus segera turun demi mendongkrak daya saing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News