Reporter: Fahriyadi, Noverius Laoli, Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
SERUYAN. Bukkk!!! setandan buah kelapa sawit jatuh. Sesaat, galah panjang dengan sabit di ujungnya memotong tandan buah sawit dari pohonnya.
Salah seorang petani sawit mandiri / swadaya Hanau, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng) mencoba mendemonstrasikan cara memanen tandan buah segar (TBS) sawit di hadapan Bupati Seruyan Sudarsono dan sejumlah perwakilan organisasi lingkungan, lembaga donor dan sektor swasta yang merupakan peserta Tropical Forest Alliance (TFA), Sabtu (12/3) lalu.
Sudarsono pun lantas menuturkan perkebunan kelapa sawit menjadi tulang punggung perekonomian bagi kabupaten dengan luas wilayah sekitar 16.404 Km persegi (11,6% dari luas Kalteng). Tengok saja, total areal tanaman kelapa sawit mencapai 11.479 ha dengan jumlah perusahaan yang bergerak di perkebunan kelapa sawit mencapai 35 perusahaan.
Sedangkan, menurut perkiraannya kepemilikan perkebunan sawit mandiri mencapai 5.000 petani di mana setiap petani memiliki lahan 1 hingga 25 ha. “Tersebar di 10 desa, 60% petani merupakan penduduk asli (petani Dayak),” ujarnya.
Kampanye negatif yang dilancarkan di pasar ekspor terutama Uni Eropa, dengan tudingan minyak sawit (crude oil palm) asal Indonesia tidak ramah lingkungan menjadi tantang berat industri sawit sekarang ini. Sejauh ini, pasar CPO Indonesia ke Uni Eropa masih di bawah China, India, dan Pakistan.
Isu deforestasi menjadi sangat sensitif di industri kelapa sawit. Terlepas di balik motif persaingan pasar, namun alasan ini yang kemudian melatarbelakangi Prancis untuk mengenakan pajak progresif bagi produk CPO dalam negeri.
Kebijakan ini rencananya akan berlaku pada 2017 sebesar 300 euro per ton dan terus naik sehingga pada 2020 menjadi sebesar 900 euro per ton. Tapi syukurlah, akhirnya Prancis melunak dengan mau menurunkan pajak dari semula 300 euro menjadi 90 euro per ton. Setelah upaya lobi yang terus dilakukan pemerintah Indonesia.
Seiring dengan itu, tuntutan regulasi pun semakin ketat mengatur keberadaan perkebunan kelapa sawit. Mulai dari Sustainability Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO). Sertifikasi ini belum termasuk komitmen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang dibentuk perusahaan eksportir CPO raksasa sejak 2014 silam.
“Saya khawatir bila suatu hari nanti, ketika perusahaan mampu mengikuti peraturan ISPO dan RSPO, maka siapa yang mau membeli sawit dari petani?,” katanya.
Asal tahu saja, RSPO merupakan asosiasi nirlaba internasional yang berdiri pada tahun 2004 dan mempersatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan (Certified Sustainable Palm Oil/CSPO).
Perusahaan yang miliki sertifikat RSPO (per 11 Maret 2016)
Perusahaan Kelapa Sawit | Total Areal Bersertifikat | Total Areal Produksi | Total CSPO | Total CSPK |
Bumitama Agri Ltd, Cargill Incorporated, Golden Agri Resources Ltd, Goodhope Asia Holdings Ltd, Kuala Lumpur Kepong Berhad, M.P Evans Group PLC, PT Agrowiratama, PT Austindo Nusantara Jaya Agri, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, PT Berkat Sawit Sejati, PT Dharma Satya Nusantara, PT Indosawit Subur, PT Ivo Mas Tunggal, PT Musim Mas, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, PTPN IV, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, PT Rimba Mujur Mahkota, PT Sawit Sumbermas Sarana, PT Siringo Ringo, PT Smart Tbk, PT Swakarsa Sinarsentosa, PT Barumun Agro Sentosa, PT Brahman Binabakti, PT Gawi Bahandep Sawit Mekar, PT Gawi Makmur Kalimantan, PT Unggul Lestari, R.E.A Holdngs Plc, Sime Darby Plantantion Sdn Bhd, SIPEF Group, Socfin Group, Wilmar International Ltd | 1.576.572 | 1.292.526 | 6.506.190 | 1.459.533 |
Sumber: rspo.org
Sedangkan ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.
Kegelisahan ini yang akhirnya menggerakkan untuk memastikan semua produksi dan diproses kelapa sawit di Seruyan akan disertifikasi sebagai berkelanjutan. Atau lebih dikenal dengan singkatan sertifikasi yurisdiksi.
Sertifikasi yuridiksi
Lalu apa sebenarnya sertifikasi yuridiksi ini?, Tak lain mendorong seluruh yuridiksi agar memenuhi sebagian atau seluruh kriteria yang diatur dalam sistem sertifikasi berkelanjutan, baik ISPO atau RSPO.
Beberapa masalah keberlanjutan seperti deforestasi, perlindungan wilayah bernilai konservasi tinggi, legalitas, penelusuran bahan pasokan, dan penerapan free prior and informed consent.
Sudarsono menegaskan kini tantangan bagi perusahaan dan petani sawit wilayahnya untuk memenuhi standard keberlanjutan yakni legalitas dan praktik-praktik perkebunan yang tidak berkelanjutan.
Lalu apa yang akan dilakukan Pemda Seruyan?, Pertama, melakukan pendataan secara langsung guna mengetahui keberadaan luasan perkebunan kelapa sawit dan produksi yang dihasilkan. Kedua, keberadaan luasan perkebunan sawit milik petani dengan status lahannya supaya yang digunakan dapat clear n clean.
Sudarsono menjelaskan dalam pemetaan ini pihaknya menggandeng mitra Institut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU). Mengacu data sementara, terdapat perkebunan kelapa sawit seluas 400 ha milik 800 petani mandiri mencakup empat desa.
“Target kami sekitar 5.000 petani dengan luasan sekitar 10 ribu- 15 ribu ha. Pemetaan ini akan selesai sepenuhnya akhir tahun ini,” katanya.
Kesuksesan pemetaan tersebut merupakan proses awal bagi diterbitkan legalitas petani, seperti surat tanda daftar budidaya (STDB) dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL) yang merupakan persyaratan mendapatkan ISPO.
“Kami telah melakukan pemetaan atas lebih dari 2.000 petani kelapa sawit mandiri di Kotawaringin Barat dan Seruyan. Kami juga sedang dalam tahap persiapan uji coba pemberdayaan petani menuju sertifikasi ISPO dan RSPO,” kata Direktur INOBU Guntur Cahyo Prabowo.
Asa petani sawit
Sebenarnya, petani sendiri pun sudah memahami perihal perkebunan keberlanjutan. Pasalnya sudah menjadi tuntutan pasar saat sekarang ini. “Yang memang seharusnya begitu. Jadi kita tahu mana sawit yang bagus itu,” kata Sarnan, petani asal Seruyan.
Namun memang butuh waktu, pasalnya sejauh ini petani mandiri masih banyak belum bergabung dengan wadah semacam kelompok petani. Alhasil, informasi dan pengetahuan perihal perkebunan keberlanjutan masih berjalan lambat.
“Sejauh ini kami masih dibantu para penampung, jadi produksi sawit kami masih bisa laku di pasaran. Baik itu sesuai standar atau tidak,” katanya.
Sarmin sendiri memiliki 15 ha perkebunan sawit, dua kali dalam sebulan dirinya mampu panen sekitar 21 ton. Saat ini harga Rp TDS 1.100 - Rp 1.400 per kg.
Senada juga disampaikan oleh Parmin, petani sawit asal Desa Pangkalan Tiga, Kotawaringi Barat menegaskan perkebunan berkelanjutan ini memberikan harapan bagi para petani. Setidaknya untuk mencapai produksi sawit yang bagus, harga yang stabil, dan aturan yang lebih baik. “Intinya tetap semangat,” kata petani Sarmin.
Ya, sejauh ini kendala yang menyelimuti para petani yakni seputaran bibit sawit yang unggul, pasokan pupuk yang lancar, dan harga TDS. “Harga TDS sempat menyentuh Rp 600 per kg, kalau sekarang cukup baik,” paparnya.
Asal tahu saja, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama tujuh tahun terakhir cenderung menunjukkan peningkatan, naik sekitar 3,27 sampai dengan 1,33% per tahun.
Pada tahun 2009, lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat seluas 7,95 juta ha, meningkat menjadi 10,46 juta ha pada tahun 2013. Pada tahun 2014, diperkirakan luas areal perkebunan sawit masih meningkat sebesar 4,69% dari tahun 2013 menjadi 10,96 juta ha dan di tahun 2015 meningkat sebesar 4,46% menjadi 11,44 juta ha.
Indonesia pun masih memuncaki posisi teratas produsen CPO terbesar di dunia. Indonesia adalah produsen 40 juta ton minyak sawit, sedangkan Malaysia 30 ton. Kedua negara ini menguasai 85 % produksi sawit dunia.
Sayangnya, Indonesia masih kesusahan untuk memasarkan produk CPO. Isu lingkungan terus saja menghantam, padahal Indonesia telah memiliki ISPO yang semestinya mampu menepis tudingan-tudingan negatif produk CPO.
Jefri Gideon Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengakui bahwa CPO Indonesia kekurangan amunisi promosi di pasar ekspor. Sebab, ISPO, RSPO, maupun IPOP tidak kuat mengemas citra ramah lingkungan CPO Indonesia karena tak mendapat dukungan dari pemerintah.
"Pemerintah ikut sibuk mengampanyekan sawit yang berkelanjutan, tapi tiap tahun terjadi kebakaran hutan dan deforestasi yang disorot dunia," ucapnya.
Menurut Jefri, pemerintah harus ikut mempromosikan Badan Restorasi Gambut untuk memperbaiki citra CPO Indonesia di mata dunia. "Kalau perlu, kita meningkatkan standar RSPO menjadi RSPO Plus atau RSPO Next," imbuhnya.
Nah, jika langkah promosi ini berhasil. Artinya, menjadi angin segar bagi industri sawit tanah air, terutama petani sawit tanah air semacam Sarmin dan Sarnan semakin aman dan kesejahteraannya bisa meningkat. Setidaknya, usaha menuju perkebunan berkelanjutan yang tengah berjalan tidak menjadi sia-sia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News