kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%
FOKUS /

Meneropong rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2019


Sabtu, 25 Agustus 2018 / 09:00 WIB
Meneropong rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2019


Reporter: Adinda Ade Mustami, Ghina Ghaliya Quddus, Herlina KD, Patricius Dewo, Sinar Putri S.Utami | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi ekonomi global yang masih belum pulih, ditambah dengan berbagai gejolak ekonomi di berbagai negara dan perang dagang Amerika Serikat melawan China membuat pemerintah Indonesia lebih realistis dalam mematok target-target ekonomi di tahun depan. 

Buktinya, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Negara (RAPBN) 2019, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,3%. Angka ini naik tipis dari outlook pertumbuhan ekonomi tahun ini yang ditetapkan sebesar 5,2%. 

Dorongan ekonomi tahun depan diperkirakan masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Hanya saja, dorongan konsumsi rumah tangga seiring dengan hajatan besar Pemilu 2019, belum akan mampu mengimbangi tekanan dari sisi eksternal.

Presiden Joko Widodo dalam pengantar nota keuangan RAPBN 2019 menyebutkan, pertumbuhan ekonomi 5,3% di tahun depan akan dilakukan dengan mendorong pertumbuhan di kawasan timur Indonesia, kawasan perbatasan dan daerah tertinggal. Dari sisi sektoral, sektor-sektor ekonomi yang mempunyai nilai tambah tinggi dan menciptakan kesempatan kerja perlu didorong maju, termasuk mendorong peran sektor swasta.

Berikut asumsi makro dalam RAPBN 2019

Keterangan RAPBN 2019 Outlook 2018
Pertumbuhan ekonomi 5,3% 5,1%
Tingkat inflasi 3,5% 3,5%
Nilai tukar rupiah (Rp/USD) 14,400 13,973
Suku bunga SPN 3 bulan 5,3% 5%
Harga minyak (ICP) US$/barel 70 70
Lifting minyak (barel/hari) 750,000 775,000
Lifting gas (barel setara minyak/hari) 1,25 juta 1,11 juta

Meski begitu, banyak tantangan yang harus dihadapi pemerintah dalam mewujudkan target pertumbuhan ekonomi tahun depan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan, salah satu tantangan pertumbuhan ekonomi tahun depan adalah kinerja ekspor impor. Menurutnya, sebagai salah satu komponen pertumbuhan, ekspor diperkirakan akan terpengaruh sentimen eksternal.

Sri mulyani mengungkapkan, volume perdagangan dunia pada tahun depan diperkirakan tak akan tumbuh setinggi tahun ini, sehingga akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. "Ekspor kita cukup tinggi namun impor juga tinggi. Tahun depan relatif lebih lemah karena ada risiko," kata Menkeu, Kamis (16/8).

Oleh karena itu, pemerintah hanya menargetkan pertumbuhan ekspor tahun 2019 sebesar 6,6%. Padahal hingga semester I-2018, ekspor telah tumbuh 6,9%.

Kebutuhan konsumsi dan investasi di dalam negeri, juga akan menjadi tantangan dari sisi impor. Jika kedua komponen tersebut tumbuh tinggi, maka akan mendorong impor semakin tinggi, akibatnya neraca perdagangan defisit. Pemerintah memproyeksikan, impor tahun depan tumbuh 7,4%. 

Tapi, pemerintah tetap akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur untuk mendorong perekonomian baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Harapannya, investasi akan meningkat seiring dengan perbaikan daya saing dan persepsi investor.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menilai target pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,3% cukup realistis. Sebab, target itu masih berada di kisaran yang diproyeksikan oleh bank sentral yaitu sebesar 5,1%–5,5%.

Project Consultant Asian Development Bank Institute Eric Sugandi menilai, RAPBN 2019 disusun pemerintah secara hati-hati karena mempertimbangkan kondisi ekonomi global, lemahnya perdagangan, dan kondisi domestik. Target pertumbuhan ekonomi tahun depan kata dia, tidak muluk-muluk sehingga masih bisa dicapai.

Hanya saja, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani pesimistis angka itu dicapai. Sebab, pemerintah masih harus merespon tekanan dari dalam dan luar, yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Apalagi dari sisi konsumsi, ekonomi tahun depan hanya akan didukung oleh pemilihan presiden (pilpres). Berbeda dengan tahun ini yang disokong oleh perhelatan akbar Asian Games 2018 dan pertemuan tahunan IMF-World Bank. "Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, belanja kampanye tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap konsumsi," jelasnya.

Sementara itu, pada tahun depan pemerintah akan menjaga inflasi di rentang 3,5% plus minus 1%. Tingkat inflasi yang rendah ini dipercaya bakal mendorong perekonomian domestik jadi lebih efisien dan berdaya saing. Pengendalian inflasi dilakukan dengan menaga ketersediaan pasokan barang dan jasa, khususnya pangan melalui peningkatan kapasitas produksi nasional dan efisiensi di sepanjang rantai pasokan.

Untuk mencapai target inflasi tahun depan, Sri Mulyani bilang, pemerintah dan BI fokus pada masing-masing komponen inflasi, baik inflasi inti, inflasi yang berasal dari harga pangan yang bergejolak (volatile food), dan inflasi yang berasal dari dampak nilai tukar rupiah (imported inflation).

Fokus belanja

Meski pertumbuhan ekonomi tak cukup tinggi, pemerintah tetap akan fokus untuk melanjutkan pembangunan yang telah dijalankan. Dalam RAPBN 2019, pemerintah menetapkan belanja negara Rp 2.439,7 triliun atau sekitar 15% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Jumlah tersebut 10% lebih tinggi dari perkiraan realisasi belanja negara tahun 2018.

Menurut Presiden Joko Widodo, belanja negara pada tahun 2019 akan diarahkan pada penguatan program perlindungan sosial, peningkatan kualitas sumber daya manusia, percepatan pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi dan penguatan desentralisasi fiskal.

Postur RAPBN 2019

Keterangan RAPBN 2019 Outlook 2018
Pendapatan negara Rp 2.142,5 triliun Rp 1.903 triliun
Penerimaan perpajakan Rp 1.781,0 triliun Rp 1.548,4 triliun
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 361,1 triliun Rp 349,2 triliun
Belanja negara Rp 2.439,7 triliun Rp 2.217,3 triliun
Belanja pemerintah pusat Rp 1.607,3 triliun Rp 1.453,6 triliun
Transfer ke daerah&dana desa Rp 832,2 triliun Rp 763,6 triliun
Pembiayaan/defisit anggaran Rp 297,2 triliun Rp 314,2 triliun
Defisit anggaran dibanding PDB 1,84% dari PDB 2,12% dari PDB

Untuk program perlindungan sosial, dalam RAPBN 2019 pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial Rp 381 triliun, naik 31,9% dari APBN 2018. Dengan anggaran sebesar ini, pemerintah menargetkan angka kemiskinan bisa ditekan menjadi sekitar 8,5%-9,5% dari 9,82% pada Maret 2018.

Dengan anggaran itu, pemerintah akan memberikan jaminan perlindungan sosial khususnya bagi 40% masyarakat lapisan terbawah. Caranya, pertama, melalui peningkatan peserta penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kedua, memperkuat Program Keluarga Harapan (PKH) melalui peningkatan besaran manfaat 100% bersyarat dengan target sasaran 10 juta keluarga penerima manfaat. Pemerintah juga akan meningkatkan jumlah penerima bantuan jaminan kesehatan nasional (JKN) menjadi 96,8 juta jiwa.

Ketiga, peningkatan sasaran bantuan pangan non tunai ditingkatkan bertahap menuju 15,6 juta keluarga penerima manfaat.

Keempat, memperkuat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) untuk penataan aset produktif dan keberpihakan kepada para petani dan rakyat kecil. 

Kelima, mendorong perkembangan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), melalui insentif perpajakan khusus berupa tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM sebesar 0,5% dan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) dengan pemberian subsidi bunga kepada 11,8 juta debitur lama dan empat juta debitur baru.

Selain itu, pemerintah juga akan melanjutkan pembangunan infrastruktur yang telah menjadi fokus pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Dalam nota keuangan RAPBN 2019, pemerintah menyiapkan bujet untuk membiayai pembangunan infrastruktur mencapai Rp 420,5 triliun atau naik 2,46% dibandingkan APBN 2018 yang mencapai Rp 410,4 triliun.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan, kenaikan anggaran infrastruktur tahun depan lantaran ada pengalihan dana dari berbagai kementerian dan lembaga (K/L). Contoh, dana prasarana pendidikan dan ekonomi lainnya.

Dana prasarana pendidikan, seperti pembangunan gedung sekolah dan universitas, yang seharusnya ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) dialihkan ke Kementerian PUPR. Begitu juga dengan dana prasarana pasar induk di Kementerian Perdagangan (Kemdag). "Semua totalnya hampir Rp 6,5 triliun," ungkap Basuki kepada Kontan.co.id pekan lalu. 

Anggaran infrastruktur tahun depan yang mencapai Rp 420,5 triliun menjadi bujet untuk membiayai pembangunan infrastruktur paling tinggi selama Pemerintahan Joko Widodo.

Dalam pidato kenegaraan di Sidang Paripurna DPR, 16 Agustus lalu, Presiden Jokowi menuturkan, pemerintah berencana membangun 667 kilometer (km) ruas jalan nasional baru, 905 km jalan tol, 48 unit bendungan, dan 162.000 hektare (ha) jaringan irigasi.

Kendati begitu, pemerintah tetap akan berhati-hati menjaga pembiayaan infrastruktur, agar risiko tetap terjaga.

Tahun depan, Kementerian PUPR juga akan lebih memfokuskan ke belanja modal. "Belanja barang akan dialihkan lebih banyak dan sebanyak mungkin ke belanja modal," imbuh Basuki.

Pengalihan tersebut sejalan dengan imbauan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang meminta untuk mengurangi belanja barang dan merelokasi ke belanja prioritas. "Ada sekitar Rp 34,1 triliun dari pagu indikatif awal dari kementerian dan lembaga yang kami lakukan pendisiplinan," kata Sri Mulyani.

Genjot penerimaan pajak

Di sisi penerimaan negara, pada tahun depan pemerintah merencanakan pendapatan negara Rp 2.142,5 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan Rp 1.781 triliun dan sisanya Rp 361,1 triliun merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Dari target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.781 triliun, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam negeri Rp 1.737,8 triliun atau naik 15,4% dari outlook 2018. Tahun depan pemerintah berharap tax ratio menjadi 12,1% terhadap PDB.

Untuk mengejar target penerimaan pajak tahun depan,  langkah utama yang bakal ditempuh oleh Ditjen Pajak mencakup tindak lanjut atas data Automatic Exchange of Information (AEoI) dan monitoring pasca-amnesti pajak.

“Langkah utamanya berupa pemanfaatan data yang sudah kami terima,” kata Yon Arsal, Direktur Potensi dan Kepatuhan Perpajakan DJP Kemkeu kepada Kontan.co.id, Minggu (19/8).

Direktur P2 Humas DJP Hestu Yoga Saksama menambahkan, Ditjen Pajak telah memiliki instrumen untuk meningkatkan kepatuhan dan mendorong kesadaran masyarakat, seperti pemanfaatan data dari AEoI, pelayanan dan pembinaan yang lebih baik termasuk mengintensifkan PPh Final UMKM, dan pengawasan dan penegakkan hukum yang tepat sasaran.

Sri Mulyani bilang, upaya meningkatkan penerimaan pajak tahun depan akan fokus pada peningkatkan kepatuhan. “Dengan AEoI, dengan adanya kerjasama internasional, dan akses informasi yang kita miliki plus sesudah tax amnesty, kami minta supaya pajak dan bea cukai melakukan kerjasama sekarang,” ujarnya.

Ia menyebut, dari sisi harga komoditas walaupun diproyeksikan cenderung stabil atau stagnan, diperkirakan masih akan berpotensi membaik sehingga akan berdampak positif terhadap proyeksi penerimaan pajak dalam negeri tahun 2019.

Sementara itu, kebijakan PNBP tahun 2019 akan diarahkan untuk optimalisasi penerimaan melalui optimalisasi pengelolaan sumber daya alam dan aset, dengan tetap mengedepankan kualitas pelayanan publik dan menjaga kelestarian lingkungan.

Antisipasi rasio utang

Pembiayaan utang pada tahun depan ditargetkan sebesar Rp 359,3 triliun, atau turun 7,2% dibanding perkiraan pembiayaan tahun ini sebesar Rp 387,4 triliun.

Bila menilik lebih dalam ke dokumen nota keuangan RAPBN 2019, pembiayaan utang dalam APBN tahun 2019 dipenuhi dari penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman. Namun, penerbitan SBN masih menjadi sumber utama pembiayaan utang.

Pembiayaan utang yang turun ini sejalan dengan rasio defisit anggaran tahun depan yang dipatok terendah dalam lima tahun terakhir, yakni dari 2,25% terhadap PDB pada 2014 menjadi 1,84% terhadap PDB dalam RAPBN 2019.

“Paling penting itu total defisit kita, primary balance kita, komposisi utang dalam negeri dan luar negeri, dan juga antara para investor dalam dan luar negeri yang akan terus dioptimalkan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta, Senin (20/8).

Pembiayaan utang dalam postur APBN berperan dalam membiayai defisit anggaran, pembiayaan investasi terutama PMN kepada BUMN dan BLU, serta pemberian pinjaman kepada BUMN dan pemerintah daerah. Selain itu, utang pemerintah memiliki peran yang penting dalam pelaksanaan APBN dan pasar keuangan secara umum.

Meski mengurangi pembiayaan utang, pemerintah tidak menutup kemungkinan ada penambahan pinjaman luar negeri di dalam pembiayaan tersebut yang dalam bentuk pinjaman tunai. Hal ini dilakukan saat kondisi pasar dipenuhi ketidakpastian.

Dalam nota keuangan, pinjaman tunai tahun depan masih ditargetkan sebesar Rp 29 triliun atau turun dari outlook tahun ini yang sebesar Rp 33,2 triliun.

Rencananya, pembiayaan utang tahun depan sebagian besar dalam mata uang rupiah, berbunga tetap, dan dengan tenor menengah panjang (lebih dari tiga tahun).

Catatan saja, defisit anggaran di RAPBN 2019 diperkirakan mencapai Rp 297,2 triliun atau 1,84% dari PDB.

Namun, gejolak ekonomi global yang terjadi belakangan ini tentu berefek pada tekanan nilai tukar, termasuk rupiah. Untuk itu, dalam RAPBN 2019 pemerintah mengantisipasi adanya penurunan atau depresiasi rupiah hingga 35% dari nilai tukar rata-rata di tahun 2018. 

Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2019, hal ini mempertimbangkan kondisi perekonomian di tahun 2018 yang cukup volatil dan berpotensi mengulang krisis tahun 2008-2009. Selain nilai tukar, kenaikan imbal hasil juga diantisipasi hingga maksimum 109,0% dari imbal hasil rata-rata di tahun 2018.

Lantaran ada risiko depresiasi rupiah, maka pemerintah juga mengantisipasi kenaikan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) selama periode 2019-2022 di kisaran 29,5%-31% dari PDB dengan potensi pergerakan hingga +5% untuk mengakomodasi shock.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, estimasi shock tersebut hanyalah stress test yang dipakai pemerintah untuk menguji sampai berapa rasio utang akan terdampak dengan kondisi terburuk.

“Ini hanya tes, tes itu mau sampai 100% juga kami bisa pakai. Artinya, kalau kami ada kondisi terburuk, itu kami siap,” kata Askolani di Gedung Kemkeu, Senin (20/8).

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan, kecil sekali kemungkinan nilai tukar rupiah bisa terdepresiasi 35%. Sebab, depresiasi yang saat ini terjadi saja hanya 7% sejak awal tahun 2018.

Dalam jangka menengah, setidaknya hingga 2022, ia melihat, PDB akan tumbuh sekitar 6% atau lebih dengan inflasi yang stabil dan rendah. Adapun current account deficit (CAD) Indonesia dalam jangka menengah akan rendah.

Dengan perkembangan yang positif tersebut, Dody bilang, diharapkan inflow khususnya dalam bentuk foreign direct investment (FDI) akan besar dan mendorong rupiah menguat dan stabil.

“Jangka menengah kondisi global juga relatif lebih stabil dengan growth yang membaik, volatilitas pasar keuangan yang lebih stabil di tingkat risiko yang rendah,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×