Reporter: Rashif Usman, Ridwan Nanda Mulyana, Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik di Timur Tengah kembali memanas dengan Israel masih menjadi titik pusatnya. Kali ini, Iran menyerang Israel dengan drone dan rudal pada Sabtu (13/4) malam waktu setempat. Ancaman perang terbuka yang terjadi di Timur Tengah termasuk dengan negara sekutu semisal Amerika Serikat makin lebar.
Teheran sendiri menyebut serangan tersebut dilakukan menyusul dugaan serangan Israel terhadap konsulatnya di Suriah pada tanggal 1 April lalu yang menewaskan komandan utama Garda Revolusi Iran dan menyusul bentrokan berbulan-bulan antara Israel dan sekutu regional Iran, yang dipicu oleh perang di Gaza.
Di sisi lain, misi Iran untuk PBB mengatakan serangan itu bertujuan untuk menghukum kejahatan Israel, namun kini masalah tersebut dianggap sudah selesai.
Kepala Staf Angkatan Darat Iran Mayor Jenderal Mohammad Bagheri memperingatkan di televisi bahwa respons mereka akan jauh lebih besar daripada aksi militer kemarin jika Israel membalas serangan Iran.
Baca Juga: Iran Vs Israel, Sekjen PBB Sebut Dunia Tak Mampu Tanggung Perang Lagi
Ia juga memperingatkan Washington bahwa pangkalan-pangkalan militer mereka juga bisa diserang jika membantu Israel.
Tak pelak, eskalasi ketegangan di Timur Tengah ini memicu kekhawatiran global akan adanya dampak buruk yang mengikuti. Termasuk soal ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan bahwa Iran merupakan salah satu negara penghasil minyak dunia. Adanya konflik antara Iran-Israel tentunya akan mengganggu pasokan minyak global dan berdampak pada trade balance atau neraca perdagangan Indonesia.
"Pengaruh ke harga minyak itu lumayan besar, termasuk letaknya yang strategis di selat Hormuz dikhawatirkan mengganggu pasokan minyak global," kata David kepada Kontan, Minggu (14/4).
"Untuk ekonomi Indonesia dikhawatirkan ada kenaikan harga produk yang kita impor lebih tinggi dibandingkan produk yang kita ekspor, maka akan mengganggu trade balance," lanjut dia.
David menilai secara fundamental perekonomian Indonesia masih relatif solid bila melihat cadangan devisa masih di atas US$ 140 miliar. Kendati demikian, perlu ada penyesuaian dari sisi kebijakan fiskal terutama untuk merespons kenaikan harga minyak termasuk pada penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Baca Juga: Iran Serang Israel, Subsidi Energi Indonesia Berpotensi Melonjak
"Mungkin dari sisi anggaran fiskal perlu ada penyesuaian termasuk kemungkinan terburuk yaitu penyesuaian BBM, karena harga minyak cenderung naik dan rupiah melemah. Mungkin perlu ada realokasi dari sisi anggaran," ujarnya
Sektor energi paling terancam
"Dengan rupiah mencapai sekitar Rp 16.000 dan minyak US$ 92 saja defisit sekitar 2,5% produk domestik bruto (PDB)," tutupnya.
Sementara itu, dirinya berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 masih berada di level 5%-5,2% dengan berbagai kalkulasi, termasuk konflik Iran-Israel.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti bilang konflik Timur Tengah antara Iran-Israel tentu sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, terutama pada harga energi. Pasalnya, Indonesia masih menjadi salah satu negara pengimpor minyak meski memiliki sumber energi tersebut.
"Hitungan kasar saya akan ada kenaikan subsidi energi sebanding kenaikan harga minyak yaitu sekitar 26%-32%," kata Esther kepada Kontan, Minggu (14/4).
Terkait konflik tersebut, dirinya mengatakan hal utama yang harus dilakukan pemerintah adalah merevisi asumsi indikator makro ekonomi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Baca Juga: Iran Serang Israel, Tensi di Timur Tengah Kian Memanas
"Kedua indikator itu berdampak pada kenaikan anggaran APBN khususnya belanja terkait subsidi BBM, energi, impor dan lainnya. Apalagi besarnya cicilan utang luar negeri dan bunga juga meningkat," jelasnya
"Belum lagi berbagai belanja pemerintah terkait infrastruktur dan belanja pembangunan lainnya juga akan meningkat," lanjutnya.
Maka dari itu, Esther menyarankan agar anggaran dapat dialokasikan ke aktivitas yang lebih produktif, sehingga bisa meraup pendapatan lebih banyak. Selain itu, perlu adanya dorongan ekspor produksi industri dalam negeri.
"Anggaran (perlu) dikelola secara efisien dan hindari pemborosan," ucapnya.
IHSG berpeluang makin fluktuatif
Memanasnya konflik Iran vs Israel ini pada gilirannya juga akan berdampak ke pasar modal. Head of Equities Investment Berdikari Manajemen Investasi, Agung Ramadoni memprediksi tekanan eskalasi konflik di Timur Tengah bakal makin membuat IHSG berfluktuasi.
Baca Juga: Perang Iran-Israel Dongkrak Harga Minyak, Sejumlah Emiten Terdampak Sentimen Positif
Agung melihat kemungkinan IHSG bakal terkena tekanan jual dan melemah tipis dalam jangka pendek. Dia memprediksi pada bulan April ini IHSG bakal bergerak dalam rentang support 7.145-7.200 dan resistance 7.375-7.400.
"Memanasnya konflik antara Iran dan Israel berpotensi membuat investor lebih mencari asset class yang cenderung aman dan outflow pada pasar saham," kata Agung kepada Kontan.co.id, Minggu (14/4).
CEO Edvisor Profina Visindo, Praska Putrantyo menambahkan, dampak dari konflik Iran vs Israel yang merembet pada ketegangan di Timur Tengah bisa berdampak signifikan. Terlebih jika menyulut lonjakan harga komoditas energi, seperti efek saat krisis Rusia vs Ukraina.
Secara umum, kondisi ini berpotensi mendorong kenaikan inflasi global. Sekaligus kembali menunda pemangkasan suku bunga acuan untuk waktu yang lebih lama. Tingginya inflasi juga menimbulkan spekulasi perlambatan ekonomi dan pelemahan kurs.
Dalam skenario tersebut, Praska menaksir pasar saham akan bergerak sideways hingga akhir semester I-2024. Pelaku pasar akan terlebih dulu menunggu rilis kinerja emiten dan perkembangan isu geopolitik di Timur Tengah yang rawan memantik lonjakan harga komoditas energi.
Dengan kondisi ini, Praska memilih saham minyak dan gas serta batubara sebagai pilihan. Kemudian sektor barang konsumsi primer dan non-primer, serta saham telekomunikasi. Saran dia, cermati peluang buy on weakness pada ASII, INDF, TLKM, BRPT dan PTRO.
Sementara Agung menjagokan saham dari sektor yang terkait dengan komoditas seperti MEDC, ELSA, MDKA, ADRO, ITMG, INCO dan NCKL.
Selanjutnya: Wall Street Week Ahead-Surging US Energy Shares Reflect Robust Growth
Menarik Dibaca: 5 Film Baru bakal Tayang di Netflix Minggu Ini, Berikut Jadwal Rebel Moon Part 2
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News